I AM THE PRETTY THING THAT LIVES IN THE HOUSE
Sutradara: Oz Perkins
Canada (2016)
Review oleh Tremor
Membuat film dengan cerita hantu yang menyegarkan sekarang ini adalah sesuatu yang cukup menantang. Setidaknya itu yang saya bayangkan sebagai penonton. Mungkin tidak mudah mencari hal dan unsur baru yang bisa disajikan lewat cerita hantu. Lebih tidak mudah lagi adalah menyenangkan hati penonton. Dan siapa pun yang memiliki ide baru, cerita baru, desain hantu baru, trik baru, biasanya berakhir dengan tetap mengandalkan formula lama: darah, efek kaget, atau berfokus pada seberapa menyeramkannya desain sang hantu. Tapi tidak demikian dengan I Am the Pretty Thing that Lives in the House yang merupakan film ke-dua besutan sutradara Oz Perkins, putra dari Anthony Perkins, aktor ikonik yang memerankan Norman Bates dalam film Psycho (1960). Ini adalah sebuah kisah hantu yang tidak biasa. Ia tidak menggantungkan diri pada sound effect dan adegan mengagetkan, desain hantu yang menyeramkan, darah, twist, ataupun action.
I Am the Pretty Thing that Lives in the House dibuka dengan suara narasi yang menyatakan bahwa sebuah rumah dengan kematian di dalamnya tidak akan pernah bisa dibeli atau dijual. Rumah tersebut hanya dapat “dipinjam” dari arwah yang menungguinya. Suara yang membacakan narasi tersebut adalah suara Lily, seorang perawat muda yang tinggal di rumah seorang mantan penulis horor bernama Iris Blum untuk merawatnya. Nyonya Blum yang sudah lanjut usia dan menderita demensia ini tinggal di sebuah rumah tua di lokasi yang cukup terpencil. Lily kemudian melanjutkan narasinya tentang bagaimana ia pindah ke rumah tersebut tak lama setelah ulang tahunnya yang ke-28, dan ia tidak akan pernah mencapai usia 29. Dari kalimat yang ia gunakan, kita bisa berasumsi bahwa Lily bercerita dari masa depan mengenai pengalaman yang sudah terjadi di masa lalunya. Dari sini kita bisa menebak, mengapa Lily tidak akan pernah mencapai usia 29. Tak butuh waktu lama hingga Lily mulai mengalami kejadian aneh. Pada malam pertamanya di rumah nyonya Blum, Lily melihat bintik jamur hitam pada salah satu dinding di dalam rumah. Dan saat ia berbincang dengan seorang teman lewat panggilan telepon, sesuatu yang gaib menarik kabel hingga gagang telepon terlepas dari tangan Lily. Dalam momen ini, penonton mendapat informasi bahwa rumah ini berhantu, dan salah satu karakteristik Lily adalah ia seseorang yang mudah takut.
Nyonya Iris Blum yang sudah pikun terus-terusan memanggil Lily dengan nama “Polly”. Biasanya seorang lansia mengingat nama orang yang cukup dekat dengannya. Anak atau cucu misalnya. Masalahnya nyonya Blum tidak memiliki keturunan dan sanak saudara dekat. Bahkan selama hampir satu tahun Lily merawat nyonya Blum, tidak ada satupun kerabat atau teman nyonya Blum yang pernah datang menjenguk. Satu-satunya orang yang sesekali datang adalah tuan Waxcap. Saya tidak tahu pasti apa posisinya, tapi sepertinya ia adalah pengacara, atau mungkin manajer dari Nyonya Blum, karena tuan Waxcap jugalah yang mempekerjakan Lily. Lily pun bertanya pada tuan Waxcap soal nama Polly. Rupanya Polly Parsons adalah karakter utama dari novel Iris Blum yang paling terkenal berjudul “The Woman in the Walls.” Meskipun novel tersebut cukup populer, tapi Lily belum pernah membacanya karena ia seorang penakut. Tapi rasa penasaran pun menyelimuti Lily. Akhirnya ia mengambil salah satu buku tersebut yang memang banyak terpajang di ruang kerja nyonya Blum. Setelah memberanikan dirinya untuk membaca kata pengantarnya, Lily menemukan bahwa nyonya Blum berkomunikasi dengan arwah Polly yang telah lama mati di dalam rumah tersebut, dan apa yang ia tulis dalam novel ini adalah kisah yang diceritakan oleh arwah Polly. Baru membaca beberapa halaman saja, Lily meletakkan kembali buku itu karena ia terlalu takut untuk melanjutkan. Sebenarnya isinya tidak semenyeramkan itu. Tapi kita jadi tahu bahwa Lily benar-benar penakut.
Setelah tinggal dan merawat nyonya Blum selama hampir satu tahun, Lily memperhatikan bahwa bintik jamur pada dinding terus bertambah. Suatu malam ia melihat bayangan sesosok perempuan berpakaian putih terpantul di layar TV, tetapi tidak ada seorang pun di sana ketika dia berbalik. Pada kesempatan lain Lily menemukan sebuah kotak berlabel “Polly” saat ia sedang membereskan lemari. Di dalamnya terdapat lembaran-lembaran kertas dengan catatan tulisan tangan yang sepertinya adalah draft novel “The Woman in the Walls.” Setelah membaca catatan-catatan itu Lily pun mulai percaya bahwa apa yang nyonya Blum tulis dalam novelnya mungkin lebih dari sekadar cerita fiksi. Mungkin memang benar bahwa cerita dalam novel itu didasarkan pada kejadian pembunuhan yang pernah terjadi di rumah tersebut, dengan Polly sebagai korbannya sekaligus nara sumber. Dan mungkin juga, ada alasan tersendiri mengapa nyonya Blum terus menyebut Lily dengan nama Polly.
Banyak orang memiliki harapan tinggi dari film horror supranatural tentang rumah berhantu, jadi saya bisa memahami mengapa sebagian penonton tidak terlalu menyukai film ini. Dengan harapan tinggi, penonton horror dengan mudah menunggu-nunggu sesuatu yang besar terjadi di dalam sebuah film, momen menakutkan. Dan setelah penantian panjang hingga film berakhir, “sesuatu” tersebut tidak pernah terjadi. Itulah yang bisa ditemukan di dalam film I Am the Pretty Thing. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa film I Am the Pretty Thing adalah film yg sangat minim dialog. Namun, film ini cukup indah secara visual dan memiliki ambiance serta atmosfer yang sangat kuat. Ketika kita akhirnya sampai pada bagian terakhir film, I Am the Pretty Thing mungkin akan semakin mengecewakan sebagian penonton karena ending film ini memang jelas bisa diprediksi sejak narasi pertama di awal film. Mereka yang menyukai film-film dengan twist atau ending yang sulit ditebak jelas akan kecewa. Tapi bagaimanapun juga ini adalah sebuah cerita, bukan kuis tebak-tebakan atau misteri detektif. Mungkin mereka yang kecewa dengan film ini merasa telah membuang-buang waktu setelah menunggu sepanjang film dan mendapati akhir yang “begitu saja”. Tapi saya pikir I Am the Pretty Thing bukanlah tentang bagaimana cerita ini berakhir, tetapi tentang bagaimana sebuah cerita hantu disajikan dan sebuah pengalaman menonton.
Salah satu kekuatan film ini ada pada pace dan ritmenya yang dengan sengaja dibuat sangat sangat lambat dan menenangkan, bukan menegangkan. Saya teringat dengan film perdana Perkins yang berjudul The Blackcoat’s Daughter (2015) yang sama-sama memiliki alur sangat lambat. Mungkin memang itu ciri khas yang ingin ia tonjolkan dari karya-karyanya. Hanya saja I Am the Pretty Thing terasa lebih lembut, melankolis dan puitis dibandingkan The Blackcoat’s Daughter. Tidak seperti film-film horor hantu pada umumnya yang dipenuhi dengan jeritan, hantu seram, darah dan action, I Am the Pretty Thing adalah film yang tidak memiliki kesemua elemen itu tetapi terasa lebih elegan. Dengan cukup sabar film ini menceritakan kisahnya sambil tetap memberikan jenis ketegangan yang berbeda. Film ini layaknya sebuah karya puisi, atau pun naskah teater yang berbentuk film. Kembali ke soal kelambatan, bukan hanya gaya berceritanya saja yang lambat, tetapi juga semua di dalam film ini. Lily berjalan dengan cukup lambat, nyonya Blum menolehkan wajahnya dengan lambat. Bahkan kamera pun kadang bergerak dengan sangat lambat. Setiap kali kamera menyoroti sudut-sudut rumah nyonya Blum dengan lambat, kita semua seakan diajak untuk menyerap setiap detail dari rumah tua tersebut, dengan perasaan tidak nyaman dan was-was tentunya. Saya mulai menyadari kapan kelambatan seperti ini bisa terasa efektif, misalnya saat hantu Polly bergerak dalam kegelapan. Rasanya sangat tidak wajar, dan karena kita tahu Polly adalah hantu, maka ketidakwajaran seperti ini bisa cukup mengganggu. Terakhir kali saya melihat hantu dengan gerak yang lambat adalah dalam film jepang berjudul Kairo / Pulse (2001).
I am The Pretty Thing lebih terasa sebagai sebuah karya seni, dan rasa itu bisa dengan mudah ditemui di semua sisi film ini, dari mulai dalam dialog, suasana ruangan, wallpaper di dinding, komposisi fotografiknya, hingga dalam penuturan cerita. Sebagian besar dari film ini menggambarkan suasana lewat bayangan dengan teknik pengambilan gambar yang sangat mendukung: kadang-kadang kamera terasa tidak fokus dan blurry, bahkan seringkali film ini memiliki komposisi dan sudut pandang janggal yang sepertinya sengaja dipilih agar penonton merasa tidak nyaman. Mungkin, kita seakan dibawa untuk ikut merasakan kegelisahan dan ketidaknyamanan Lily di dalam film. Saya akui Oz Perkins memiliki selera estetika visual yang cukup bagus. Kita bisa merasakan ketenangan dan ketegangan hanya dari komposisi warna dan teknik pencahayaan yang brilian. Bicara soal atmosfer dan mood, ada hal yang saya suka dari film ini, yaitu tidak adanya soundtrack dan minimnya penggunaan skoring. Sebagian besar film ini berlangsung dalam keheningan yang sangat berat, terutama kalau kalian menontonnya menggunakan headphone. Elemen tanpa suara ini tentu membantu Perkins dalam mencapai atmosfer yang mungkin ingin ia gambarkan.
Film ini membuat kita berpikir dan membayangkan mengenai kejadian kematian apa saja yang pernah terjadi di masa lalu dalam dalam rumah yang kita diami sekarang. Itu adalah pikiran yang menarik sekaligus mengganggu untuk sebagian orang. Atau kalau mau dipikirkan lebih jauh, kita bisa mulai membayangkan apakah ada arwah yang memperhatikan kita saat kita sedang tidur, atau saat kita pergi ke kamar mandi di malam hari misalnya seperti apa yang digambarkan dalam ending film ini. Saya rasa I am The Pretty Thing adalah sebuah jenis film yang hanya bisa ditonton dengan mood yang tepat dan penuh kesabaran. Apalagi kalau ditonton sendirian sambil menggunakan headphone, di dalam ruangan gelap tanpa satu lampu pun menyala, rasanya akan lebih pas. Sebagai film horror, efek dan visual film ini jelas tidak menyeramkan. Kalau niat Oz Perkins adalah menakut-nakuti penonton, jelas ia gagal. Tetapi sebagai sebuah pengalaman menonton, saya rasa kalian bisa mencobanya. Resiko film dengan pace lambat seperti ini adalah, penonton akan cepat merasa bosan. Saya sendiri sempat tertidur saat percobaan pertama menontonnya. Jadi sepertinya ini adalah film yang memiliki pasar penonton dan penggemar yang cukup terbatas, yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh kelompok penonton tertentu saja. Kalau kalian adalah penggemar film berestetika dan atmosferik, berbahasa sastra serta ritme slow-burning, saya sangat merekomendasikan I am The Pretty Thing ini. Itupun kalau kalian memiliki waktu luang ekstra.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com