fbpx

MOVIE REVIEW: HENRY: PORTRAIT OF A SERIAL KILLER (1986)

HENRY: PORTRAIT OF A SERIAL KILLER
Sutradara: John McNaughton
USA (1986)

Review oleh Tremor

Pada periode 1970-an hingga 1980-an, masyarakat Amerika Serikat digemparkan dengan banyak sekali kasus pembunuhan sadis tanpa motif dan tanpa alasan yang dilakukan secara acak. Di masa itu, pembunuhan seperti itu tidak masuk akal bagi para penegak hukum, karena sebelumnya motif kasus pembunuhan selalu logis, seperti misalnya balas dendam, kecemburuan, perampokan, hingga kebencian antar kelompok. Bagi yang pernah menonton serial Mindhunter (2017-2019) tentu tahu betul tentang hal itu. Kita sedang berbicara tentang era di mana istilah serial killer dan studi psikologi dalam kasus kriminal belum dikenal penegak hukum. Jadi pada era itu, adalah hal yang tidak masuk akal saat ada seseorang tanpa musuh dibunuh begitu saja. Warga Amerika pun dibuat takut dengan nama-nama seperti Jeffrey Dahmer yang menyimpan potongan-potongan jasad korbannya dalam freezer, John Wayne Gacy si badut pedofil, Dennis Rader alias BTK Killer yang seringkali mengirim surat pada polisi, hingga Ted Bundy sang pembantai mahasiswi, yang semuanya dikenal berperilaku sangat baik di lingkungannya. Itulah mengapa hampir semua serial killer Amerika baru berhasil ditangkap bertahun-tahun setelah aksi pertamanya, karena sangat sulit untuk melacak mereka. Bahkan kebanyakan serial killer tertangkap bukan karena keberhasilan investigasi polisi, melainkan tertangkap secara tidak disengaja lewat pelanggaran hukum ringan. Dalam periode inilah seorang serial killer bernama Henry Lee Lucas berkeliaran ke berbagai negara bagian Amerika sambil menyalurkan hasratnya untuk membunuh. Suatu hari ia berkenalan dengan sesama psikopat bernama Ottis Toole, yang kemudian menjadi partner in crime-nya. Henry: Portrait Of A Serial Killer adalah sebuah film fiksi kriminal / psychological horror yang diadaptasi secara longgar dari kisah nyata Henry Lee Lucas dan Ottis Toole. Meskipun produksi Henry: Portrait Of A Serial Killer telah rampung dan siap dirilis pada tahun 1986, namun perselisihan studio dengan pihak penyensoran Amerika membuat film ini baru bisa benar-benar dirilis pada tahun 1990.

Henry adalah seorang pemuda dengan stereotip serial killer Amerika: pria, kulit putih, umur 30-an, tidak pernah menetap di satu kota, pemalu, dan berperilaku sangat sopan. Film ini dibuka tanpa basa-basi, kita langsung diperlihatkan bagaimana Henry mengembara ke berbagai kota sambil mengintai calon-calon korbannya. Adegan-adegan tersebut diselingi dengan potongan-potongan gambar yang memperlihatkan jasad-jasad korban yang Henry tinggalkan begitu saja di berbagai lokasi, layaknya montase foto crime-scene pembunuhan. Score / theme song yang mengiringi montase-montase ini sangatlah efektif, mencekam dan ikonik. Para penggemar old school death metal tentu tidak asing dengan theme song Henry: Portrait of A Serial Killer karena Malevolent Creation pernah menggunakannya sebagai intro lagu “Eve of the Apocalypse” dalam salah satu album klasik mereka, Retribution (1992). Saat film akhirnya benar-benar dimulai, dikisahkan Henry sedang menetap di Chicago bersama kawan lamanya yang pernah ia kenal di penjara, Otis. Adik perempuan Otis yang bernama Becky ikut tinggal di sana karena ia sedang melarikan diri dari suaminya yang abusif dan suka memukulinya. Suatu malam Henry dan Otis sedang berkencan dengan dua PSK di dalam mobil. Tiba-tiba secara impulsif Henry membunuh mereka di depan Otis. Dalam kisah fiksi ini, pada titik inilah untuk pertama kalinya Otis menyaksikan Henry membunuh. Meskipun sempat merasa shock, Otis menyadari bahwa ia memiliki kecenderungan dan dorongan yang sama dengan Henry. Ia mendapat kepuasan dari membunuh. Sejak itu Henry ditampilkan sebagai mentor bagi Otis. Penonton pun mulai dipaksa untuk mengamati aksi mereka berdua yang semakin meningkat, dan bagaimana duo Henry-Otis menikmati setiap pembunuhannya tanpa menunjukkan sedikitpun rasa penyesalan. Mereka membunuh orang asing secara acak tanpa memperlihatkan emosi apapun, layaknya seseorang normal memukul seekor nyamuk dengan dingin. Kehadiran Becky yang lugu dan tidak tahu tentang perilaku psikopatik mereka berdua pun akhirnya memperumit drama ini.

Meskipun dibuat dengan bajet rendah, Henry: Portrait Of A Serial Killer adalah film yang sangat menonjol dan mengerikan pada masanya. Salah satunya karena “rasa” realisme film ini sangat kuat. Apalagi penonton Amerika pada masa itu tahu betul siapa Henry dan Otis yang dimaksud dalam film ini. Sama seperti yang diceritakan dalam film ini, Henry Lee Lucas versi asli memang pernah membunuh ibunya sendiri pada tahun 1960. Setelah 10 tahun mendekam di penjara, Lucas dibebaskan pada tahun 1970. Ia segera bepergian di daratan Amerika, selalu berpindah negara bagian, hingga pada tahun 1976 Lucas berkenalan dengan Ottis Toole dan keponakan Toole bernama Becky, yang masih berusia 12 tahun. Lucas dan Toole kemudian menjadi “tim pembunuh” lintas negara bagian. Setelah tertangkap, Lucas mengaku telah membunuh sebanyak lebih dari 200 kali, di mana Toole membantunya dalam 108 pembunuhan. Beberapa tahun kemudian terbukti bahwa hampir sebagian klaim jumlah korban Lucas bisa dipastikan bohong berkat teknologi tes DNA yang mulai digunakan dalam penyelidikan kasus kriminal. Semua pengakuan bohong Henry Lee Lucas dan kisahnya kemudian menjadi subjek dalam serial Netflix berjudul The Confession Killer (2019). Henry Lee Lucas pada akhirnya terbukti bersalah, dipidana atas sebanyak sebelas kasus pembunuhan dan dijatuhi hukuman mati. Secara mengejutkan gubernur Texas pada masa itu, George W. Bush, meringankan hukuman tersebut menjadi hukuman kurungan seumur hidup. Henry Lee Lucas meninggal di penjara pada 2001 karena serangan jantung. Sementara itu sosok Otis Toole dalam kehidupan nyata merupakan karakter yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dalam versi filmnya. Ia dipidana atas enam kasus pembunuhan dan baru meninggal di penjara karena penyakit kronis hati pada tahun 1996.

Penulis Henry: Portrait Of A Serial Killer jelas tidak sedang mengagung-agungkan sosok Henry Lee Lucas, tetapi ia juga tidak mengecamnya. Lewat film ini para penonton hanya diajak untuk mengamati sisi tergelap manusia yang benar-benar eksis di dunia nyata sekitar kita. Henry dan Otis dalam film ini melakukan hal-hal yang orang normal lakukan sehari-hari. Mereka pergi ke toko, bekerja, berbelanja, mengobrol sambil makan malam, bermain kartu, meminum bir, menonton TV dan memiliki keinginan untuk bersenang-senang. Tapi mungkin itu yang justru membuat film semacam ini menakutkan, bahwa Henry tampak sangat sangat normal. Henry bahkan menjadi sosok yang jauh lebih tenang dan rasional dibandingkan Otis yang emosional dan pervert. Cara Henry berkomunikasi pada Becky pun sangat bertolak belakang dengan perilakunya saat ia membunuh dengan dingin. Dalam kisah aslinya, pada akhirnya Henry membunuh dan memutilasi Becky yang umurnya jauh lebih muda dibandingkan Becky dalam versi film. Saya bisa membayangkan bagaimana para calon korban Henry Lee Lucas mungkin tidak mencurigai orang-orang seperti Henry yang terlihat sopan dan pendiam. Henry: Portrait Of A Serial Killer adalah jenis film yang perlu ditonton oleh semua orang, setidaknya agar kita menyadari bahwa perilaku sehari-sehari seorang pembunuh psikopat sama sekali tidak seperti Jason Voorhees atau Michael Myers. Inilah aspek paling menakutkan dari film ini. Bahkan tetangga ramah yang tinggal di sebelah rumahmu mungkin saja baru memotongi mayat semalam suntuk sebelum ia menyapa selamat pagi pada kalian.

Film ini merupakan debut layar lebar dari aktor Michael Rooker dimana ia berperan sebagai Henry dengan sangat fenomenal. Tentu saja para penonton horror modern sudah tidak asing dengan wajah Rooker lewat film Slither (2006) dan karakter Merle Dixon dalam serial The Walking Dead. Kesuksesan Rooker tak hanya berhenti di situ saja. Ia kemudian dipercaya untuk memerankan karakter Yondu Udonta dalam film Guardians of the Galaxy (2014). Henry: Portrait of a Serial Killer juga merupakan debut dari sutradara John McNaughton, yang setelahnya tidak pernah mencapai kesuksesan lagi selain lewat film Wild Things (1998).

Henry: Portrait Of A Serial Killer bukanlah tontonan yang fun. Ini bukan film slasher 80-an ala Friday the 13th yang bisa selalu kita tonton ulang untuk kesenangan. Henry: Portrait Of A Serial Killer adalah film yang menggambarkan kekerasan dan perilaku psikopat abusif dan manipulatif yang benar-benar terjadi di dunia nyata. Film ini juga ditutup dengan suram, dimana sang pembunuh pada akhirnya pergi berpindah kota lagi, tanpa hukuman dan tanpa resolusi melegakan bagi para penonton yang mengharapkan happy ending. Para penggemar horor yang menanti adegan-adegan gore boleh saja kecewa dengan film ini, karena sebagian besar kesadisan tidak benar-benar diperlihatkan. Tapi mengingat bahwa kisah Henry Lee Lucas dan Otis Toole dalam versi aslinya jauh lebih mengerikan dibandingkan versi filmnya, tentu itu akan membawa kengerian tersendiri.

 

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com