fbpx

MOVIE REVIEW: HELL (2011)

HELL
Sutradara: Tim Fehlbaum
Jerman / Swiss (2011)

Review oleh Tremor

Hell adalah sebuah film survival distopia / post-apokaliptik dengan sedikit elemen horror berbahasa Jerman, debut dari sutradara Swiss bernama Tim Fehlbaum. Pemilihan judul film “Hell” adalah keputusan yang cukup cerdik karena Hell memiliki dua arti. Hell adalah sebuah kata dalam bahasa Jerman yang memiliki arti “bright”, atau “terang”. Judul dengan arti “terang” ini sangat relevan dengan tema filmnya yang menggambarkan kondisi planet bumi setelah temperatur sinar matahari semakin panas dan membuat bumi terlalu kering dan sangat terang. Namun seperti kita tahu, “hell” juga berarti neraka dalam bahasa Inggris, dan bisa dibayangkan situasi post-apokaliptik seperti yang terjadi dalam film ini bagaikan neraka di bumi. Proyek film Hell cukup menarik perhatian seorang pembuat film Jerman bernama Roland Emmerich yang kemudian menjadi executive producer dari film ini. Roland Emmerich sendiri adalah seorang sutradara yang cukup dikenal lewat karya-karyanya seperti Universal Soldier (1992), Stargate (1994), Independence Day (1996), Godzilla (1998), The Day After Tomorrow (2004), hingga 2012 (2009). Dilihat dari karya-karyanya yang sering melibatkan bencana alam, keadaan nyaris kiamat, dan proses kepunahan massal manusia lewat genre sci-fi, maka tak heran kalau Emmerich tertarik untuk memproduseri Hell yang sedikitnya juga memiliki ide tentang keadaan menuju kiamat dan kepunahan massal manusia.

Sebagai sebuah film distopia / post-apokaliptik, Hell mengambil setting masa depan yang tidak terlalu jauh dari tahun perilisan filmnya (2011), yaitu tahun 2016 yang bahkan sudah kita lewati hari ini. Mungkin mirip dengan konsep Mad Max yang dirilis tahun 1979 dengan setting distopia yang tak terlalu jauh, yaitu tahun pertengahan 1980-an. Pada tahun 2016, temperatur di planet bumi meningkat secara drastis karena terjadi badai matahari yang membakar lapisan ozon. Kini seluruh permukaan bumi berubah menjadi gurun kering yang bermandikan cahaya sangat terang dan panas. Peradaban runtuh dan manusia nyaris punah karena terpapar sinar matahari yang bisa membakar kulit dengan cepat, serta tidak ada tanaman dan hewan yang bisa bertahan pada suhu panas se-ekstrim ini. Tak hanya itu, air, makanan hingga bahan bakar juga semakin langka. Para penyintas yang tersisa harus berebut sumber daya untuk tetap bertahan hidup sambil harus selalu melindungi diri mereka dari paparan sinar matahari. Marie, adik perempuannya Leonie, seorang pria bernama Phillip, serta Tom sedang dalam perjalanan menggunakan mobil yang jendelanya ditutupi kertas koran untuk melindungi mereka dari sinar matahari. Tujuan perjalanan ini adalah pergi ke pegunungan di mana mereka berharap bisa menemukan tempat berlindung dan terutama sumber air. Di tengah jalan, mereka terjebak dalam sebuah perangkap yang telah disiapkan oleh sekelompok orang asing yang kemudian mencuri mobil mereka dan menculik Leonie. Marie, Phillip dan Tom pun memutuskan untuk mencoba menyelamatkan Leonie. Namun usaha ini tidaklah mudah, dan misi penyelamatan ini membawa mereka pada masalah baru yang cukup serius.

Hell memiliki semua elemen yang diperlukan untuk sebuah skenario survival post-apocalyptic, terutama  seputar sulitnya bertahan hidup, perasaan tidak berdaya, serta konflik antar kelompok manusia yang berebut sumber daya. Semua itu memang terdengar klise karena dalam film post-apokaliptik manapun kita akan melihat sekelompok karakter mencoba bertahan hidup di tengah sisa-sisa peradaban dan keruntuhan sosial, dan mereka akan berjumpa dengan kelompok-kelompok manusia lain yang belum tentu berhati mulia. Apa yang menarik adalah, Hell mulai mengubah haluan di tengah durasinya menjadi sebuah film backwoods horror ala The Texas Chain Saw Massacre (1974) dan Frontier(s) (2007), dan kalau dipikir-pikir ide backwoods horror dalam Hell bisa jadi lebih mencekam dari film backwoods horror pada umumnya karena dalam film ini tidak ada kemungkinan mencari bala bantuan di tengah dunia yang sudah terlalu sepi dari manusia, di mana tak ada seorangpun yang bisa dipercaya.

Salah satu aspek paling mencolok dari Hell adalah penggunaan cahayanya. Karena kisah ini adalah kisah di mana lapisan ozon telah terbakar, maka penggunaan cahaya kekuningan yang sangat terang secara berlebihan menjadi cukup signifikan dalam mengilustrasikan kekuatan destruktif sinar matahari. Semua yang kita lihat dalam Hell benar-benar terasa sangat panas dan kering, kecuali dalam adegan-adegan dalam ruangan dan malam hari. Sayangnya, set lokasi di sepanjang film Hell hanya mengambil tempat di daerah antah berantah dan pelosok saja. Padahal tentu akan sangat menarik kalau kita juga bisa melihat situasi kota-kota besar Jerman dalam kondisi pasca-bencana seperti ini.

Kelemahan terbesar Hell mungkin ada pada plotnya yang sedikit klise, cukup mudah untuk diprediksi dan tidak menawarkan hal baru sama sekali untuk genrenya, kecuali sedikit kejutan percampuran genre backwoods horror-nya. Hell jelas bukan film terbaik dalam genre survival post-apocalyptic. Namun fakta bahwa film Hell diproduksi di Jerman layak mendapat apresasi karena cukup jarang ada film survival post-apocalyptic yang datang dari negara tersebut. Bagaimanapun, untuk sebuah film debut yang berdurasi 89 menit, Hell tetap merupakan tontonan yang cukup intens, solid,menghibur dan perlu ditonton oleh para penggemar genre ini.