HALLOWEEN
Sutradara: John Carpenter
USA (1978)
Review oleh Tremor
Halloween 1978 adalah sebuah film yang dianggap sebagai salah satu “bapak” horor modern karena tanpa diduga memicu gebrakan baru dalam industri horror dan menandai dimulainya era keemasan film slasher Amerika. Saya pikir Halloween memang muncul di saat yang tepat, yaitu ketika industri horror sudah mulai jenuh dengan film-film horror bertema supernatural dan sci-fi yang mendominasi periode 70-an. Film-film horor dengan monster, alien, hantu, dan iblis memang menyenangkan untuk ditonton, tapi semua itu bukanlah hal yang bisa ditemui sehari-hari dalam kehidupan nyata. Kemunculan Halloween membangkitkan kembali gairah industri film horror pada masa itu dengan cara menyebarkan teror dan kengerian yang agak lebih realistis dan terasa dekat lewat sosok seorang psikopat bertopeng yang menguntit dan membantai dengan pisau dapur: Michael Myers sang “boogeyman”, yang dalam kredit film ini ditulis dengan nama “The Shape”. Apalagi dekade 70-an hingga 80-an adalah masa di mana ada banyak sekali serial killer aktif berkeliaran di Amerika dari mulai Ed Kemper, John Wayne Gacy, Ted Bundy, Son of Sam, hingga Hillside Strangler. Bisa dipahami mengapa kengerian Halloween dan sosok Michael Myers bisa terasa begitu relevan bagi para penonton Amerika pada jamannya.
Namun Halloween bukanlah film slasher pertama di dunia. Jauh sebelum sub-genre slasher lahir, sub-genre Giallo sudah lebih dulu muncul di Italia. Film-film giallo seperti Blood and Black Lace (1964) dan A Bay of Blood (1971) jelas merupakan sumber inspirasi bagi kemunculan slasher Amerika. Dari daratan Amerika, film Psycho (1960) juga diperhitungkan sebagai cikal bakal film slasher dalam bentuknya yang masih belum jelas. Hingga akhirnya film Black Christmas (1974) muncul sebagai prototype sub-genre slasher seperti yang pernah saya bahas beberapa tahun lalu. Tapi baru film Halloween-lah yang akhirnya mendorong kelahiran sub-genre slasher hingga menimbulkan gelombang besar trend slasher di sepanjang dekade 1980 di Amerika, dengan film Halloween sebagai blue-print-nya. Setelah kesuksesan Halloween, banyak sineas horor berlomba-lomba membuat film slasher-nya sendiri, dari yang cukup original hingga para copycat. Beberapa dari film-film tersebut bahkan tak kalah populernya dengan Halloween. Yang paling menonjol tentu saja adalah Friday the 13th (1980) yang menyempurnakan subgenre ini dengan menyuntikkan lebih banyak unsur gore, serta A Nightmare on Elm Street (1984) yang memadukan konsep supranatural yang kuat hingga memungkinkan terciptanya adegan-adegan pembunuhan yang jauh lebih kreatif dan fantastis. Kedua film tersebut begitu sukses dan diterima dengan baik hingga menjadi franchise tersendiri. Di luar itu, masih ada puluhan bahkan ratusan judul film slasher yang diproduksi sepanjang era 80-an, namun tidak pernah berhasil menjadi franchise sendiri. Film-film semacam My Bloody Valentine (1981), The Prowler (1981), Happy Birthday To Me (1981), The Burning (1981), Slumber Party Massacre (1982), Sleepaway Camp (1983), Silent Night, Deadly Night (1984), April Fool’s Day (1986), hingga Maniac Cop (1988) mungkin tidak akan pernah ada kalau bukan karena Halloween.
Walaupun bukan karya pertamanya, Halloween adalah film mahakarya John Carpenter yang berhasil mengharumkan namanya dalam industri film horror. Setelah Halloween, Carpenter membuat lebih banyak film horror ikonik lainnya seperti The Fog (1980), The Thing (1982), Prince of Darkness (1987), They Live (1988) hingga In the Mouth of Madness (1994), menjadikan Carpenter sebagai salah satu pembuat film horor berstatus legendaris. Apa yang membuat Carpenter jauh lebih menonjol dibanding sutradara / penulis horor lainnya adalah, ia juga dikenal sebagai seorang komposer score horor yang karya musiknya memberi pengaruh sangat besar bagi kultur horor secara umum. Salah satu musik tema yang juga merupakan mahakarya-nya sebagai komposer, juga ada dalam film Halloween: alunan nada synthesizer sederhana namun sangat mencekam yang kini telah dianggap klasik, sepanjang masa, dan tak bisa dilepaskan dari sosok Michael Myers, seperti bagaimana lagu The Imperial March gubahan John Williams tak bisa dipisahkan dari Darth Vader dalam film-film Star Wars.
Saya tidak akan berpanjang lebar dengan plotnya yang sederhana. Seorang bocah berumur enam tahun yang bernama Michael Myers harus dikurung dalam penjara khusus kejiwaan setelah membantai kakaknya sendiri dengan sebilah pisau dapur pada suatu malam Halloween. Tepat lima belas tahun kemudian, Michael berhasil kabur. Sesuai dugaan psikiaternya, dokter Sam Loomis, Michael pergi ke rumah masa kecilnya di kota Haddonfield. Di sana ia mulai menguntit seorang mahasiswi yang bekerja paruh waktu sebagai babysitter bernama Laurie Strode ketika penduduk kota sedang mempersiapkan perayaan malam Halloween. Tak ada pesta kostum bagi Laurie karena malam itu ia harus bekerja menjaga seorang anak kecil bernama Tommy. Di waktu yang sama Dr. Loomis pergi mengejar Michael ke Haddonfield untuk menghentikan apa yang ia khawatirkan terjadi: Michael akan membunuh lagi. Sekali lagi dugaannya benar. Pada malam Halloween 1978, Michael Myers mengincar Laurie dan siapapun yang menghalanginya sebagai target pembantaian berikutnya.
Tidak seperti kebanyakan film slasher yang kita kenal, Halloween tidak memiliki tingkat gore yang tinggi dengan standar hari ini. Unsur graphic gore yang identik dengan film slasher mungkin baru dipopulerkan oleh film Friday the 13th dua tahun kemudian. Dengan bajet yang sangat terbatas, Carpenter lebih mengandalkan story-telling dan penciptaan atmosfer dengan sangat baik, dan tidak terlalu berfokus pada body-count serta adegan gore dengan special effect yang fantastis seperti film-film slasher lain yang muncul setelahnya. Namun mungkin justru itulah yang membuat Halloween lebih menonjol dari para penirunya di kemudian hari. Setengah durasi film ini dipakai untuk membangun atmosfer sambil menumpuk kecemasan serta ketegangan secara perlahan dengan sangat baik. Banyak sekali shot dan adegan dalam film ini yang membuktikan bahwa John Carpenter adalah seorang sutradara yang brilian. Ia sanggup menakut-nakuti penontonnya hanya lewat alunan musik, suasana, permainan pencahayaan serta bayangan, dan Michael Myers.
Bicara soal Michael Myers, apa yang paling saya suka dari karakter ini dalam film Halloween yang pertama adalah bagaimana ia digambarkan sebagai sosok “boogeyman” yang menguntit di kegelapan. Michael yang beraksi secara stealth, pendiam, tanpa ada ekspresi wajahnya, dilengkapi dengan kehampaan pada lubang mata topeng putihnya, adalah desain yang sangat efektif untuk sosok pembunuh pada malam Halloween yang bisa tiba-tiba berada dalam sebuah ruangan gelap, dimana kadang hanya sekelibat topeng putihnya saja yang terlihat mendekat. Topeng Michael Myers jelas merupakan salah satu topeng paling ikonik dalam sejarah film horor. Padahal topeng ini bukan hasil dari perancangan khusus. Perlu dicatat bahwa Halloween adalah film independen berbajet rendah. Beberapa studio besar menolak membiayai produksi film ini setelah membaca naskah Halloween yang ditulis oleh John Carpenter dan Debra Hill. Akhirnya dengan seluruh daya upaya dan menguras tabungan, mereka memproduksi sendiri film ini. Sangking rendahnya bajet yang tersedia, para kru produksi film ini “menciptakan” topeng Michael Myers hanya bermodalkan topeng karakter Kapten Kirk dari film Star Trek yang memang dijual bebas pada saat itu, yang kemudian dicat putih dengan sedikit modifikasi pada bagian lubang mata. Tak seorangpun dari para kru film Halloween yang menduga kalau topeng sederhana yang mereka “buat” akan menjadi begitu ikonik dan legendaris hingga hari ini.
Michael Myers sendiri adalah salah satu villain horror favorit saya, khususnya Michael Myers versi Carpenter, di mana ia digambarkan sebagai pure evil seperti yang dituturkan oleh Dr. Loomis. Gaya Michael Myers yang dingin, tenang, tidak pernah berbicara dan tak pernah menunjukkan emosi apapun, menambah aura jahat dari karakter ini. Dalam film ini, kita tidak tahu mengapa Michael melakukan aksi kejamnya. Ia tidak membutuhkan latar belakang “menyedihkan” yang simpatik untuk memvalidasi aksinya, karena ia adalah personafikasi pure evil. Bagi saya, mungkin di sinilah kegagalan Halloween versi Rob Zombie karena mencoba “memanusiakan” Michael Myers. Saya pribadi lebih suka dengan ide Michael Myers sebagai personafikasi evil murni karena itu membuat Michael memiliki sedikit kualitas supranatural yang justru akan menjadi masuk akal ketika ia sulit dibunuh kemudian. Tidak adanya motif yang jelas dalam aksi-aksi Michael juga menjadikan ide tentang pembunuhan acaknya lebih menakutkan dibandingkan pembunuhan bermotif balas dendam, atau luka batin masa kecil, misalnya.
Film Halloween membuktikan bahwa kengerian bisa diciptakan dengan rumusan yang sangat sederhana. Tak perlu special effect rumit dan mahal, cukup dengan kisah sederhana tentang seorang psikopat berperawakan tinggi besar, membunuh tanpa sebab menggunakan sebilah pisau dapur. Bagi saya Halloween 1978 tetaplah merupakan film Halloween terbaik dari keseluruhan franchise dan rasanya cukup untuk menjadi sebuah film tunggal yang berdiri sendiri. Setelah menonton Halloween untuk kesekian ratus kalinya (oke saya sedikit berlebihan soal angkanya), saya semakin yakin kalau Halloween 1978 merupakan mahakarya tak tertandingi yang wajib ditonton berulang kali.