BLACK CHRISTMAS
Sutradara: Bob Clark
Kanada (1974)
Review oleh Tremor
Ini adalah waktu yang tepat bagi saya untuk mereview film horror berlatar hari natal. Sebenarnya ada banyak sekali film horor berlatar natal dengan pendekatannya yang berbeda-beda, dari mulai pembunuh berkostum sinterklas seperti dalam film Christmas Evil (1980) serta Silent Night, Deadly Night (1984) dan banyak lagi film serupa, hingga yang mengambil tema folklore gelap seperti Rare Exports (2010) dan Krampus (2015). Film berlatar natal favorit saya sendiri adalah Gremlins (1984). Namun kali ini saya ingin menulis tentang sebuah film horror berlatar natal lainnya yang merupakan salah satu film terpenting dalam genre horror hingga hari ini, yaitu Black Christmas (1974) yang dibuat oleh sutradara Bob Clark. Film ini dianggap penting dalam dunia film horror karena Black Christmas adalah film yang memberi pengaruh sangat besar bagi film besar lainnya: Halloween (1978). Seperti kita ketahui, Halloween kemudian memicu kelahiran sebuah sub-genre tersendiri dalam genre horror, yaitu sub-genre slasher. Trend yang dimulai oleh Halloween membuat para sineas horror Amerika kemudian berlomba-lomba memproduksi film slasher-nya sendiri dengan tema yang berbeda-beda di sepanjang era 80-an. Semua itu tidak akan terjadi tanpa adanya Black Christmas yang bisa dibilang merupakan prototipe dari film-film slasher.
Kisah dalam Black Christmas berpusat pada sebuah rumah asrama mahasiswi di malam natal. Para penghuni asrama sedang menikmati pesta malam natal sebelum liburan musim dingin tiba di mana mayoritas dari mereka akan pergi berlibur bersama keluarga masing-masing. Bersamaan dengan itu, seseorang yang misterius diam-diam memasuki rumah lewat jendela loteng. Saat pesta hampir usai di lantai bawah, telepon rumah tiba-tiba berdering. Salah satu penghuni asrama bernama Barb mengangkat telepon dan mendengar suara seorang pria sakit jiwa berbicara dengan tidak senonoh, vulgar, menyeramkan dan kasar. Barb adalah tipikal karakter pemberani. Di saat remaja lain ketakutan dengan suara si penelpon, Barb malah berbalik berkata kasar padanya. Ia yakin panggilan telepon yang tak dikenal ini hanyalah bentuk prank para remaja pria di kampus. Setelah sebagian besar tamu meninggalkan pesta, salah satu dari penghuni asrama bernama Clare masuk lebih awal ke dalam kamarnya untuk berkemas. Rencananya, ia akan dijemput ayahnya besok untuk pergi berlibur. Namun seseorang yang sudah bersembunyi di dalam lemari Clare menyekap kepala Clare dengan kantong plastik hingga ia tidak bisa bernafas dan meninggal. Pembunuh itu kemudian menyembunyikan jasad Clare di loteng rumah.
Keesokan harinya ayah Clare datang menjemput putrinya. Saat itulah teman-teman Clare baru menyadari bahwa Clare tidak ada di kamarnya. Clare-pun dinyatakan hilang dan kasus ini dilaporkan ke pihak kepolisian yang sama sekali tidak membantu. Polisi yakin kalau ada seorang remaja perempuan yang menghilang, biasanya itu karena mereka pergi berkencan. Namun akhirnya kasus hilangnya Clare mulai dianggap serius setelah ada kejadian lain dimana seorang anak kecil juga dinyatakan hilang, yang sebenarnya belum tentu berkaitan dengan kejadian di rumah asrama mahasiswa. Seorang detektif bernama Letnan Fuller kemudian mengambil tugas mendalami kedua kasus tersebut. Pencarian yang dibantu oleh warga pun dilakukan malam itu juga di mana akhirnya mereka menemukan jasad si anak yang hilang. Namun keberadaan Clare masih menjadi misteri.
Panggilan telepon anonimus ke rumah asrama kembali terjadi dan suara si penelpon terdengar semakin gila dari sebelumnya. Kini si penelpon berdialog dengan dirinya sendiri menggunakan beberapa suara yang berbeda-beda. Kalau sebelumnya para penghuni asrama pikir ini hanyalah bentuk prank belaka, kini mereka mulai menganggap panggilan telepon ini sebagai bentuk terror serius. Letnan Fuller menyadari bahwa panggilan-panggilan telepon ini mungkin ada kaitannya dengan hilangnya Clare. Polisi pun bergerak cepat memasang alat penyadap pada pesawat telepon utama di rumah asrama. Fuller kemudian meminta salah satu penghuni asrama, bernama Jess, untuk berjaga-jaga menunggu panggilan telepon berikutnya. Dan kalau orang gila itu menelpon lagi, Jess harus bisa menahan sambungan tersebut selama mungkin agar polisi memiliki cukup waktu untuk melacak asal panggilan. Apa yang luput dari pengawasan polisi dan Jess adalah, selama Jess menunggu panggilan berikutnya, sang maniak mulai membantai para penghuni asrama lain satu persatu di kamar tidur mereka masing-masing.
Pada dasarnya, Black Christmas adalah sebuah film thriller yang memiliki banyak elemen yang di kemudian hari banyak “dipinjam” oleh ratusan film slasher Amerika, sebelum akhirnya menjadi stereotip umum yang membosankan. Dari mulai plot satu orang maniak misterius menguntit dan membantai para remaja dengan cara pembunuhan yang bervariasi, stereotip para remaja perempuan dalam kelompok mahasiswi, final girl, hingga body count. Hal menarik lainnya dari Black Christmas adalah, film ini tidak memperlihatkan karakter antagonisnya sama sekali. Para penonton tidak pernah benar-benar melihat si pembunuh tak bernama ini selain hanya lewat bayangan, tangan, kaki, sorot mata, dan siluet perawakannya saja. Kita hanya bisa mempelajari kepribadian dan ketidakstabilan mental si pembunuh lewat suara serta jeritannya dalam setiap panggilan-panggilan teleponnya saja. Fakta bahwa kita tidak pernah benar-benar melihat sang pembunuh dalam film ini menjadi elemen kuat yang membantu Black Christmas menciptakan ketegangan dan misterinya. Tapi kita tetap bisa melihat seluruh aksinya karena sutradara Bob Clark selalu menggunakan sudut pandang POV (orang pertama) setiap kali sang pembunuh beraksi. Sebenarnya sudut pandang POV dari mata seorang pembunuh adalah elemen yang sudah terlebih dahulu dipopulerkan oleh film-film Giallo Italia sebelumnya. Dalam review film Blood and Black Lace (1964) yang pernah saya tulis dulu, saya pernah menyinggung bagaimana film-film Giallo kemudian menjadi inspirasi besar dalam lahirnya genre slasher Amerika. Black Christmas adalah salah satu contoh paling sempurna soal itu, karena sudut pandang POV dalam film ini jelas terinspirasi dari film-film giallo. Perbedaannya dengan giallo, pembunuh dalam Black Christmas tidak menggunakan topeng, dan identitasnya serta motifnya tidak pernah terbongkar hingga film ini berakhir. Film Black Christmas memang memiliki unsur investigasinya sendiri, namun semuanya tetap menjadi misteri. Motif dari si pembunuh yang tidak pernah terkuak ini adalah selimut misteri yang juga digunakan oleh John Carpenter dalam film Halloween pertamanya, dimana kita tidak pernah tahu apa motif yang membuat Michael Myers melakukan kekejamannya.
Sebagai sebuah prototipe, Black Christmas belum menjadi film slasher murni. Film ini tidak kejam, jarang menampilkan darah, dan tidak seperti kebanyakan film slasher (dan giallo), Black Christmas lebih berfokus pada jalan cerita dan misteri dibandingkan pada adegan pembunuhan. Hal lain yang membedakan Black Christmas dengan film-film slasher 80-an adalah, Black Christmas menggunakan pendekatan realistis dalam menggambarkan sosok pembunuhnya. Sang pembunuh jelas memiliki beberapa ciri gangguan kejiwaan yang bisa saja ditemui dalam dunia nyata. Ia juga tidak memiliki atribut “superpower” seperti yang bisa kita temui dalam karakter-karakter seperti Jason Voorhees dimana ia bisa terus bangkit dari kematian hingga berjilid-jilid dan sanggup muncul di ruangan manapun, kapanpun. Pembunuh dalam Black Christmas benar-benar seorang sakit jiwa yang diselimuti dengan misteri. Menonton Black Christmas rasanya seperti menonton film tentang Ted Bundy dengan gaya cerita proto-slasher. Sutradara Bob Clark tentu tidak pernah membayangkan kalau film horor buatannya akan mendapat gelar cult classic dalam industri film horror. Black Christmas jelas adalah tontonan wajib bagi kalian para penggemar film slasher, karena film ini merupakan bagian penting dalam sejarah genre horror tersebut.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com