FRONTIER(S)
Sutradara: Xavier Gens
Perancis (2007)
Review oleh Tremor
Frontier(s) adalah satu dari sekian banyak film horror ekstrim yang lahir di tengah era di mana fenomena New French Extremity sedang menancapkan taringnya dalam genre horror. Secara singkat, label New French Extremity menggambarkan fenomena gerakan artistik perfilman Perancis (bukan hanya dalam genre horror) pada awal tahun 2000-an yang dengan sengaja melanggar banyak tabu. Maka, bisa dipahami mengapa tidak semua orang bisa menikmati film-film horror semacam High Tension (2003), Calvaire (2004), Them (2006), Inside (2007), hingga Martyrs (2008) karena tingkat visual kekerasan, serta kegilaan dan keberanian ide yang ditawarkan kadang melebihi rata-rata. Dulu, saat pertama kali menonton Frontier(s), film ini rasanya tidak meninggalkan kesan berarti bagi saya. Apalagi kalau dibandingkan dengan Inside dan Martyrs. Yang saya ingat hanyalah, Frontier(s) bagaikan film The Texas Chainsaw Massacre dalam versi yang jauh lebih brutal. Namun setelah menonton ulang 15 tahun kemudian dan membaca beberapa pernyataan dari sutradara / penulisnya, Xavier Gens, saya baru menyadari bahwa mungkin Frontier(s) adalah film New French Extremity pertama yang menyisipkan pesan sosial-politik di dalamnya. Dalam salah satu interviewnya, Xavier menyatakan kalau hal yang menginspirasinya menulis Frontier(s) adalah kebangkitan seorang politikus far-right bernama Jean-Marie Le Pen beserta partainya National Front yang didominasi oleh neo-nazi dalam pemilu Perancis 2002, di mana pada saat itu mereka mendapatkan hampir 17% perolehan suara. Bagi Xavier, momen politik tersebut merupakan momen yang mengerikan untuk masa depan Perancis, apalagi Perancis bisa dibilang sebagai negara yang multi-kultural karena banyak keturunan imigran menetap di sana. Lewat film ini, Xavier ingin menyampaikan kegelisahannya tentang bahayanya kebangkitan nazisme, fasisme dan rasisme di eropa dengan cara menggambarkan neo-nazi sebagai manusia-manusia kanibal sadis, sama seperti bagaimana film-film redneck / hillbilly horror Amerika menggambarkan penduduk selatan yang didominasi para nasionalis rasis sebagai orang-orang terbelakang haus darah.
Plot film ini tidak serumit yang kita bayangkan tentang sebuah film yang menyelipkan komentar sosial-politik. Kerusuhan besar menyelimuti kota Paris setelah seorang pemimpin ekstrimis sayap kanan berhasil lolos ke paruh kedua pemilihan presiden. Dalam kerusuhan ini, sekelompok anak muda perusuh melarikan diri keluar dari Perancis setelah berhasil merampok satu tas uang tunai. Mereka adalah Alex, Tom, Farid, dan mantan kekasih Alex yang sedang hamil muda bernama Yasmine. Di tengah perjalanan, Tom dan Farid berhenti di sebuah penginapan tua dekat perbatasan untuk beristirahat sambil menunggu Alex dan Yasmine yang sempat berpisah. Tanpa mereka sadari, penginapan tersebut dijalankan oleh satu keluarga neo-nazi kanibal. Keluarga ini dikepalai oleh Von Geisler, seorang kakek tua yang delusional dan kejam, mantan tentara nazi perang dunia kedua yang selama ini bersembunyi di sana. Sejak para anak muda ini tiba di penginapan, ketegangan mulai meningkat. Ketika satu persatu dari anak muda ini menjadi korban kekejaman keluarga neo-nazi sakit jiwa, Yasmine yang sedang hamil justru mendapatkan dirinya terjebak dalam situasi yang jauh lebih buruk dari kematian. Ia tidak memiliki pilihan selain berjuang untuk menyelamatkan dirinya sekaligus janin yang dikandungnya.
Pengaruh The Texas Chainsaw Massacre (seterusnya saya singkat TCM) jelas terasa sangat kuat dalam Frontier(s), dari mulai keluarga kanibal, adegan makan malam, anggota keluarga yang berprofesi polisi, nenek yang lumpuh tak berdaya, hingga satu anggota keluarga sebagai penjagal yang tidak pernah berbicara. Sama seperti keluarga Sawyer dalam TCM yang dikepalai oleh sosok kakek, keluarga dalam Frontier(s) juga dikepalai oleh sosok kakek. Namun bedanya, sosok kakek dalam Frontier(s) masih sangat fit dan sehat, tidak seperti sosok Grandpa Sawyer yang sudah menyerupai zombie dalam TCM. Selain TCM, saya juga bisa merasakan sedikit pengaruh dari film Hostel (2005), di mana anak-anak muda calon korbannya dijebak lewat rayuan perempuan. Jadi, jelas tidak ada yang baru dalam plot Frontier(s), karena film ini benar-benar menggunakan formula standar film-film backwoods horror ala TCM di mana sekelompok teman terjebak di tempat terpencil untuk kemudian disiksa dan dibunuh dengan cara mengerikan oleh orang-orang pedesaan.
Yang membedakan Frontier(s) dari film backwood horror Amerika mungkin adalah semua adegan gore brutal dan penyiksaan nihilistiknya digambarkan dengan cukup realistis, seperti yang bisa kita temui dalam kebanyakan film-film New French Extremity. Dan gore realistis kadang jauh lebih membuat penonton ngilu dibandingkan gore over-the-top yang menghibur ala film-film slasher dan splatter Amerika. Aktris Karina Testa juga melakukan pekerjaan yang fantastis dalam perannya sebagai Yasmine, meskipun penulisan arc-nya sebagai protagonis bisa dibilang sangat standar: awalnya tampak lemah, kemudian menjadi karakter yang paling kuat secara mental setelah terjebak dalam kondisi antara hidup dan mati. Tapi setidaknya Karina Testa benar-benar bisa berakting membawakan perannya dengan sangat meyakinkan. Saya juga menyukai bagaimana penggambaran karakter kakek Von Geisler bisa terasa sangat mengintimidasi, bahkan pada saat ia hanya diam saja memandangi calon korbannya. Karakter ini sangat menakutkan bukan secara fisik, melainkan secara psikologis. Hal tersebut terbantu dengan melihat dinamika keluarga kanibal ini, ketika anak-anaknya tampak begitu ketakutan dengan kedatangan sosok sang kakek. Orang seperti Von Geisler jelas adalah tipe yang akan kita semua jauhi dalam kehidupan nyata, terlepas ia seorang nazi kanibal atau bukan.
Kelemahan terbesar Frontier(s) bagi saya adalah: film ini terlalu generik. Semua hal klise backwoods horror ada di dalamnya, dan seperti sudah saya tulis sebelumnya, tidak ada hal baru yang bisa kita temui dalam plotnya selain metafora politik-sosial tentang bagaimana gerakan neo-nazi secara diam-diam masih tumbuh di Perancis. Selain itu, sangat disayangkan bagaimana beberapa ide yang berpotensi menakutkan dalam Frontier(s) justru tidak dikembangkan, contohnya adalah apa yang kita lihat di ruang bawah tanah dalam film ini. Saya pikir kalau saja elemen tersebut dikembangkan, justru akan menambah variasi kengerian dalam Frontier(s). Sub-plot tentang usaha keluarga Von Geisler mencoba menjaga garis keturunan ras murni juga agak membingungkan, karena kalau mereka paham betul ide-ide nazi, mereka tidak akan mungkin memilih Yasmine yang berambut hitam dengan mata cokelat sebagai “ibu” penerus garis keturunan. Tapi soal itu saya berusaha menghibur diri dengan berpikir bahwa keluarga sadis ini memang gila, putus asa, dan sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang tepat untuk dilakukan berdasarkan ideologi mereka sendiri.
Frontier(s) jelas tidak akan pernah bisa berada pada level yang sama dengan Inside (2007) dan terutama Martyrs (2008), dua film horror New French Extremity yang menurut saya paling menonjol. Meskipun gore film ini memang brutal, tapi tingkat keekstriman visual Frontier(s) terasa jauh lebih jinak kalau dibandingkan kedua film tersebut. Namun setidaknya Frontier(s) cukup berani untuk menggambarkan neo-nazi sebagai evil murni di saat dalam kehidupan nyata partai neo-nazi sempat bangkit di Perancis. Di luar semua kekurangannya, film Frontier(s) tetap cukup menghibur (saya tidak tahu apakah “menghibur” adalah kata yang tepat untuk film semacam ini.) Bayangkan elemen terbaik dari The Texas Chainsaw Massacre, Hostel, dan The Hills Have Eyes versi remake diblender menjadi satu, lalu dilengkapi dengan bumbu senapan mesin dan ledakan ala film Rambo, kira-kira seperti itulah sisi “menghibur” yang saya maksud. Film ini tentu bukan untuk semua orang, terutama bukan untuk mereka yang tidak kuat melihat adegan kekerasan. Tapi bagi penggemar gore dan torture porn, Frontier(s) setidaknya perlu ditonton minimal satu kali dalam hidup mereka.