fbpx

MOVIE REVIEW: ELIZABETH HARVEST (2018)

ELIZABETH HARVEST
Sutradara: Sebastian Gutierrez
USA (2018)

Review oleh Tremor

Perkembangan teknologi yang sangat pesat, serta ketergantungan manusia pada teknologi tentu menentukan banyak hal di masa depan. Banyak orang melihat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan akan membawa kita pada masa depan yang suram kalau kita tidak menggunakan semua kemajuan tersebut dengan bijak. Tidak mengherankan kalau sejak lama banyak penulis fiksi ilmiah menulis tentang masa depan yang suram, karena tema distopia selalu menjadi tema dasar yang menarik dan penuh dengan ide-ide baru untuk diolah. Demikian juga dengan film, dari mulai Metropolis (1927), THX 1138 (1971), Blade Runner (1982), hingga serial Black Mirror (2011-2019) seakan berusaha memberi peringatan akan kemungkinan terfatal dari kemajuan teknologi dan hubungannya dengan hasrat manusia. Ini menjadi lebih menarik, karena selain mengubah dunia, perkembangan teknologi juga ikut melahirkan bentuk kecemasan yang sama sekali baru untuk difilmkan. Elizabeth Harvest adalah film yang walaupun tidak semenyeramkan dan segelap Black Mirror, berada di koridor yang sama. Film sci-fi / thriller horror yang cukup menarik dan unik ini adalah karya dari penulis/sutradara berdarah Venezuela, Sebastian Gutierrez.

Seorang ilmuwan peraih Nobel sekaligus miliarder bernama Henry tinggal di sebuah rumah mewah berteknologi tinggi di atas tebing. Rumah ini cukup terisolasi dari kota terdekat, tetapi pemandangannya jelas sangat indah. Henry baru saja menikah dengan seorang perempuan muda, protagonis film ini yang bernama Elizabeth, yang ia bawa ke rumah itu sambil berbulan madu. Di sana kita diperkenalkan dengan karakter lainnya, yaitu seorang pengurus rumah Henry yang misterius bernama Claire, dan anak laki-laki Henry yang buta bernama Oliver. Bagaikan seorang puteri raja, Henry memberikan segalanya untuk Elizabeth: lemari penuh pakaian karya desainer terkenal, berbagai macam perhiasan mahal, makan mewah, dan tentu saja sosok suami kaya raya yang tampaknya sangat menyayangi Elizabeth. Walaupun seisi rumah mewah Henry adalah milik Elizabeth, tetapi ada satu ruangan yang tidak boleh Elizabeth masuki. Henry dengan sangat jelas menegaskan soal itu pada Elizabeth. Namun tentu saja rasa penasaran Elizabeth tak terbendung. Suatu hari saat Henry pergi untuk keperluan bisnisnya, Elizabeth pun masuk ke dalam ruang terlarang tersebut. Di titik inilah ia menemukan sesuatu yang lebih dari yang ia harapkan, dan hidup Elizabeth berubah menjadi mimpi buruk.

Secara sekilas, banyak hal dalam Elizabeth Harvest yang akan sedikit mengingatkan kita pada film Ex Machina (2014), walaupun kita tidak akan melihat satupun android dalam Elizabeth Harvest. Mungkin perbandingan yang tak terhindarkan tersebut muncul karena kedua film ini menggunakan set lokasi yang mirip: rumah mewah yang terisolasi di perbukitan indah. Keduanya juga merupakan film sci-fi distopian yang sama-sama menampilkan seorang ilmuwan yang “menyekap” perempuan di dalam rumah berteknologi tinggi, terkunci rapat, sangat steril, dengan satu karakter perempuan lainnya yang berperan sebagai asisten. Ada banyak perilaku tak bagus dari para karakter pria dalam cerita Elizabeth Harvest: nafsu, kesombongan, keinginan untuk membentuk pasangan yang harus selalu patuh dan sempurna, objektifikasi perempuan, hingga perilaku abusif yang awalnya sekedar “aku suka kamu” kemudian berangsur menjadi “kamu berhutang cinta padaku karena perasaanku padamu begitu kuat.” Satu hal yang pasti soal Elizabeth Harvest adalah, moral film ini jelas bukan tentang bahwa perempuan harus patuh, tidak berhak mempertanyakan kepatuhan, dan harus siap dituntut untuk menjadi sempurna, tetapi justru sebaliknya.

Untuk ukuran film yang berjalan dengan lambat, durasi Elizabeth Harvest rasanya terlalu panjang bagi saya. Tapi saya tidak terlalu mengeluhkan soal itu karena waktu yang saya luangkan untuk menonton film ini cukup terbayar dengan rasa penasaran yang terjawab secara perlahan, dihiasi dengan visual dan sinematografi yang sangat memukau dengan semburan cahaya neon, yang mewakili berbagai situasi yang berbeda. Belum lagi dengan adanya adegan-adegan menegangkan yang menggunakan teknik split screen dengan sangat efektif dalam membangun suasana. Namun film ini memang memiliki beberapa kelemahan yang menjadi keluhan saya secara pribadi. Salah satunya, dan ini merupakan keluhan terbesar saya, adalah soal karakter Oliver yang buta. Tanpa berniat untuk mendiskreditkan para tunanetra, saya rasa Oliver terlalu mahir untuk ukuran orang buta. Apalagi diceritakan bahwa rupanya Oliver baru menderita kebutaan sejak ia remaja, bukan sejak lahir. Tapi ia bukan hanya mampu menembak shotgun dan langsung tepat sasaran saja, tapi sejak awal Oliver juga tampak berlalu-lalang di dalam rumah tanpa alat bantu sama sekali. Ia juga bisa menyiapkan makanan, membawa baki makanan ke sana kemari, tahu ke arah mana wajah Elizabeth saat melamun, hingga mampu mengoperasikan alat-alat canggih ayahnya, semua tanpa bantuan alat bantu sedikitpun. Bahkan saya sempat mencurigai kalau ia sebenarnya tidak buta dan mungkin hal tersebut akan dijelaskan sebagai twist kemudian. Tetapi tak ada penjelasan apapun. Oliver memang diceritakan buta hingga film ini berakhir, dan menurut saya ia terlalu cekatan untuk ukuran orang yang mengalami kebutaan bukan sejak lahir. Rasanya hal tersebut adalah kesalahan fatal yang bisa mengganggu konsentrasi penonton. Dan kalau dipikir-pikir, cerita dalam Elizabeth Harvest tidak akan berubah terlalu drastis seandainya saja karakter Oliver tidak buta.

Tapi di luar kelemahan itu, aktris Abbey Lee yang berperan sebagai Elizabeth, dan Carla Gugino yang berperan sebagai Claire, memberikan pertunjukan seni peran yang luar biasa. Elizabeth berhasil memperlihatkan sikap kaku, tatapan kosong, ekspresi wajah penuh rasa bingung seperti orang tersesat, yang alasannya akan segera terjawab kemudian. Demikian juga dengan Claire yang jelas memiliki motif yang disembunyikan sejak film ini dimulai. Aktor Ciarán Hinds sebagai pemeran Henry juga cukup meyakinkan sebagai pria melankolis yang terasa penuh dengan gestur mencurigakan, membuat para penonton ingin mencegah Henry setiap kali ia mendekati Elizabeth dalam film ini. Secara keseluruhan, Elizabeth Harvest bukan film yang sempurna, tapi juga bukan film yang buruk. Terlepas dari semua plot hole dan kejanggalannya, ide dasar Elizabeth Harvest tetap menarik dan dieksekusi dengan menawan. Saya cukup menikmati film ini dan sama sekali tidak menyesali waktu yang saya lewatkan untuk menonton Elizabeth Harvest, walaupun mungkin tidak akan saya tonton ulang di lain waktu.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com