fbpx

MOVIE REVIEW: COLOR OUT OF SPACE (2019)

COLOR OUT OF SPACE
Sutradara: Richard Stanley

USA (2019)

Review oleh Tremor

Color Out of Space adalah sebuah film sci-fi / cosmic horror / body-horror yang diadaptasi secara langsung dari cerpen buatan H.P. Lovecraft tahun 1927 berjudul “The Colour Out of Space” (ejaan British). Film ini bukanlah film pertama yang mencoba mengadaptasi cerpen tersebut. Setidaknya sudah ada 4 film yang mencobanya, salah satu yang paling terkenal berjudul Die, Monster, Die (1965). Sejauh ini, Color Out of Space 2019 yang diproduksi oleh SpectreVision milik Elijah Wood ini dianggap sebagai adaptasi yang paling sukses. Film ini disutradarai oleh Richard Stanley, seorang sutradara yang mendapat pamor cult lewat debut film berbajet rendahnya yang berjudul Hardware (1990), disusul dengan Dust Devil (1992). Sejak itu ia hanya membuat film pendek, dokumenter dan beberapa video klip aneh. Setelah absen selama 28 tahun dalam pembuatan film feature, Stanley kembali dengan cara yang spektakuler: Lovecraft dan Nicolas Cage.

Film ini berfokus pada keluarga Gardner yang tinggal di sebuah rumah pertanian di tengah hutan, jauh dari kota terdekat (kota Arkham, sebuah kota fiksi yang hampir selalu hadir dalam jagat buatan H.P. Lovecraft bersamaan dengan kota Dunwich dan universitas Miskatonic). Sang ibu, Theresa Gardner sedang berjuang melawan kanker. Sedangkan suaminya, Nathan sedang berjuang untuk membuktikan bahwa ia bisa mengurus tanah pertanian yang baru saja diwariskan dari orang tuanya. Sebenarnya sudah sejak lama pemerintah setempat ingin membeli tanah ini. Namun Nathan menolak untuk menjualnya. Mereka berdua sering bertengkar karena sambungan internet yang terus-menerus terputus di daerah terpencil ini, padahal pekerjaan Theresa yang berhubungan dengan jual beli saham membutuhkan internet agar ia bisa berkomunikasi dengan para kliennya. Anak perempuan mereka yang masih remaja bernama Lavinia menggemari semua hal yang berbau witchcraft dan sesekali melakukan ritual wiccan di dalam hutan yang ia percaya bisa membantu kesembuhan ibunya. Anak mereka yang lain, remaja bernama Benny, adalah seorang pothead pemerhati teori konspirasi serta hal-hal yang berhubungan dengan luar angkasa. Ia berteman dengan seorang pothead lainnya, hippie lanjut usia bernama Ezra yang tinggal dalam gubuk dekat situ. Benny dan Laviana merasa terpaksa dan terasing di tempat baru ini karena mereka tidak memiliki teman sebaya dan tidak sekolah di sini. Kedua orang tua mereka adalah mantan hippie yang ingin hidup secara mandiri bercocok tanam dan menjauh dari peradaban. Hanya anak mereka yang paling kecil, Jack, yang tampaknya tidak memiliki masalahnya sendiri dalam film ini. Keluarga Gardner memiliki mimpi untuk bisa hidup mandiri hanya dari hasil bumi di tanah mereka. Semua kebutuhan air minum mereka berasal dari sumur yang berada tepat di halaman rumah. Mereka juga menanam buah dan sayuran mereka sendiri. Nathan bahkan memelihara sekawanan alpaca untuk diperas susunya. Ya, alpaca! Karakter sentral lain dalam film ini adalah seorang ilmuwan, ahli hidrologi muda bernama Ward Phillips. Suatu hari ia tersesat di dalam hutan dan bertemu dengan Lavinia yang tengah melakukan salah satu ritualnya. Ward menjelaskan bahwa ia ada di sana untuk melakukan survei terhadap air tanah. Ia ditugaskan oleh pemerintah setempat karena akan dibangun bendungan di sekitar situ.

Suatu malam sebuah meteor jatuh dari langit dan mendarat tepat di halaman rumah, dekat sumur keluarga Gardner. Batu ekstraterestial ini memancarkan warna-warna psychedelic serta bau aneh. Sejak hari itu, meteor misterius tersebut mulai mengubah semua yang bersentuhan dengannya. Perubahan-perubahan ini dimulai secara perlahan. Pertama ia mengkontaminasi air tanah, yang menurut pengamatan Ward tidak boleh mereka minum. Lambat laun kehidupan tumbuhan dan hewan di sekitar sumur juga mulai bermutasi. Banyak tanaman, bunga aneh hingga serangga dengan warna-warni yang tidak ada di alam bumi mulai bermunculan. Kebun Gardner juga mulai menghasilkan buah-buahan dengan ukuran yang tidak biasa, dan tidak bisa dimakan. Sekumpulan hewan ternak juga ikut mengalami perubahan dengan cara yang menjijikkan. Tak hanya sampai di situ, kehadiran meteor itu juga mengubah waktu dan realita itu sendiri. Secara perlahan satu persatu anggota keluarga Gardner mulai mengalami perubahan perilaku dan transformasi fisik yang mengerikan. Satu-satunya karakter dalam film ini yang tampaknya memahami tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi adalah si tua Ezra. Ia berspekulasi bahwa meteor tersebut datang dari dunia yang tidak dikenal, dan secara perlahan akan mengubah planet bumi menjadi seperti dunia asalnya. Apapun entitas yang dibawa oleh meteor tersebut, ia mengkonsumsi apapun yang diinginkannya, membunuh apapun yang dibutuhkannya, dan mengubah apapun yang disentuh. Tidak lama kemudian keluarga gardner mulai mengalami realita mereka sendiri yang berada di luar pemahaman manusia hingga mereka yang tersisa jatuh pada jurang kegilaan.

Seperti pernah saya bahas dalam beberapa review sebelumnya, H.P. Lovecraft adalah seorang penulis yang karya-karyanya terkenal sulit untuk diadaptasi ke dalam media film, karena narasinya cenderung berfokus pada atmosfer dan lebih banyak mendeskripsikan rasa takut yang dirasakan oleh narator dalam setiap cerita. Tema eksistensialisme, realita dimensi asing, misteri kosmik yang mungkin tidak akan pernah dipahami oleh manusia, hingga ketakutan kosmik dalam setiap karya Lovecraft tidak bisa diterjemahkan ke layar lebar dengan sempurna. Bagaimana cara memvisualisasi rasa? Itulah mengapa dalam banyak kisah Lovecraft, selalu saja ada karakter-karakter yang kehilangan kewarasannya, karena semua ancaman yang hadir adalah soal rasa yang melampaui kesanggupan manusia bernalar. “Asing” dalam arti sebenar-benarnya. Adaptasi karya Lovecraft menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para sineas. Saya rasa, salah satu tantangan dalam mengadaptasi cerpen “The Color Out of Space” adalah soal betapa ambigunya ancaman dalam cerita ini. Dalam cerpennya, pembaca terus diingatkan bahwa entitas asing yang datang bersama dengan meteor ini berada di luar pemahaman, nalar dan konsepsi manusia. Ia sama sekali berbeda dengan persepsi alien hari ini yang kebanyakan memiliki tubuh fisikal. Bahkan konsep “warna” di sepanjang cerpen digunakan hanya sebagai analogi untuk menggambarkan sebuah entitas yang sama sekali asing ini. Dalam versi filmnya, Nathan dengan sempurna menyampaikan hal tersebut, “Aku tidak pernah melihat warna-warna seperti itu sebelumnya di dalam hidupku”. Jadi penggunaan “warna” dalam kisah ini memang merupakan upaya untuk mendeskripsikan sesuatu yang tak bisa digambarkan. Karena menampilkan warna asing yang belum pernah kita lihat sebelumnya adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan dalam media film, maka Stanley memilih cahaya pink / magenta / ungu yang tampak tidak berada pada tempatnya, yang menurut saya bekerja dengan cukup baik. Kita tidak akan pernah melihat cahaya-cahaya seperti itu di alam liar, dalam hutan dan ataupun pertanian manapun. Ini adalah usaha terbaik yang bisa dilakukan untuk menerjemahkan cerpen Lovecraft. Tantangan besar lain yang dihadapi film ini adalah bagaimana cara menggambarkan dampak pertemuan dengan sesuatu yang benar-benar asing, dan pengaruhnya terhadap psikologi (serta biologi) manusia. Dalam hal ini, ada sebuah film lain yang berhasil menggambarkannya dengan jauh lebih baik. Film itu adalah Annihilation (2018). Mereka yang tidak familiar dengan Lovecraft akan menuduh film Color Out of Space sebagai ripoff dari Annihilation. Tetapi saya rasa justru sebaliknya, premis Annihilation jelas banyak mengambil ide dari cerpen The Colour Out of Space-nya Lovecraft, yang ditulis hampir satu abad lalu. Ini semakin membuktikan betapa besarnya pengaruh Lovecraft dalam genre horror sci-fi modern.

Film Color Out of Space jauh lebih baik dari yang saya harapkan dan merupakan adaptasi karya H.P. Lovecraft yang cukup solid. Para penggemar body-horror boleh bersorak sorai saat melihat beberapa unsur mutasi menyeramkan dalam film ini, yang saya rasa banyak terinspirasi dari film The Thing 1982, atau bisa juga sebaliknya karena The Thing jelas film yang terpengaruh konsep dan tema Lovecraftian. Dan seperti bisa dilihat dari posternya, visual film Color Out of Space sangatlah psikedelik. Sejak meteor jatuh di tanah keluarga Gardner, film ini layaknya sebuah pengalaman sinematik di bawah pengaruh halusinogen hingga pada akhirnya menjadi bad trip. Pemilihan aktor Tommy Chong untuk berperan sebagai Ezra adalah keputusan paling brilian dari produksi film ini. Kita semua tentu tahu bahwa Tommy Chong adalah seorang hippie penghisap ganja paling terkenal dalam budaya populer berkat duet komedinya bersama Cheech Marin dalam Cheech & Chong. Dalam film ini, Ezra juga adalah seorang hippie, penghisap ganja yang tinggal di dalam gubug psikedelik. Hanya saja ia tidak bertingkah konyol di sini. Salah satu daya tarik umum lainnya dari film ini tentu saja nama Nicolas Cage. Sejujurnya saya bukan penggemar Nicolas Cage. Saya selalu enggan menonton film-filmnya karena acting-nya yang seringkali sangat berlebihan dan kadang merusak mood. Tetapi rupanya peran Cage dalam Color Out Of Space cukup efektif, walaupun tetap berlebihan juga dalam beberapa momen. Setidaknya kehadiran Cage tidak terlalu mengganggu saya, karena toh karakter yang ia perankan memang menuju ke kegilaan total. Film ini memang tidak sempurna, tetapi ini adalah tontonan yang cukup memuaskan. Kabarnya, film Color Out of Space adalah film pertama dalam trilogi Lovecraft yang sedang dikerjakan oleh Stanley, dan itu adalah berita yang sangat baik.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com