MOVIE REVIEW: CLOVERFIELD (2008)

CLOVERFIELD
Sutradara: Matt Reeves
USA (2008)

Review oleh Tremor

Pada bulan Juli 2007, muncul sebuah teaser trailer misterius tanpa judul di bioskop-bioskop Amerika yang ditayangkan sebelum film Transformers dimulai. Teaser singkat ini memperlihatkan serangan yang terjadi di wilayah Manhattan, New York dan ditutup dengan terlemparnya kepala patung Liberty di tengah penduduk yang panik dan kebingungan. Informasi yang tertera pada teaser tersebut hanyalah tanggal rilis serta nama produser J. J. Abrams yang pada saat itu dikenal sebagai pencipta serial sci-fi berjudul Lost. Selama berbulan-bulan berikutnya, judul film dari teaser tersebut terus menjadi misteri. Kampanye viral marketing film ini tak hanya berhenti pada teaser tanpa judul saja, tetapi juga menginfiltrasi ruang-ruang para nerd di Amerika, dari mulai mailing list, myspace, video game pendek di sebuah website, hingga event Comic-Con. Dengan penuh antusias, media dan para penggemar sci-fi mulai berspekulasi tentang film misterius tersebut hingga muncul berbagai analisa dan tebakan, dari mulai remake Godzilla terbaru, adaptasi serial kartun Voltron, spinoff serial Lost, hingga adaptasi karya HP Lovecraft. Cloverfield adalah sebuah film sci-fi / horror kaiju yang berhasil mendapat antusias tinggi berkat kampanye viral marketing cerdik yang membuat banyak penggemar horor, sci-fi dan kaiju menjadi sangat penasaran. Film yang disutradarai oleh Matt Reeves dan ia tulis bersama Drew Goddard ini menggunakan ide yang sama dengan Godzilla dan film-film kaiju lainnya, yaitu serangan monster raksasa pada sebuah kota modern. Apa yang membuatnya berbeda dari film kaiju pada umumnya adalah, Cloverfield menggunakan teknik found-footage layaknya The Blair Witch Project (1999). Penggunaan teknik ini tentu akan memberi pengalaman berbeda dalam menonton sebuah film kaiju.

Cloverfield dimulai dengan sekelompok anak muda sedang membuat pesta perpisahan untuk kawan mereka, Rob, yang akan pindah ke Jepang untuk bekerja. Saat pesta tengah berlangsung di apartemen Rob, tiba-tiba terjadi gempa yang sangat besar, diikuti suara ledakan yang hebat. Semua orang berlarian panik ke jalanan hanya untuk melihat sesuatu melemparkan kepala patung Liberty ke jalanan. Saat seluruh kota dipenuhi kepanikan dan kekacauan, Rob bersumpah untuk pergi menyelamatkan orang yang diam-diam ia cintai.

Film horor seringkali menjadi metafora untuk kengerian dalam kehidupan nyata. Bukan sebuah kebetulan bahwa satu dekade setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menciptakan Godzilla: monster kadal raksasa yang menghancurkan kota. Godzilla adalah alegori dari trauma kolektif dan ingatan mengerikan bangsa Jepang terhadap serangan bom tersebut. Demikian juga dengan Cloverfield yang menggunakan pendekatan yang sama, menjadi sebuah alegori atas trauma dan ingatan mengerikan tentang sebuah kejadian yang sempat membuat orang Amerika sangat ketakutan, terutama bagi mereka yang tinggal di kota New York, yaitu serangan 9/11 pada tahun 2001. Alur cerita Cloverfield secara singkat juga seperti membaca deskripsi serangan 9/11 itu sendiri: di suatu hari yang normal, kota New York tiba-tiba diserang oleh musuh yang tidak terduga, menimbulkan kebingungan serta kepanikan massal. Godzilla jelas menjadi inspirasi terbesar dari Cloverfield, dalam versi yang lebih relevan bagi orang Amerika. Ada banyak adegan dalam Cloverfield yang sangat terinspirasi secara langsung dari footage-footage amatir serangan 9/11 yang beredar di masyarakat. Karenanya, penggunaan teknik found-footage lewat handycam dalam film ini rasanya merupakan keputusan yang sangat tepat dan bukan hanya gimmick belaka. Melihat gedung pencakar langit yang hancur di langit kota New York lewat adegan yang tampak direkam secara amatiran tentu akan mengingatkan para penonton Amerika akan mengerikannya suasana serangan 9/11. Saya bisa membayangkan bagaimana ingatan tentang liputan-liputan berita yang mereka lihat di TV nasional pada tahun 2001 akan kembali terbayang di kepala.

Seperti kebanyakan film found footage, bagian pertama film biasanya cukup membosankan. Dalam dua puluh menit pertama, kita harus berkenalan terlebih dahulu dengan para karakter film ini, yang salah satunya adalah karakter paling menyebalkan menurut saya, Hud si pemegang kamera. Di sepanjang perjalanan film ini, kita bisa melihat pengembangan setiap karakter, termasuk dinamika antar para karakternya. Film ini baru mulai menyenangkan untuk ditonton sejak kepala patung Liberty terhempas di jalanan yang dipenuhi penduduk New York yang panik. Adegan kepala patung Liberty ini sendiri merupakan sebuah penghormatan terhadap film sci-fi action klasik karya John Carpenter, Escape from New York (1981) yang posternya berisikan ilustrasi ikonik: kepanikan massal dengan latar potongan kepala patung Liberty tergeletak di jalan. Sejak adegan serangan monster Cloverfield dimulai, kekacauan pun terjadi di seluruh penjuru kota. Sama seperti footage-footage amatir serangan 9/11, serangan monster di kota New York dalam Cloverfield diceritakan dari sudut pandang sekelompok penduduk biasa yang kebingungan sekaligus ketakutan karena serangan ini terjadi begitu mendadak. Saya pikir, Cloverfield adalah contoh penggunaan teknik found-footage yang sangat efektif karena penonton bisa ikut merasakan kebingungan yang sama atas kekacauan di sepanjang film. Selain itu, teknik found-footage juga menciptakan pengalaman film monster yang berbeda, saat kita melihat sosok monster raksasa yang menjulang tinggi namun tidak benar-benar terlihat karena terhalang oleh bangunan-bangunan pencakar langit, dilihat dari sudut pandang yang berada di level jalan di malam hari saat banyak sumber cahaya sudah padam. Pemandangan ini membuat monster dalam Cloverfield benar-benar misterius namun tetap terasa sangat mengancam. Tanpa perlu melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas, penonton tahu betul bahwa ada kehancuran dahsyat sedang terjadi di kota New York, dan bagaimana manusia sama sekali tidak berdaya. Ketegangan semakin meningkat sejak monster-monster yang lebih kecil mulai bermunculan, memungkinkan Cloverfield menciptakan lebih banyak teror dan suasana horor di tengah situasi yang sudah dipenuhi kepanikan. Salah satu adegan favorit saya dan mungkin juga adegan paling memorable dari Cloverfield adalah ketika Rob dan kawan-kawannya memutuskan menyusuri lorong kereta bawah tanah yang gelap. Tak lama kemudian ratusan tikus berlarian ketakutan ke arah yang sama, menandakan sesuatu yang sangat mengancam sedang bergerak mendekat dalam gelap.

Karakter dalam Cloverfield juga cukup memiliki dimensi, terutama Rob yang mendapat porsi singkat seputar drama percintaannya. Elemen ini memberi motivasi yang cukup beralasan mengapa Rob memilih lebih baik mati mencoba menyelamatkan orang yang ia cintai dibandingkan selamat namun menyesal seumur hidupnya. Menariknya, Matt Reeves menempatkan elemen ini dengan cara yang sangat found-footage juga. Kaset video yang digunakan oleh Hud untuk mendokumentasikan pesta perpisahan Rob sekaligus seluruh kejadian penuh kepanikan yang mereka alami setelahnya, adalah kaset video bekas yang berisi perjalanan singkat Rob dengan sahabatnya Beth yang diam-diam ia cintai namun enggan akui. Jadi, di antara banyak footage penuh kekacauan di New York, penonton sesekali bisa sedikit melihat bagaimana kedekatan Rob dan Beth. Mungkin kelemahan film ini ada pada satu elemen yang nyaris selalu ada dalam film-film found-footage yang bermodalkan kamera genggam: bagaimana mungkin pemegang kamera tahu kapan dan ke mana kamera harus diarahkan dengan tepat di tengah kepanikan. Namun saya memakluminya karena pilihan tidak realistis itu memang perlu diambil agar film ini bisa dinikmati. Secara keseluruhan, Cloverfield adalah film monster yang dieksekusi dengan baik. Bahkan untuk seseorang yang bukan penggemar teknik found footage, Cloverfield tetap akan saya rekomendasikan bagi mereka yang ingin merasakan film Kaiju dengan pengalaman yang berbeda.