MOVIE REVIEW: BLACK SABBATH (1963)

BLACK SABBATH
Sutradara: Mario Bava
Italia (1963)

Review oleh Tremor

Beberapa tahun setelah debut penyutradaraannya sukses lewat film Black Sunday (1960), sinematografer Italia Mario Bava kembali membuat karya horror yang hingga hari ini memberi pengaruh besar pada banyak pembuat film modern, yaitu sebuah antologi horror dengan judul internasional Black Sabbath. Film ini berhasil menarik minat banyak penggemar horror pada jamannya berkat dilibatkannya legenda ikon horror Boris Karloff di mana ia menjadi host, sekaligus ikut berperan dalam salah satu segmennya. Berbeda dengan Black Sunday yang difilmkan secara hitam putih, dalam Black Sabbath Mario Bava mulai menggunakan permainan cahaya warna-warni untuk menciptakan atmosfer yang kemudian menjadi kekuatan utama Bava sebagai pembuat film. Gaya visualnya yang brilian akhirnya mempengaruhi gaya visual film-film horror Italia buatan para sineas generasi penerus Bava dari mulai Dario Argento hingga Lucio Fulci. Black Sabbath pertama kali dirilis di Italia dengan judul “I Tre Volti della Puara”, yang kalau diterjemahkan memiliki arti “The Three Faces of Fear”. Jadi ada tiga kisah dalam antologi ini, masing-masing dengan tema berbeda satu sama lain yang kesemuanya kini sudah dianggap klasik. Namun ketika film ini dirilis di Amerika oleh American International Pictures (yang selanjutnya akan saya singkat sebagai AIP), judulnya diubah menjadi Black Sabbath untuk memberi kesan terkoneksi dengan film Bava sebelumnya, Black Sunday yang sudah lebih dulu terkenal. AIP tidak hanya memberi judul baru, tetapi juga mengubah urutan segmen di dalamnya. Tapi hal paling fatal yang AIP lakukan pada film ini adalah mengedit salah satu segmen berjudul The Telephone secara sembarangan, mengakibatkan segmen tersebut menjadi sangat membingungkan dalam versi Amerika, yang akan saya bahas sedikit nanti. Jadi pada dasarnya, ada dua versi dari film Black Sabbath. Versi pertama adalah versi Amerika bahasa Inggris yang terdistribusikan secara luas dan ini adalah versi yang saya tonton, sementara versi satu lagi adalah versi original yang sesuai dengan visi dari Bava sendiri. Pengaruh film ini begitu besar dan memberi dampak bukan hanya pada industri perfilman saja di kemudian hari. Pada tahun 1969, sebuah band hard blues rock bernama Earth memutuskan untuk mengganti nama karena sudah ada band lain dengan nama yang sama. Tak hanya mengganti nama, mereka juga memutuskan untuk mengubah musik mereka ke arah yang lebih gelap dan berat dari sebelumnya. Terinspirasi dari film buatan Mario Bava ini, dipilihlah nama Black Sabbath sebagai nama baru untuk merepresentasikan arahan musik baru mereka, yang menurut Ozzy Osbourne sang vokalis, musik yang setara dengan film horror.

Black Sabbath dibuka dengan introduksi yang dituturkan dengan sangat baik oleh host antologi: sang legenda horror Boris Karloff. Kisah pertama dalam Black Sabbath versi AIP adalah segmen favorit saya dari keseluruhan antologi, berjudul “The Drop of Water”. Di tengah malam, seorang perawat bernama Helen diminta bantuan untuk mendandani mayat seorang cenayang tua yang baru saja meninggal untuk dimakamkan keesokan harinya. Pembantu sang cenayang tidak berani mendekati mayat majikannya. Wajar saja ia takut, karena wajah majikannya memang sangat menyeramkan. Apalagi ia juga percaya bahwa semua benda milik majikannya adalah benda-benda yang tidak boleh disentuh secara sembarang karena benda-benda itu terkutuk. Saat melakukan pekerjaannya, Helen tergiur untuk mencuri cincin yang ada pada jari sang cenayang. Setelah Helen pulang ke rumahnya, ia mulai diteror oleh arwah sang cenayang yang menginginkan cincinnya kembali. Mario Bava melakukan pekerjaan yang fantastis dalam membangun atmosfer mengerikan dalam segmen ini, terutama lewat penggunaan pencahayaannya yang dramatis. Salah satu adegan ikonik yang sangat bersejarah juga ada dalam segmen ini, yaitu saat kamera menyoroti wajah mayat sang cenayang untuk pertama kalinya.

Setelah kembali mendengarkan pengantar dari Boris Karloff, kita memasuki kisah kedua dalam versi AIP, berjudul “The Telephone”. Segmen ini adalah segmen paling kontroversial karena perusahaan AIP mengedit segmen ini dengan drastis, menjadikan The Telephone versi Amerika menjadi kisah yang membingungkan penontonnya. Dalam versi AIP, seorang perempuan bernama Rosy diteror oleh panggilan telepon di rumahnya. Panggilan berisi ancaman ini datang dari seorang pria yang mengaku sebagai Frank, seseorang dari masa lalu Rosy. Tidak dijelaskan apa hubungan Frank dengan Rosy. Masalahnya, Rosy yakin Frank sudah meninggal. Lewat penuturannya di telepon, Frank mengetahui semua yang Rosy lakukan saat menerima telepon, seakan-akan ia berada dalam ruangan yang sama dengan Rosy. Apakah premis segmen ini mengingatkan kalian pada sesuatu? Tentu saja, teror telepon orang asing dalam film Black Christmas (1974), When A Stranger Calls (1979), dan terutama sekali adegan pembuka dalam Scream (1996) jelas sangat terpengaruh oleh segmen buatan Bava ini. Rosy yang ketakutan akhirnya menelpon sahabatnya Mary untuk menemaninya malam itu. Dari sinilah segalanya menjadi semakin membingungkan dan absurd karena segmen versi ini adalah hasil editing yang dilakukan oleh AIP sehingga akhirnya memiliki unsur supranatural yang tidak pada tempatnya. Dalam versi aslinya, Rosy adalah seorang pekerja prostitusi, dan Frank adalah mantan mucikarinya yang memang masih hidup. Sementara itu Mary adalah kekasih lesbian dari Rosy. Versi asli buatan Bava murni merupakan kisah thriller ala Hitchcock tanpa adanya unsur supranatural sama sekali, yang tentu saja jauh lebih menarik dan menegangkan dibanding versi editing Amerika. Pengeditan yang dilakukan oleh AIP telah merusak segalanya hingga ceritanya sama sekali tidak masuk akal dan menjadikan segmen ini sebagai segmen terlemah dalam Black Sabbath versi Amerika.

Segmen ketiga dalam Black Sabbath versi Amerika adalah kisah tentang legenda vampir Rusia berjudul “The Wurdulak”, diadaptasi dari cerita yang ditulis oleh Aleksey Konstantinovich Tolstoy, sepupu dari Leo Tolstoy. Berlatarkan dataran terpencil Rusia di abad ke-19, seorang bangsawan bernama Vladimir Durfe yang sedang berkuda dalam perjalanan jauh terpaksa ikut menginap di sebuah rumah yang ia temui. Boris Karloff berperan sebagai Gorca, kepala keluarga rumah tersebut. Ia telah pergi selama lima hari untuk memburu vampir bernama Wurdulak. Saat Gorca pulang dari perburuannya, ia mengaku berhasil membunuh Wurdulak. Namun anak-anaknya melihat perubahan drastis pada Gorca. Kini Gorca tampak kusut, mudah tersinggung, dan menyeramkan. Anak-anak Gorca curiga kalau ayah mereka telah menjadi Wurdulak. Namun karena rasa cinta yang besar pada sang ayah, keluarga Gorca tidak bisa melakukan apapun selain tetap menerimanya di dalam rumah. Kini Gorca yang telah menjadi mayat hidup bebas berkeliaran, menguntit, dan membunuh anggota keluarganya satu persatu, dan dengan demikian mengubah mereka menjadi Wurdulak. Segmen “The Wurdulak” adalah yang segmen terpanjang dari tiga cerita dalam Black Sabbath, lengkap dengan dialog picisan ala opera sabun dan sisi romantis khas gothic-nya. Sosok vampir Wurdulak sendiri memiliki perbedaan dari vampir asal Romania pada umumnya, yaitu ia hanya ingin menghisap darah dari orang yang dicintainya saja. Apa yang saya suka dari vampir Wurdulak adalah, ia tidak digambarkan seperti sosok vampir tradisional pada umumnya. Boris Karloff berperan dengan sangat fantastis sebagai Wurdulak. Ia tampak sangat meresahkan tanpa perlu adanya gigi taring sekalipun. Saya juga sangat suka dengan atmosfer yang diciptakan oleh Mario Bava dalam segmen ini. Pemandangannya mencekam sekaligus enak dipandang lewat set yang dipenuhi kabut, siluet pohon-pohon kering, rumah tua, reruntuhan kastil, dengan permainan pencahayaan dan bayangan yang mencolok. Seni peran Boris Karloff yang luar biasa dilengkapi indahnya sinematografi Mario Bava menyelamatkan segmen ini dari rasa bosan dan kantuk.

Mungkin para petinggi di studio American International Pictures berpikir bahwa urutan segmen dalam antologi tidaklah terlalu penting saat mereka memutuskan untuk mengubahnya. Namun saat saya mengetahui urutan segmen dalam Black Sabbath versi asli adalah “The Telephone,” “The Wurdalak,” dan ditutup dengan “The Drop of Water”, saya pikir justru versi Mario Bava adalah urutan yang paling sempurna. Saya membayangkan bagaimana efektifnya kalau Black Sabbath dimulai dengan The Telephone versi asli sebagai hidangan pembuka, disambung dengan segmen terpanjang The Wurdulak yang menjadi menu utama, disusul dengan The Drop of Water yang menjadi hidangan penutup. Tentu urutan ini akan memberi efek yang berbeda.

Lewat Black Sabbath Mario Bava sekali lagi membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi raja horror. Film ini saja sudah cukup untuk memperlihatkan kemampuan Bava sebagai sutradara dan sinematografer visioner, yang kemudian menjadi inspirasi bagi banyak pembuat film horror Italia lainnya. Setiap sorotan cahaya berwarna dalam Black Sabbath digunakan sebagai efek untuk meningkatkan mood dan momen-momen menegangkan, dan usaha itu sangat berhasil. Bava menggunakan cahaya layaknya pembuat film lain menggunakan musik untuk menakut-nakuti penontonnya. Perpaduan cahaya-cahaya penuh warna dan bayangan gelap membuat pengalaman menonton Black Sabbath terasa seperti membaca buku komik horor tahun 40-50-an rilisan EC Comic, yang saya yakin adalah salah satu sumber inspirasi visual bagi Mario Bava. Menonton Black Sabbath adalah pengalaman yang menyenangkan, karena membawa kita untuk kembali ke masa ketika film horor dibuat dengan teknologi yang jauh lebih terbatas dibandingkan hari ini namun bisa tetap efektif menciptakan atmosfer menyeramkan. Black Sabbath jelas masuk ke dalam daftar film yang wajib ditonton oleh siapapun yang tertarik dengan bagaimana perjalanan kultur horor berkembang hingga hari ini.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com