fbpx

MOVIE REVIEW: BAD HAIR (2020)

BAD HAIR
Sutradara:
Justin Simien
USA (2020)

Review oleh Tremor

Mengikuti jejak Jordan Peele dengan film seperti Get Out (2017) dan Us (2019), sutradara muda Justin Simien mencoba membuat film yang menyoroti keresahan ras kulit hitam Amerika lewat film horror satir berjudul Bad Hair. Ini adalah film fitur kedua Simien setelah debut drama romantisnya yang berjudul Dear White People (2014). Film seperti Bad Hair, Get Out (2017), Us (2019), Spell (2020), His House (2020), hingga sekuel Candyman (2021) adalah bagian dari gerakan baru dalam kultur horor, yang disebut sebagai Black Horror. Kalau boleh saya singkat, gerakan ini menggambarkan fenomena di mana para sineas kulit hitam barat, terutama African-American, membuat film horor mereka sendiri dengan kisah yang ditulis dari sudut pandang kultural mereka sebagai salah satu kelompok yang termarjinalkan di masyarakat. Maka umumnya karakter berkulit hitam dalam film-film black horror barat tidak lagi hanya menjadi pemeran pendukung ataupun korban belaka seperti pada umumnya bisa ditemukan dalam film-film horor barat pada umumnya, tetapi juga menjadi protagonis, fokus utama film, dengan latar belakang kultural khas kulit hitamnya. Fenomena ini bagaikan jawaban dari betapa mendominasinya film horor yang hanya berpusat pada kelompok kulit putih, dan ditulis dari sudut pandang kultural kulit putih saja.

Banyak dari kita mungkin pernah menduga kalau berbakat atau tidaknya seseorang terkadang bukanlah hal penting dalam industri hiburan televisi. Apa yang penting bisa jadi adalah penampilan dan standar kecantikan yang diciptakan oleh media. Kira-kira itulah salah satu masalah yang dialami oleh protagonis dalam film Bad Hair. Berlatarkan tahun 1989 di Los Angeles, film ini berpusat pada Anna Bludso, seorang perempuan muda yang bekerja sebagai asisten dalam sebuah perusahaan video musik seperti MTV bernama Culture, yang khusus dibangun untuk memperkuat kultur kulit hitam di LA. Anna memiliki cita-cita tinggi dan berharap kalau karirnya bisa semakin meroket. Mimpi terbesarnya adalah menjadi host / video jockey (VJ) dalam acara-acara Culture. Namun setelah bekerja selama empat tahun, ia tidak pernah dipromosikan lebih dari sekedar asisten dengan bayaran yang pas-pasan. Mirisnya ia bisa melihat sendiri bagaimana Julius yang kini menjadi VJ populer di Culture, sebelumnya hanyalah seorang tukang bersih-bersih biasa di kantornya. Anna bagaikan seorang yang dilupakan, tidak dihargai, dan tidak dikenal di lingkungan kerjanya, mungkin karena penampilannya yang sama sekali tidak mengikuti standar “keren” pada masa itu. Ia bahkan diminta untuk merahasiakan hubungannya dengan Julius, mungkin karena Julius kini adalah seorang selebritis TV show dan Anna yang tidak menarik tetaplah bukan siapa-siapa. Terlepas dari besarnya stasiun TV Culture, Anna tetaplah seorang miskin yang tinggal di sebuah apartemen kumuh dan diancam untuk diusir karena menunggak. Mendengar mimpi Anna yang ingin karirnya berkembang lebih dari sekedar asisten, atasan baru Anna yang bernama Zora menyarankan Anna untuk mengubah penampilan, terutama rambutnya, kalau memang ingin tampil di layar TV. Inilah rupanya alasan utama mengapa Anna begitu asing di lingkungan kerjanya dengan karir yang tidak pernah berubah. Sejak awal kita bisa melihat bagaimana para petinggi Culture dan bahkan penyanyi kulit hitam yang sedang naik daun saat itu, semuanya memiliki rambut lurus dan panjang. Tipe rambut ini berbeda jauh dengan rambut alami ras kulit hitam yang cenderung lebih keriting, seperti rambut Anna. Akhirnya, sekretaris Zora menyarankan Anna untuk pergi ke sebuah salon di mana para perempuan kulit hitam kelas atas mendapatkan rambut-rambut lurus mereka. Rambut-rambut ini bukanlah wig, melainkan rambut sungguhan yang disulam lewat proses menyakitkan pada rambut asli keriting mereka dengan teknik tertentu yang dilakukan oleh pemilik salon dengan harga yang fantastis. Dari mana rambut-rambut ini berasal adalah misteri yang akan diungkapkan pada penonton belakangan, namun tidak pernah diberitahukan oleh pemilik salon pada Anna. Yang pasti para pelanggan salon ini berhasil mengubah penampilan mereka dan akhirnya bisa lebih diterima di masyarakat karena rambut lurusnya. Sejak Anna mendapat rambut baru inilah, orang-orang mulai memperhatikan Anna. Ia mulai diajak bergaul dengan petinggi industri TV dan selebritis. Namun Anna begitu terkejut saat suatu hari menyadari kalau rambut barunya bukanlah rambut biasa. Rambut ini seakan hidup, menghisap darah, selalu membutuhkan pengorbanan darah segar, dan secara perlahan mulai menguasai Anna.

Bad Hair memiliki premis yang menarik, lengkap dengan kisah sihir hingga cerita rakyat para budak yang dituturkan secara turun temurun dari sejak jaman perbudakan kulit hitam. Komentar sosial di dalam film ini juga mungkin cukup penting dan relevan terutama bagi penonton Amerika, di mana para perempuan kulit hitam harus berjuang mati-matian agar bisa diterima oleh masyarakat dan mendapat kesuksesan karir, yang dalam hal ini dianalogikan lewat betapa menyakitkannya proses penyulaman rambut. Anna juga memiliki luka permanen sejak kecil akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang menjanjikan rambut lurus. Jadi, film ini juga mengkritik standar kecantikan masyarakat tentang rambut lurus, yang bisa saja mendorong mereka yang berambut keriting membenci identitas diri mereka sendiri dan rela berbuat apa saja demi memiliki rambut yang lurus. Diskriminasi terhadap rambut ini adalah hal yang benar-benar ada dalam kehidupan nyata. Diskriminasi ini disebut sebagai texturism, sebuah diskriminasi kecantikan yang berdasarkan seberapa lurus rambut alami seseorang. Dan sama seperti diskriminasi terhadap warna kulit, rambut lurus yang dianggap lebih superior mengacu pada karakteristik rambut bangsa eropa, bangsa yang juga menjajah daratan Amerika, termasuk juga yang pertama kali membawa orang-orang Afrika sebagai budak di tanah Amerika. Jadi ada banyak topik yang tersembunyi dalam Bad Hair yang bisa menjadi sangat menarik untuk dieksplorasi dalam film horor, terutama karena ditulis oleh penulis berkulit hitam juga.

Namun ketika kita bicara soal film horor, sutradara/penulis Siemen sepertinya perlu menonton lebih banyak film horor. Bad Hair adalah film yang tidak terlalu bagus untuk ukuran film horor, setidaknya untuk selera saya. Sejak kisah dalam Bad Hair memasuki teritori horor, semuanya menjadi berantakan, konyol, penuh dengan plothole, dan sayangnya tidak menyeramkan. Semua gagasan sentral soal kritik dan komentar sosial serius yang sudah disisipkan dalam bagian awal film ini tiba-tiba menjadi hal yang tidak lagi penting. Elemen terburuk dari film beranggaran rendah ini adalah special effect CGI murahan yang digunakan dalam hampir semua adegan horornya, membuat semuanya tampak tidak realistis, tidak meyakinkan, dan gagal menyeramkan. Masih lebih menyeramkan melihat bagaimana Anna melewati rasa sakit saat rambutnya disulam, dibandingkan melihat bagaimana rambut jahat beraksi. Adegan klimaks dalam Bad Hair juga tidak terlalu bagus, meskipun tetap bisa menegangkan. Mungkin sutradara Siemen bukan peminat film horor, dan mungkin film-film horor yang pernah ia tonton hanyalah satu-dua horor asia terutama yang berasal dari Jepang seperti Ju-On, One Missed Call, dan semacamnya. Itu hanyalah asumsi saya belaka, karena adegan klimaks Bad hair layaknya daur ulang keseraman horor asia dalam versi yang lebih lemah. Tapi seburuk apapun adegan horor dalam Bad Hair, saya tidak menyesali waktu yang saya luangkan untuk menontonnya. Sebagai sebuah eksperimen dari seorang sutradara non-horor, usahanya tetap perlu diapresiasi. Ide dasar film ini juga tetap menarik karena bermain dalam ranah kritik sosial yang jarang dibahas seputar diskriminasi standar kecantikan, dan perjuangan orang-orang dari kelompok yang terpinggirkan untuk bisa lebih diterima. Semua itu berhasil dibungkus dengan cara yang sama sekali tidak menggurui.