ULCERATE ‘Cutting the Throat of God’ ALBUM REVIEW
Debemur Morti Productions. June 14th, 2024
Death metal
Meskipun sudah dua dekade lebih berkarya di jalur death metal, ULCERATE masih tetap produktif dan konsisten, berbanding terbalik dengan band-bang seangkatan mereka yang makin kesini banyak jadi kendor dari segi produktivitas ataupun kualitas. Seluruh album pasca Paul Kelland, Michael Hoggard, dan Jamie Saint Merat memutuskan jadi trio pun, tak pernah sekedar daur ulang materi lama doang, karena ULCERATE selalu melakukan fine-tuning komposisi mereka, dengan memasukan berbagai ide baru, dimulai dengan ‘Everything Is Fire’ yang memadukan brutal/technical death metal dengan atmosfir super pekat dan riff penuh tekstur macam post-metal, yang lalu disempurnakan di dua album berikutnya, ‘The Destroyers of All’ dan ‘Vermis’. ‘Shrines of Paralysis’ walaupun agak sebelas-duabelas dengan dua predecessor-nya, mulai memasukan melodi hingga harmonisasi kedalam pusaran disonansi mereka, plus album tersebut punya tone lebih suram / gloomy dari sebelumnya, dan aksi coba-coba tersebut akhirnya benar-benar digali lebih dalam sekaligus disempurnakan dalam ‘Stare into Death and Be Still’, dimana untuk kedua kalinya (setelah ‘The Destroyers of All’), ULCERATE menghasilkan sebuah maha karya death metal nyaris sempurna.
Dirilis empat tahun lamanya semenjak ‘Stare into Death and Be Still’, ‘Cutting the Throat of God’ memang sudah sangat ditunggu-tunggu baik fans lama atau mereka yang kepincut dari album 2020 lalu, karena ya semenjak lepas dari Relapse Records, kemudian menandatangani kontrak dengan Debemur Morti Productions, nama ULCERATE semakin stonk. Tiga track awal ‘Cutting the Throat of God’ pun ngeri semua. Dalam “To Flow Through Ashen Hearts”, vokalis Paul Kelland terdengar lebih ekspresif dari biasanya, jadi membuat lagunya makin nyelekit ke level max, dua nomor berikutnya, “The Dawn is Hollow” dan “Further Opening the Wounds”, juga gak kalah impresif, sayangnya penyakit downward slope di bagian pertengahan album masih menjangkiti album terbaru ULCERATE ini, “Transfiguration In and Out of Worlds” memang jauh banget lah dari kata ampas, tapi setelah tiga buah lagu masif, trek ini gak terlalu sonically distinctive, yang kadang bikin lupa sekarang udah di part mana pas dengerin, belum lagi pacing-nya kayak gak punya urgensi, tapi untungnya masih bisa diselamatkan oleh ketukan sedeng drum Jamie Saint Merat (seperti pada menit 2:46 dan bagian-bagian lebih kalem) berserta bagian akhir meletup-letup.
“To See Death Just Once” jelas merupakan biggest highlight album ini, karena disitu ULCERATE secara jelas menampakan wujud black metal mereka, lumayan rada bikin ngingetin sama DEATHSPELL OMEGA era ‘Paracletus’, selanjutnya ada “Undying as an Apparition”, sebuah nomor masif berdurasi hampir sepuluh menit, yang sayangnya kurang greget banget, tapi untungnya lagu terakhir sekaligus title track, “Cutting the Throat of God”, cukup memuaskan hasrat, walau masih dibawah “Dissolved Orders” dari LP kemarin. Kalau dibandingkan dengan ‘Stare into Death and Be Still’, full-length ketujuh dari ULCERATE ini ya jelas belum bisa menyamai “banger after banger, after banger…” rilisan tersebut, padahal durasinya kurang lebih sama, tapi gara-gara ada dua lagu yang tergolong agak biasa-biasa aja dan kurang punya karakter pembeda jelas dari nomor yang lain, membuat ‘Cutting the Throat of God’ jadi suka bikin cepet jenuh, apabila diulang berkali-kali, tapi kalau dibandingkan dengan rilisan-rilisan death metal lain tahun ini, ‘Cutting the Throat of God’ masih tetap masuk ke jajaran top 5 album death metal terbaik tahun ini, dan “To Flow Through Ashen Hearts” bersama “To See Death Just Once”, pantas disebut sebagai salah satu lagu terbaik yang pernah di tulis Paul Kelland, Michael Hoggard, dan Jamie Saint Merat. Peanhead
9.1 out of 10