ALBUM REVIEW: TRIVIUM – WHAT THE DEAD MEN SAY

TRIVIUM ‘What the Dead Men Say’

Roadrunner Records. 24th April 2020

Heavy metal/Metalcore

Tak terasa sudah hampir tiga tahun semenjak TRIVIUM melontarkan ‘The Sin And The Sentence’ (2017), sebuah album yang merupakan pencapaian terbesar TRIVIUM, berhasil meluruskan kembali trajectory karir Matt Heafy and co. yang sempat melempem saat merilis ‘Silence In The Snow’ (2015). Salah satu faktor penting kesuksesan ‘The Sin and The Sentence’ adalah masuknya drummer Alex Hernandez-Bent (DRAGONLORD, ARKAIK, BRAIN DRILL), dengan gebukan sakti mandraguna nya bisa mengakomodir personal taste personil lainya, begitu luwes mencapuradukan melodic death metal, thrash metal, traditional heavy metal, sampai progressive metal. Dalam album tersebut pun mereka sepertinya telah melepaskan beban mereka dulu, yang sempat digadang-gadang media jadi the next METALLICA, alih-alih ngotot ingin menghasilkan ‘The Black Album’ bagi generasi baru, kwartet yang telah diformasikan semenjak tahun akhir abad ke-20 di Orlando, Florida ini, akhirnya mampu menemukan titik equilibrium antara sisi melodic TRIVIUM dengan pengaruh extreme metal,  tidak salah kalau ‘The Sin And The Sentence’ banyak di nobatkan sebagai album metal mainstream paling ganas semenjak ‘The Blackening’ dari MACHINE HEAD. Namun salah satu kebiasaan jelek TRIVIUM, adalah setelah melepaskan album yang notabene fenomenal mereka justru selalu mengikutinya dengan follow-up biasa-biasa aja, tengok saja ‘The Crusade’ (2006) dan ‘In Waves’ yang merupakan lanjutan mediocre utuk karya sekelas ‘Ascendancy’ (2005) dan ‘Shogun’ (2008).

Hal tersebut membuat banyak yang rada skeptis dengan album terbaru, tetapi dengan dirilis nya “Catastrophist”, TRIVIUM telah menjawab kegusaran tersebut, dengan lagu yang masih mempertahankan konsep musik dalam ‘The Sin and The Sentence’, bahkan bisa lebih catchy, karena Matt Heafy sedikit memasukan kembali beberapa elemen berfungsi dari  ‘Silence in The Snow’. TRIVIUM juga telah membawa kembali aroma melodic metalcore yang beberapa tahun terakhir agak dikesampingkan kedalam lagu “Amongst The Shadows & The Stones” dan “The Defiant”. Meskipun masih mengusung konsep yang masih sejalan dengan album sebelumnya, ‘What the Dead Men Say’ sedikit memodifikasi struktur lagu menjadi sedikit lebih gampang dicerna dan lebih padat, transisi nya juga lebih halus, jadi dalam lagu paling progresif/teknikal pun seperti ‘Sickness Unto You’ dan ‘Bending The Arc To Fear’ tak membuat pendengar awam kabur, karena tak ada momen instrumental section macam “Sever The Hand” atau “The Revanchrist”. ‘What the Dead Men Say’ juga memasukan dua buah lagu yang sepertinya ditargetkan untuk diputar di radio, namun hanya ‘Scattering The Ashes’ yang tolerable, karena ‘Bleed Into Me’ terdengar terlalu nanggung.

Selain komposisi yang sudah di simplifikasi, hasil akhir produksi dari produser Josh Wilbur sekarang  terlalu lembut alias gak nendang, drum nya kurang nonjok, dan sedikit kehilangan energi liar dari album pendahulunya. Meskipun masih jauh dibawah level ‘The Sin and The Sentence’ setidaknya ‘What the Dead Men Say’ bukan merupakan kelanjutan buruk seperti ‘The Crusade’ dan ‘In Waves’, TRIVIUM tak terlalu banyak mengubah konsep yang sudah menjadi sweets spot sepertinya, cuma ya secara keseluruhan ‘What the Dead Men Say’ agak terdengar seragam tak sevariatif seperti yang diharapkan, mungkin hal tersebut memang disengaja karena banyak yang menganggap album sebelumnya kadang terlalu ugal-ugalan bertransisi dari satu aliran ke aliran yang lainya, walaupun masih mengedepankan karakter kuat mereka sendiri. Bagi orang yang dulu sudah terlanjur ilfil ketika mendengar nama TRIVIUM, ‘What the Dead Men Say’ mungkin bisa sedikit mengubah persepsi terhadap mereka, tapi kalau dibandingkan band seangkatan seperti BULLET FOR MY VALENTINE, ATREYU, dan ALL THAT REMAINS yang terjebak ikut-ikutan tren butt-rock, TRIVIUM malah makin beringas dan semoga saja dalam album berikutnya bisa memasukan lebih banyak lagi influence extreme metal ditambah komposisi lebih kompleks biar gak nanggung seperti banyak part dalam album ini, yang sebenarnya masih punya ruang untuk di kembangkan lagi. (Peanhead)

7.5 out of 10