fbpx

ALBUM REVIEW: OPETH – IN CAUDA VENENUM

OPETH ‘In Cauda Venenum’

Moderbolaget/Nuclear Blast Records. September 27th, 2019

Progressive rock/Progressive metal

Tidak terasa sudah hampir sembilan tahun lamanya semenjak OPETH “mengkhianati“ fanbase garis keras mereka dengan merilis ‘Heritage’ (2011), sebuah album yang menandai peralihan musik mereka dari progressive death metal ke ranah progressive rock tujuh puluhan, yang memang sudah jadi asupan kegemaran dari Mikael Åkerfeldt, semenjak kejenuhan menahun terhadap musik extreme metal modern. ‘Heritage’ sontak membuat penggemar lama mereka khususnya yang sudah dari dahulu kala mengikuti perkembangan dan evolusi OPETH semenjak debut mereka yang masih kental unsur black metal nya ‘Orchid’ (1995) jadi naik pitam, bagaimana tidak mereka yang sudah terbiasa nyaman dengan komposisi epik perpaduan dua kontras yang berbeda antara keberingasan death metal dengan melodi mellow yang menghangatkan kalbu aapalagi dengan vokal clean yang sudah sangat khas, harus terima nasib karena pada ‘Heritage’ Mikael dengan dorongan sang pembetot bass Martín Méndez, membuang rekaman ‘death metal’ yang sudah di rancang, lalu menggantikanya dengan model progressive rock ala KING CRIMSON, CAMEL, VAN DER GRAAF GENERATOR, RENAISSANCE dan klasik rock  macam RAINBOW dan DEEP PURPLE minus seluruh jubah death metal mereka.. Alhasil keputusan OPETH untuk pindah jalur tersebut sampai sekarang masih membuat sebagian besar fans mereka terbelah (malah konon sempat pernah ada death threat segala pada  periode tur ‘Heritage’), antara mereka yang masih ogah keluar dari bayang-bayang masa lampau dan mereka yang sudah memaklumi perubahan tersebut.

‘In Cauda Venenum’ atau yang dalam bahasa latin berarti rancun pada ekor (venom in the tail), adalah percobaan ke-empat Mikael Åkerfeldt, Fredrik Åkesson, Martin Axenrot. Martín Méndez dan Joakim Svalberg untuk menghasilkan album progressive rock kontemporer semenjak pindah haluan, walau memang transisi OPETH terasa cukup halus semenjak album cadas terakhir mereka ‘Watershed’ (2008), karya-karya mereka pasca hijrah masih cenderung kurang konsisten. Setelah flop bernama ‘Heritage’, OPETH berhasil bangkit kembali dengan ‘Pale Communion’ (2014), yang sayangnya malah dilanjutkan dengan album medioker ‘Sorceress’ (2016), album tersebut sebenarnya gak bisa disebut karya gagal, tapi materi nya terasa nanggung, susunan lagu berantakan belum lagi kualitas produksi sampah yang bikin ‘Sorceress’ susah dicerna seniat apapun. Untungnya dalam percobaan kesekian kalinya OPETH akhirnya berhasil meracik aransemen terbaik di era ‘prog-rock’ mereka atau bahkan semenjak album legendaris ‘Ghost Reveries’ (2005). ‘In Cauda Venenum’ juga terdengar jauh lebih heavy dari tiga album pendahulunya, pengaruh traditional heavy metal layaknya BLACK SABBATH, JUDAS PRIEST, sampai WITCHFINDER GENERAL, PAGAN ALTAR dan juga heavy prog 70’an seperti LUCIFER’S FRIEND mudah sekali ditemukan dalam aspek tonalitas dan progresi kord. Album ini dilepaskan kepasaran dalam dua versi bahasa, yaitu bahasa Swedia dan Inggris, ‘In Cauda Venenum’ sendiri membahas tema yang lumayan gelap entah itu kematian, loneliness, depresi hingga tanggapan pedas terhadap society kalau di telaah lebih lanjut.

Selain terdengar lebih ‘metal’ dari segi komposisi dan juga konten lirik, ‘In Cauda Venenum’ juga merupakan salah satu album OPETH paling variatif, tidak hanya mengandalkan lagu-lagu logam berat progresif seperti ‘Heart in Hand/ Hjärtat vet vad handen gör’, ‘Dignity/ Svekets prins’, dan lagu paling keras mereka di album ini ‘Charlatan’ (bahkan saking kerasnya main riff nya tak direkam dengan gitar melaikan dengan 3 bass biar gak terlalu ‘metal’), OPETH juga menyiapkan lagu ballad terbaik mereka semenjak ‘Burden’ yaitu ‘Lovelorn Crime/Minnets yta’, dan jangan lupa penampakan sisi ngejazz Mikael dkk dalam ‘The Garroter/Banemannen’ yang kalo kata beberapa komentator youtube terdengar seperti main theme karakter antagonis kartun Disney. Tapi kalau ditanya lagu mana yang merupakan lagu paling memukau saya merujuk pada ‘Universal Truth/ Ingen sanning är allas’ lalu dua lagu penutup ‘Continuum/ Kontinuerlig drift’ dan ‘All Things Will Pass/ Allting tar slut’ yang punya tatanan musik mewah, megah sekaligus elegan, dan dalam waktu hanya tujuh-delapan menitan saja mampu merangkum semua sisi OPETH mulai dari sisi heavy metal hingga wajah lembut penuh melodi dan harmonisasi merenyuhkan dibalut nada-nada dan petikan folkish. Stefan Boman yang menggantikan Tom Dalgety sebagai produser juga cukup signifikan dalam menjadikan ‘In Cauda Venenum’ album terbaik OPETH dalam kurun empat belas tahun terakhir, hasil jermari jeli nya dalam proses rekaman/mixing dan juga hasil mastering Geoff “Pounda” Pesche (Abbey Road Studios, London, England) berhasil menjadikan 70-menit ‘In Cauda Venenum’ pengalaman mendengarkan yang luar biasa nikmat. Jadi kalian yang masih belum juga bergerak dari sofa dan hanya berkutat nyetel piringan hitam lusuh ‘My Arms, Your Hearse’ atau ‘Deliverance’ jangan sampai kelewatan dengan ‘In Cauda Venenum’ kali aja bisa akhirnya berubah pikiran dan mau mengulik era prog rock OPETH. (Peanhead)

9.3 out of 10