fbpx

ALBUM REVIEW: ETERNAL CHAMPION – RAVENING IRON

ETERNAL CHAMPION ‘Ravening Iron’ ALBUM REVIEW

No Remorse Records. November 2020

Epic Heavy Metal

Setelah penantian empat tahun lama nya, album kedua dari grup Epic heavy metal asal Texas, ETERNAL CHAMPION akhirnya melepaskan album terbaru mereka. Sebagai ujung tombak kebangkitan kembali scene Epic heavy metal Amerika Utara bersama VISIGOTH dan GATEKEEPER, ‘Revening Iron’ sudah pasti langsung menjadi album yang paling ditunggu-ditunggu tahun 2020 semenjak di umumkan kedatanganya secara resmi oleh pihak band dan No Remorse Records pada bulan Agustus lalu. Album perdana fenomenal mereka ‘The Armor of Ire’ saat ini telah menjadi modern classics aliran heavy metal. grup ini berani mengibarkan kembali panji-panji US Power Metal yang sempat tersingkirkan pada dekade 90’an dan 2000’an oleh sound European Power metal yang lebih banyak terekspos, dibandingkan archetype power metal yang lebih berisi dari band semacam WARLORD, OMEN, BROCAS HELM, CIRITH UNGOL, MANILLA ROAD, JAG PANZER, album-album awal SAVATAGE, dan tentunya the almighty MANOWAR. Nama ETERNAL CHAMPION tak hanya di dongkrak oleh album debut tersebut, Arthur Rizk yang mengisi posisi drum, beberapa tahun kebelakang ini telah menjadi salah satu produser musik ekstrim paling dicari jasa nya, mengerjakan rilisan-rilisan dari TOMB MOLD, PISSGRAVE, CODE ORANGE, CREEPING DEATH dll, dan gitaris Blake Ibanez juga terlibat bersama POWER TRIP, yang semenjak ‘Nightmare Logic’ menjadi salah satu band thrash metal terbaik saat ini.

Konsep dan tema ‘Ravening Iron’ sendiri melanjutkan narasi dari kisah ‘Vengeance of the Insane God (Swords of Steel Anthology)’  yang di tulis vokalis J. Christoper Tarpey, dan album ini dirilis bersamaan dengan novel ‘The Godblade’, yang menceritakan event lagu-lagu dalam ‘Ravening Iron’ secara detail, bahkan ETERNAL CHAMPION menggunakan artwork dari illustrator legendaris Ken Kelly (MANOWAR, RAINBOW, KISS, etc), agar kesan delapan puluhan nya semakin kental. Musik yang dihadirkan Jason Tarpey, Arthur Rizk, John Powers, Brad Raub, dan Blake Ibanez dalam ‘Ravening Iron’ sudah sedari lagu pertama “A Face in the Glare” langsung terdengar lebih macho dari sebelumnya, riffing yand di hadirkan lebih kekar, performa vokal nya juga telah mengalami peningkatan drastis tak terlalu mengandalkan reverb. Lagu kedua sekaligus, title track, dan direct sequel lagu “The Armor of Ire” dari album sebelumnya, rada mirip materi SUMERLANDS lengkap dengan synth­ tipis dibelakang instrumen lainya, hal tersebut wajar sih karena 3/5 personil ETERNAL CHAMPION terlibat dalam band tersebut bareng dua member MAGIC CIRCLE. Salah satu yang membuat ‘Ravening Iron’ enak di dengarkan secara menyeluruh adalah sequencing daftar lagunya yang selang-seling antara track tempo menengah yang nge-Doom seperti “Skullseeker” dan “Coward’s Keep” dengan komposisi lebih catchy dengan format gak jauh-jauh dari 80’s heavy metal layaknya “War of The Edge of The End” atau “Worms of The Keep”, apalagi dudukung vokal John Tarpey yang kadang sedikit mengingatkan pada Mark Shelton (R.I.P 2018) dan Ozzy Osbourne kalau lagi nada tinggi.

Meskipun hanya berdurasi 37 menit (cuma lebih panjang 2 menit lebih dari ‘The Armor of Ire’), ‘Ravening Iron’ jelas terdengar lebih padat karya, selain karena hanya menyisipkan satu buah lagu dungeon synth (“The Godblade”), materi dalam album ini juga lebih memorable dan tiap-tiap track juga sangat distingtif, jarang-jarang menemukan album yang dari lagu pertama hingga akhir, bisa langsung nemplok dikepala, belum lagi hasil produksi dari Arthur Rizk, yang sudah tak perlu dipertanyakan lagi keahlianya, mendengarkan ‘Ravening Iron’ berasa layaknya muter-muter Vice City naik Sabre Turbo sambil nyetel V-Rock. Satu-satunya kekurangan album ini mungkin terletak pada ending lagu terakhir “Banners of Arhai”, sebuah lagu dimana ETERNAL CHAMPION henshin jadi band epic doom metal dengan sound gak jauh-jauh dari CANDLEMASS era Messiah Marcolin, DOOMSWORD, dan SOLITUDE AETURNUS, bagian guitar solo nya juga bikin bulu kuduk merinding karena mengingatkan pada gaya solo Lars “Lasse” Johansson dalam lagu-lagu klasik CANDLEMASS, namun ending lagu tersebut justru anti-klimaks alias nanggung kayak cliffhanger pas akhir season yang rada menjengkelkan. Overall bagi kalian penggila musik heavy metal ‘Ravening Iron’ merupakan album wajib dan sudah pasti gak bakalan mengecewakan, dan meskipun datang menjelang pergantian tahun, pantas lah apabila banyak media memberikan gelar ‘Best Album of 2020’ pada ‘Ravening Iron’. (Peanhead)

9.7 out of 10