Dream Theater ‘Distance Over Time’ review
Inside Out /Sony Music. February 22th 2019
Progressive metal
DREAM THEATER dalam dunia persilatan metal tidak perlu dipertanyakan lagi kompetensinya. lewat album ‘Images and Words’ yang dilepas di tahun 1992, grup musik yang kala itu di isi Berklee Music University dropouts, John Petrucci, John Myung, dan Mike Portnoy bersama vokalis James LaBrie (yang kala itu baru saja menggantikan Charles Dominici) dan Kevin Moore, berhasil mengukuhkan diri di garis paling depan sekaligus grup yang memiliki andil besar mengangkat sub-genre Progressive metal sampai sebesar sekarang. dan selama lebih dari tiga dekade,13 album penuh (dan berjibun Live album) dan total penjualan 12 Juta album setelahnya, Dream Theater bukan hanya berhasil bertahan dalam skena panas progressive rock/metal tapi juga berhasil merangsek ke pasar mainstream yang sulit ditembus band sejenis dan mendapatkan penggemar setia bukan hanya dari kalangan metalhead dan prog snob saja, melalui album-album magnum opus seperti ‘Awake’, ‘Metropolis Part 2: Scenes from Memory’, ataupun ‘Six Degree of Inner Turbulence’. Walaupun sempat sedikit mengalami setback album setelah cabutnya Mike Portnoy, yang justru hengkang setelah album ‘‘Black Clouds and Silver Linings’ berhasil mencapai posisi ke-6 di US Billboard Top 10.
John Petrucci sebagai komposer sekaligus produser utama pasca hengkangnya Portnoy kelihatanya membaca dan menjawab kritik para pendengar yang ditujukan terhadap ‘The Astonishing’, sebuah double album berdurasi dua jam lebih yang dianggap bertele-tele dan terlau gendut. ‘Distance Over Time‘ yang merupakan kerjasama perdana bersama Inside Out Music, membabat habis lemak-lemak tak penting dan sedikit mengembalikan lagi riff-riff dan groove yang lebih modern ala ‘Train of Thought’. dibanding tiga album sebelumnya, kolaborasi ke-4 DREAM THEATER bersama Mike Mangini ini jelas terdengar lebih kolaboratif dan lebih luwes. durasi lagu juga lebih disederhanakan dengan durasi rata-rata dibawah 7 menit, hanya lagu “At Wit’s End’, yang merupakan lagu terbaik dalam album Bersama lagu ‘Barstool Warrior’ dan closing salvo “Pale Dot Blue” yang cukup panjang, itu pun tak sampai menyentuh durasi 10-menit, jadi yang berharap ada lagu multi-part hingga belasan bahkan dua puluhan menit layaknya ‘In The Presence of Enemies’, ‘The Glass Prison’ dan ‘Octavarium’ dijamin bakal kecele disini. Aransemen ekspansif dan kompleks yang merupakan trademark konsisten sejak
dahulu masih terasa kental dalam ‘Distance Over Time’, walaupun begitu saya rasa beberapa lagu memang sengaja dicanangkan untuk merangkul khalayak pendengar yang lebih luas, seperti pada single ketiga ‘Paralyzed’ yang terpengaruh alternative metal layaknya BREAKING BENJAMIN dan GODSMACK, dengan corak gitar yang lebih heavy dan struktur lagu yang sederhana, begitu pula pada lagu ‘Room 137’, tentunya dengan gaya dan warna penulisan mereka yang sudah menjadi ciri khas DREAM THEATER.
Bagi fans yang memang sudah menggandrungi DREAM THEATER, ‘Distance Over Time’ bisa dibilang merupakan album fanservice yang wajib untuk dikonsumsi lalu dikoleksi. Energi yang terpancar kan kali ini terdengar lebih segar dan menyenangkan, walau masih bertahan pada pakem-pakem yang lama dan terdengar main aman. Memang dibanding album-album dari band muda macam HAKEN, LEPROUS, THE PINEAPPLE THIEF, ataupun SOEN memang album ini tak terdengar groundbreaking, eksplorasinya juga gak seberani dan senekat DEVIN TOWNSEND dan IHSAHN. Tetapi layaknya ‘Firepower’ yang dilemparkan JUDAS PRIEST tahun lalu, ‘Distance Over Time’ berhasil sedikit merevitalisasi dan memecah lingkaran redudansi yang mengekang grup ini khususnya dalam beberapa rilisan terakhir, dengan mencoba beberapa trik baru dan memunculkan kembali elemen-elemen terbaik dari album terdahulu, lalu mengemasnya kedalam salah satu kumpulan lagu terkuat dan paling accesible mereka dalam satu dekade kebelakang. Namun cukup disayangkan lagu ‘Viper King’ yang merupakan salah satu lagu terbaik (dan fan favourite) dari album ini hanya masuk dalam versi Deluxe Edition, dan seperti kebanyakan album metal saat ini, mastering-nya terlalu overcompressed jadi terdengar melelahkan ditelinga, jadi kalau yang ingin mendengarkan secara maksimal saya rasa versi Double LP nya dan Blu-Ray Audio dengan Full Dynamic Range jelas lebih superior. (Peanhead)
8.0 out of 10