CATTLE DECAPITATION ‘Death Atlas’
Metal Blade Records. November 29th, 2019
Progressive death metal/Deathgrind
Diantara bejibun album/mini album/split/single yang mucil di tahun 2019 lalu, ada satu nama yang kayaknya nge-hype banget, entah itu di media sosial, list album terbaik di akhir tahun kemaren sampai daftar top seller di toko musik online langganan. Nama tersebut adalah CATTLE DECAPITATION dengan album ke delapan-nya ‘Death Atlas’, mungkin karena label yang menjadi rumah mereka semenjak album kedua mereka Metal Blade Records promosi gila-gilaan, karena ketika dua album sebelumnya yang mendapat respon sangat positif pun gak seheboh ‘Death Atlas’. CATTLE DECAPITATION sendiri bukan nama sepele apalagi baru di kancah grindcore era modern, dibentuk sudah lebih dua dekade lalu, menurut saya grup yang personil orisinil nya hanya menyisakan sang vokalis Travis Ryan ini merupakan salah satu aktor penting bersama GRIDLINK, DISCORDANCE AXIS, CEPHALIC CARNAGE, THE RED CHORD, dalam golongan grindcore yang terkontaminasi formulasi kompleks dari technical death metal, untuk saya sendiri rilisan CATTLE DECAPITAITON biasanya cuma numpang lewat doang karena materi nya rada biasa aja apalagi album-album awal kalau tidak mengindahkan tema animal right, veganism dan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia , dan belum bisa menghasilkan karya selevel ‘Xenosapien’, ‘Amber Gray’, ‘Clients’ dan apalagi ‘The Inalienable Dreamless’.
‘The Harvest Floor’ (2009) menjadi titik balik CATTLE DECAPITATION dari band biasa aja jadi grup yang layak untuk disimak, apalagi setelah disamber dengan dua album sakit setelah nya ‘Monolith of Inhumanity’ (2012) dan ‘The Anthropocene Extinction’ (2015), yang mempertontonkan kebolehan dan keserbagunaan mereka menggabungkan technical grindcore dengan black metal hingga slamming dan juga teknik clean vocal unik dari Travis Ryan yang sepertinya terisnpirasi Dave Hunt (ANAAL NATHRAKH). ‘Death Atlas’ berhasil memanfaatkan momentum yang telah dibangun oleh dua predecessor nya tersebut lalu mengembangkanya lebih jauh lagi, bahkan secara keseluruhan ‘Death Atlas’ lebih cocok di kategorikan dalam ruang lingkup progressive death metal dengan bumbu grindcore, dan bahkan pengaruh black metal kali ini lebih dominan dibandingkan grindcore sendiri, yang langsung terasa di single pertama dan kedua sebelum perilisan album, ‘One Day Closer to the End of the World’ yang rada-rada kayak GOJIRA main riff dan breakdown nya dan ‘Bring Back the Plague’ yang langsung ngegas dengan tremollo riffing ala black metal dari awal sampai akhir lengkap dengan chorus dan bridge yang agak bernada seperti BORKNAGAR dan ENSLAVED. ‘Death Atlas’ sendiri merupakan album CATTLE DECAPITATION paling konseptual dengan narasi dan alur yang jelas sekaligus paling melodic, tapi meskipun pendekatanya lebih indirect dengan struktur progresif, lagu-lagu dalam ‘Death Atlas’ jadi gampang ditebak arahnya kemana kalau dibandingkan materi-materi pendahulunya yang lebih chaotic, porsi bagian clean vocal dalam album ini juga lumayan besar, malah bisa dibilang sudah seperti bahan baku andalan dalam setiap lagu, jadi efeknya gak se-spesial dulu yang muncul dimomen-momen penting saja.
Selain dua lead single yang dilepas duluan, ‘Death Atlas’ juga punya banyak nomor-nomor yang oke punya, mulai dari pembuka keos yang bisa bikin pecah moshpit ‘The Genocide’ dan ‘Vulturous’ yang groovy as f—, dan yang paling ambyar serangan bertubi-tubi 4 lagu terakhir ‘With All Disrespect’, ‘Time’s Cruel Curtain’, interlude syahdu ‘The Unerasable Past’ dan di tutup dengan lagu self-titled berdurasi sembilan menitan yang penuh kenestapaan, amarah, dan emosi kepada umat manusia yang pelan tapi pasti membawa bumi ke kiamat buatan mereka sendiri, dan bagi yang punya versi limited edition masih ada sebuah cover dari Dead Can Dance ‘In The Kingdom Of The Blind, The One-Eyed Are Kings’ jadi versi melodic doom metal yang menutup album dengan lebih paripurna. Dengan durasi yang menyentuh satu jam ‘Death Atlas’ bukan hanya album paling panjang yang CATTLE DECAPITATION yang pernah buat, tapi juga album yang paling ambius yang merka pernah garap mulai dari konsep keseluruhan sampai komposisi lagu yang semakin banyak menyentuh sub-genre diluar death metal dan grindcore, bukan hal yang aneh sebenarnya memang, mengingat masing-masing personel terkenal punya selera musik yang lumayan nyentrik. Sayangnya ‘Death Atlas’ masih terlalu banyak menyimpan lagu yang rada biasa-biasa aja seperti ‘Absolute Destitute’ dan ‘Be Still Our Bleeding Hearts’ yang menjadikan album ini jauh dari kata sempurna, belum lagi style produksi ultra modern terlalu mekanikal dan overcompressed yang malah bisa bikin telinga gampang capek, jadi kadang walau belum sampai kilimaks nya di lagu terakhir, kuping udah terlanjur pegal. Tentunya para anak grindcore garis keras pasti bakal lansung menolak habis-habisan ‘Death Atlas’ karena makin jauh dari roots goregrind-nya, tapi kalau untuk saya pribadi yang lebih familiar dengan progressive/technical death metal ataupun black metal ‘Death Atlas’ merupakan pengalan mendengarkan yang sangat memuaskan cuma sayangnya rada sedikt bertele-tele aja. (Peanhead)
8.5 out of 10