fbpx

ALBUM REVIEW: CARNIVEX – WORLD WAR X

CARNIFEX ‘World War X’ Album Review

Nuclear Blast Records. August 2nd, 2019.

Deathcore

Salah satu pentolan scene deathcore semenjak era 2000-an CARNIFEX, memuntahkan racun ketujuh mereka bertajuk ‘World War X’. Sempat hiatus setahun pada permulaan dekade 2010’an, band ini justru bangkit kembali lebih solid dan langung melepaskan album paling ganas yang mereka pernah rilis saat itu ‘Die Without Hope’ (2014), dua tahun berikutnya Scott Lewis, Cory Arford, Shawn Cameron, Fred Calderon, dan Jordan Lockrey melanjutkan momentum album tersebut dengan merilis ‘Slow Death’ (2016), karya terbaik yang pernah di hasilkan CARNIFEX, semenjak di formasikan pada tahun 2005 lalu. Album tersebut merupakan transformasi akhir mereka, dari sebuah band deathcore yang biasa-biasa aja, menjadi ujung tombak scene deathcore di panggung-panggung besar, di saat SUICIDE SILENCE jadi bahan olok-olok akibat banting setir jadi DEFTONES-core di album self-titled dan WHITECHAPEL mulai mencoba menjauh dari aliran tersebut dengan mengakusisi elemen dari groove metal, alternative metal, hingga progressive metal dalam ‘Mark of The Blade’. Walaupun pengaruh symphonic black metal yang telah diperkenalkan semenjak album ketiga ‘Until I Feel Nothing’ (2011) semakin dominan, CARNIFEX masih belum melepaskan atribut breakdown mereka, dan gak mau ikut-ikutan tren yang sedang berkeliaran diantara pengusung deathcore lainya.

Bagi yang sudah familiar dengan materi CARNIFEX, semenjak ‘Die Without Hope’ apalagi ‘Slow Death’, album terbaru mereka kali ini tak terlalu banyak menawarkan hal yang baru dari segi konten materi. ‘World War X’ lebih tepatnya merupakan sebuah penyempurnaan formulasi yang telah diperkenalkan band ini semenjak dua full-length sebelumnya, satu-satu nya perbedaan paling signifikan dari album ini terletak pada lirik, karena alih-alih menulis lirik bocah bucin patah hati atau bunuh diri sok edgy beudh, CARNIFEX kali ini menulis album yang seluruhnya nya berfokus pada konsep peperangan dan akhir zaman, kabar baik bagi mereka yang langsung males dengerin ketika membaca lirik lagu seperti “Drown Me in Blood”, “Dark Heart Ceremony”, ” Countess of the Crescent Moon”, “Dark Days”, dan “Last Words”, setidaknya kali ini gak perlu khawatir membaca kolom lirik dalam booklet. Meskipun tak banyak menghadirkan sesuatu yang baru, bukan berarti ‘World War X’ album yang bermalas-malasan, perkawinan antara deathcore dan elemen black metal dalam album ini terasa lebih ngeklop, karena pada rilisan sebelumnya elemen simofonik/orkestra kadang muncul rada sembarangan. Selain itu CARNIFEX juga membawa balik lagi riff-riff technical death metal yang absen dari ‘Slow Death’ jadi secara keseluruhan ‘World War X’ terdengar tak terlalu monoton.

CARNIFEX dalam album ini juga turut melibatkan Mick Kenney vokalis band industrial black metal/grindcore ANAAL NATHRAKH, yang wakau hanya terlibat pada sesi tracking vokal, sepertinya sedikit memberikan arahan pada proses rekaman dan produksi ‘World War X’, karena bukan hanya berhasil memoles tarikan vokal Scott Lewis, namun hasil mixing album yang dikerjakan Jason Suecof, jauh terdengar lebih raw. Namun ‘World War X’ masih terjangkit penyakit yang sama diderita ratusan album beraliran deathcore lainya, karena struktur lagunya berpusat pada breakdown kadang membuat lagu yang ada terdengar terlalu mirip satu sama lain, meskipun telah di putar berulang kali saya masih kesulitan menemukan hal spesial dari “Visions of the End”, “This Infernal Darkness”, “Eyes of the Executioner”, apalagi “No Light Shall Save Us”, dimana Alissa White-Gluz pun tak bisa menyelamatkan lagu tersebut karena cuma numpang lewat begitu saja ketika diputar. Untungnya empat lagu terakhir “All Roads Lead To Hell”, “Brushed By The Wings of Demons”, “Hail Hellfire”, dan “By Shadows Thine Held” berhasil setidak nya menyelamatkan album ini, dengan riff, breakdown, dan melodi lead gitar yang lumayan memorable. ‘World War X’ tentunya belum bisa menggeser posisi ‘Slow Death’ sebagai album terbaik CARNIFEX, namun setidaknya album ini cukup konsisten dan tentunya layak untuk di dengarkan. (Peanhead).

7.1 out of 10