fbpx

MOVIE REVIEW: XX (2017)

XX
Sutradara: Sofìa Carrillo, Jovanka Vuckovic, Annie Clark, Roxanne Benjamin, Karyn Kusama
Kanada / USA / Meksiko (2017)

Review oleh Tremor

Sudah sejak lama industri film horor mendapat kritik dari para penonton perempuan. Hal tersebut tidak mengherankan karena memang faktanya sejak genre ini lahir, para pembuat film horor yang didominasi laki-laki sering kali menggambarkan perempuan sebagai korban. Belum lagi dengan adanya kecenderungan menseksualisasi karakter perempuan dalam banyak sekali film, membuat genre ini sering dianggap misoginis. Antologi XX adalah sebuah usaha yang bagus untuk membuktikan bahwa siapapun bisa terjun ke dalam industri film horror tanpa memandang jenis kelamin, karena semua segmen dalam antologi ini disutradarai, ditulis dan diproduseri oleh para sineas perempuan. Tentu saja ini adalah konsep antologi yang menarik, menyegarkan dan perlu diapresiasi. Proyek ini menjadikan genre horror sebagai ruang aman bagi semua orang termasuk perempuan, sekaligus juga wadah bagi para sineas perempuan untuk berkarya dengan suara dan sudut pandang mereka. Judul antologi ini sendiri mengacu pada kromosom genetik XX yang membentuk jenis kelamin perempuan pada manusia. Antologi XX menampilkan empat segmen utama ditambah satu segmen judul yang dibuat oleh lima sutradara perempuan. Selain itu, setiap film pendek dalam XX juga menampilkan karakter utama perempuan, dengan tiga cerita yang berfokus pada sudut pandang seorang ibu.

Meskipun antologi selalu menjadi hal yang dinanti-nanti dalam komunitas horor, namun kebanyakan antologi juga merupakan proyek eksperimental yang penuh resiko bagi penontonnya. Sudah bukan kejutan lagi kalau dalam beberapa antologi kita akan menemukan hanya satu atau dua segmen saja yang bisa dibilang bagus dan menonjol, sementara segmen lainnya terasa membosankan dan bahkan tidak memuaskan sama sekali. Saya juga menyadari tantangan yang dihadapi oleh para penulis dan sutradara dalam antologi, yaitu terbatasnya durasi sehingga mereka harus berpikir keras untuk bagaimana caranya bisa memaksimalkan durasi yang ada. Karena itu, saya selalu menghilangkan ekspektasi apapun sebelum menonton sebuah antologi horror dan berusaha menikmati karya-karya eksperimental para sutradara dan penulisnya.

Antologi XX dibuka dengan sequence animasi stop-motion yang sangat artistik buatan sutradara / art director Sofia Carrillo. Kebanyakan film antologi memang memiliki semacam segmen pengikat untuk menjadi selingan di antara film pendeknya. Ada yang segmen pengikatnya menjadi cerita tersendiri, dan ada juga yang tidak. Segmen pengikat dalam XX adalah contoh yang kedua. Segmen ini tidak terlalu memiliki cerita yang jelas. Karya seni animasi stop-motion Sofia Carrillo ini menampilkan sekumpulan boneka aneh dan menyeramkan yang tampak hidup berkeliaran di dalam bangunan terbengkalai. Secara visual, segmen ini cukup menarik. Setidaknya ini memberi sesuatu pada kita untuk dilihat di antara segmen XX.

Kita memasuki segmen pertama dalam XX yang berjudul “The Box”, sebuah adaptasi dari cerpen karya Jack Ketchum yang ditulis ulang untuk film ini sekaligus disutradarai oleh pendatang baru Jovanka Vuckovic. Menjelang hari Natal, Susan sedang naik kereta bawah tanah bersama dua anaknya, Danny dan Jenny. Seorang pria membawa kotak kado besar di pangkuannya duduk di depan mereka. Danny tiba-tiba bertanya pada pria tersebut tentang apa isi kotak yang dibawanya. Pria itu pun mengizinkan Danny untuk mengintip sebentar ke dalam kotak. Sejak detik itu, Danny mulai berubah. Ia tidak pernah merasa lapar dan selalu menolak makanan, bahkan pada menu favoritnya. Tentu saja ini membuat kedua orangtuanya khawatir, kebingungan dan frustrasi. Hal ini terjadi selama beberapa hari, dan Danny tidak pernah merasa kelaparan. Apa yang ada di dalam kotak tersebut yang membuat Danny berhenti merasa lapar? Sebagai pembuka antologi, segmen yang dipenuhi dengan misteri ini terasa cukup menjanjikan. Kalau diharuskan memilih, mungkin The Box adalah favorit saya dari keseluruhan antologi XX, meskipun segmen ini sama sekali tidak sempurna. Tapi saya pribadi memang menyukai kisah-kisah surreal seperti ini. Secara visual, segmen ini juga cukup menawan, terutama saat kamera menyoroti makanan-makanan di atas meja yang membuatnya terlihat sangat menggiurkan. Apa yang ada di dalam kotak tersebut menyimpan misteri bagi penonton. Spoiler alert, benda dalam kotak itu memang tidak pernah diungkap, namun hal itu memang tidak penting lagi. Hingga segmen ini berakhir, pengetahuan penonton setara dengan pengetahuan Susan, apapun objek yang ada di dalam kotak itu, pada akhirnya menghancurkan keluarganya.

Film kedua dalam antologi ini berjudul “The Birthday Party”. Segmen ini adalah debut penyutradaraan dari Annie Clark, yang sebenarnya lebih dikenal sebagai musisi dengan nama panggung St. Vincent. Ditulis oleh Annie Clark dibantu Roxanne Benjamin, The Birthday Party berfokus pada Mary, seorang ibu yang cemas saat hendak mempersiapkan pesta ulang tahun putri angkatnya. Masalah mulai muncul saat Mary menemukan suaminya sudah tak bernyawa di ruang kerja. Dengan panik Mary berusaha untuk menyembunyikan jasad suaminya karena ia tidak ingin membuat pesta ulang tahun ini sebagai sesuatu yang traumatik bagi putrinya. Segmen ini adalah segmen yang rasanya sangat tidak pas untuk dilibatkan dalam sebuah antologi horror. Meskipun ada mayat di dalamnya, tetapi saya tidak akan mengkategorikan The Birthday Party sebagai cerita horor. Segmen ini lebih terasa sebagai komedi gelap yang komikal, daripada horror. Terlepas dari horror atau bukannya, saya rasa penyutradaraan perdana Annie Clark cukup fantastis dan ia mengerjakan debutnya dengan sangat baik. Saya pribadi cukup menikmati akting, desain set, dan bagaimana segalanya sangat enak untuk dipandang.

Segmen ketiga berjudul “Dont Fall”, ditulis sekaligus disutradarai oleh Roxanne Benjamin yang sebelumnya pernah terlibat dalam antologi horror Southbound (2016). Kisahnya berpusat pada sekumpulan anak muda yang pergi hiking / camping di dekat padang pasir. Dalam perjalanan hiking-nya, mereka menemukan lukisan purbakala pada sebuah dinding batu. Salah satu dari mereka, Grethcen, secara tidak sengaja menyentuh lukisan tersebut. Seperti bisa ditemui dalam plot film horror pada umumnya, begitu malam tiba, sesuatu yang mengerikan datang meneror mereka. Menurut saya, segmen ini adalah segmen yang idenya paling generik dan tidak meninggalkan kesan apapun. Namun Dont Fall tetap merupakan segmen yang efektif dan ditutup dengan sempurna. Ia juga berhasil menggunakan durasinya yang sangat terbatas secara maksimal. Apa yang membuat segmen ini cukup bekerja dengan baik adalah karena ia memiliki aspek-aspek yang diharapkan oleh penonton horror: action, ketegangan, horror, dan darah.

Film pendek terakhir dalam XX ditulis dan disutradarai oleh Karyn Kusama. Judulnya “Her Only Living Son”. Rasanya Kusama adalah satu-satunya sutradara dalam XX yang sudah lebih dikenal dibandingkan sutradara lainnya karena sebelumnya ia pernah membuat film horror yang cukup efektif berjudul The Invitation (2016). Her Only Living Son berfokus pada Cora, sorang ibu tunggal yang merawat anak satu-satunya bernama Andy. Selama 18 tahun Cora hidup dalam pelarian dan menyembunyikan Andy dari ayahnya. Namun kini Andy sudah memasuki usia dewasa, dan ia mulai mempertanyakan ketidakhadiran sang ayah. Dalam segmen ini kita bisa melihat perjuangan seorang ibu yang harus menghadapi anak satu-satunya secara berubah menjadi seseorang (atau sesuatu) yang jahat karena genetik ayahnya. Mungkin apa yang dihadapi oleh Cora adalah skenario yang bisa saja terjadi kalau film Rosemary’s Baby (1968) mendapat kesempatan sekuel berjarak 18 tahun, atau film Omen (1976) yang dicampur dengan sedikit elemen We Need To Talk About Kevin (2011). Dan lewat kalimat barusan secara tidak langsung saya sudah membagikan spoiler.

Meskipun XX adalah antologi berlabel horor, tetapi jujur saja film-film pendek di dalamnya tidak terlalu menakutkan bagi saya. Namun setiap orang tentu memiliki visi-nya sendiri tentang apa itu horror bagi diri mereka, dan mungkin itulah yang diakomodasi dalam antologi ini. Para penulis/sutradara yang terlibat dalam XX mendapatkan ruang untuk menggambarkan visi horror mereka masing-masing, yang sudah pasti berbeda-beda. Antologi XX memang jauh dari sempurna, tetapi ini adalah awal yang baik. Saya pribadi tetap mengapresiasi niat dari proyek ini dan berharap kalau XX bisa menjadi sebuah seri / franchise antologi yang berkelanjutan di kemudian hari. Tentu akan sangat menarik untuk melihat bagaimana sebuah proyek horror seperti ini bisa mengdorong para sineas perempuan lainnya untuk berkarya dan menuliskan kisah horror dari sudut pandang mereka sendiri.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com