X
Sutradara: Ti West
USA (2022)
Review oleh Tremor
Awalnya, saya ingin menulis review film Pearl (2022). Tapi rasanya kurang pas kalau saya tidak membahas film X terlebih dahulu, karena Pearl merupakan backstory dari salah satu karakter di film X. Ti West, penulis/sutradara kedua film tersebut adalah salah satu sineas horor dengan perkembangan dan eksplorasi yang sangat menarik. Awal perkenalan saya dengan karya West adalah film horror retro yang terasa sangat otentik 70-an berjudul The House of the Devil (2009). Di tahun yang sama ia juga dipercaya untuk mengerjakan film ke-dua franchise Cabin Fever berjudul Spring Fever (2009) dengan style yang sama sekali berbeda dari The House of the Devil. Eksplorasi horor West lewat film fitur berlanjut ke karya horror seputar hotel berhantu berjudul The InnKeepers (2011), disambung dengan sebuah film found-footage dengan kisah yang sangat gelap dan tragis berjudul The Sacrament (2013). Butuh 9 tahun lamanya hingga West kembali membuat film horror lagi, kali ini dengan pendekatan backwoods slasher ala horror akhir 70-an sekaligus sebagai homage serius bagi film-film backwoods slasher di era tersebut, terutama The Texas Chainsaw Massacre (1974). X adalah film horror old-fashioned dengan premis yang saya pikir cukup original, dirilis oleh studio A24 yang sudah tidak perlu diragukan lagi kualitas kurasinya. Sebagai sebuah homage untuk slasher 70-an, unsur kultur 70-annya sangat terasa dalam film ini, mulai dari sleazy softporn, kokain, hingga liarnya para remaja hippies serta konflik moralnya dengan generasi yang lebih tua dari mereka. X sendiri adalah film pertama dalam trilogi “X”, sebuah trilogi yang bisa dibilang tidak terlalu direncanakan sebelumnya. Meskipun lokasi dalam film X adalah Texas, tapi lokasi shooting sebenarnya ada di New Zealand. Setibanya di negara tersebut untuk memulai proses shooting, Ti West harus menjalani karantina di dalam hotel selama dua minggu terlebih dahulu sebagai syarat bepergian pada saat itu. Dalam masa karantina inilah ia memiliki ide untuk membuat prekuel dari film X, berjudul Pearl. Ia menghabiskan masa karantinanya dengan menulis draft Pearl bersama Mia Goth. Setelah shooting film X tuntas, mereka melanjutkan proses shooting untuk film Pearl menggunakan set yang sama, yang akhirnya dirilis beberapa bulan setelah X. Kini, mereka sedang memproduksi film ketiga dari trilogi ini dengan judul MaXXXine, yang semoga saja segera dirilis.
Kisah dalam X sendiri cukup straightforward. Film ini dimulai dengan sequence yang kental rasa nostalgia-nya bagi penggemar horror: sekelompok anak muda melakukan perjalanan dalam sebuah mobil van di tahun 1979. Setting ini tentu saja mengingatkan para penggemar horror pada sequence pembuka di The Texas Chainsaw Massacre 1974. Para anak muda dalam X adalah sekelompok kru film porno amatir yang hendak membuat film terbaru mereka dengan tema pertanian. Mereka adalah Maxine, Bobby-Lynne dan Jackson sebagai bintang pornonya. Lalu ada Wayne sebagai produser, RJ sebagai cameraman, serta pacarnya Lorraine sebagai pemegang microfon. Sebelumnya Wayne sudah menyewa satu rumah mungil di sebuah lahan pertanian terpencil milik sepasang lansia, Howard dan Pearl. Howard veteran perang dunia yang kelihatan kolot ini sama sekali tidak tahu kalau Wayne dkk berencana membuat film porno di rumah yang ia sewakan. Meskipun tampak curiga tentang tujuan datangnya para anak muda ini, Howard tetap menerima uang sewa rumahnya dan hanya meminta satu hal pada mereka: jangan mengganggu istrinya, Pearl, yang tinggal di rumah tak jauh dari situ. Mereka memang tidak akan mengganggu siapa-siapa, karena akan menghabiskan banyak waktu membuat film porno. Namun tidak butuh waktu lama hingga Pearl sendirilah yang akhirnya keluar dari rumah dan menemukan apa yang sebenarnya dilakukan oleh para anak muda ini. Malam itu juga, rencana proses pembuatan film porno mereka mulai berubah menjadi pengalaman film horror yang sebenarnya.
Seperti sebagian besar film-film buatan Ti West sebelumnya, X dimulai dengan alur yang cukup lambat. Film ini dibuka dengan dengan adegan aftermath, 24 jam setelah semua kejadian dalam film ini berlalu. Adegan ini memberi tahu pada penonton bahwa ada pembantaian serius terjadi di sebuah rumah pertanian. Tetapi siapa yang melakukannya, mengapa dan bagaimana pembantaian itu bisa terjadi adalah misteri yang akan membuat para penonton penasaran hingga terus menyimak jalan cerita film ini, seberapapun lambatnya film ini berjalan. Namun berkat kreatifitas Ti West, alur lambat dalam paruh pertama film ini sama sekali tidak terasa “menyiksa” penonton dengan rasa bosan. Sebaliknya, pace-nya diatur dengan sangat baik sekaligus menghibur, sambil memberi waktu yang cukup bagi penonton untuk mengenal para karakternya, terutama karakter Maxine. Hingga akhirnya tiba paruh kedua film X di mana semua keseruan, kekerasan, darah, dan ketegangan akhirnya terjadi. Alur lambat dalam karya-karya West selalu terbayar.
Salah satu hal yang cukup menonjol dari film X adalah penampilan semua cast yang terasa sangat bagus dan natural, terutama penampilan Mia Goth. Dalam film ini Mia Goth memerankan dua karakter sekaligus dengan fantastis: Maxine dan Pearl. Ia melakukan pekerjaan luar biasa lewat peran gandanya dan sangat berhasil membuat kedua karakter itu tetap unik dengan karakteristik masing-masing. Sambil memancarkan optimistisme lewat Maxine, Goth juga berhasil menghidupkan karakter Pearl dengan segala kelemahan dan kesedihannya. Hal lain yang saya suka dari X juga ada pada penulisannya. Berbeda dengan umumnya film-film backwoods slasher, Ti West tidak menggambarkan villain-nya sebagai orang-orang dataran selatan Amerika yang terbelakang, apalagi monster cacat hasil incest seperti yang biasa kita temui dalam film-film semacam Wrong Turn dan The Hills Have Eyes. Villain dalam X justru digambarkan sebagai manusia biasa yang memiliki emosi serta backstory-nya sendiri, membuat penonton bisa saja merasa iba di satu titik.
“X is an extremely good horror movie. Scary, smart, knowing. Oh. And entertaining.” adalah pujian yang ditulis oleh penulis Stephen King di akun twitter-nya, dan rasanya pujian tersebut tidaklah berlebihan. Pengarahan Ti West yang kuat, premis original, pengeditan yang pintar, fotografi yang enak dilihat, dan kemampuan akting yang sangat bagus dari semua aktornya menjadikan film ini sebagai film yang sangat layak ditonton. X memang bukanlah film terbaik sepanjang masa. Tapi sebagai film slasher retro yang sederhana, X memang sangat solid, efektif, dan cukup menghibur. Ketika saya sebut film ini retro, ini bukan berarti X hanya mereproduksi semua tropes film-film 70-an saja atas nama nostalgia. Justru sebaliknya, film ini sanggup berdiri dengan kekuatan dan keunikannya sendiri tanpa dibayang-bayangi film-film jadul yang ia jadikan sebagai inspirasi. Soal kekurangan, jujur saya berharap X memiliki lebih banyak adegan gore. Tapi kemudian saya ingat, bahkan The Texas Chainsaw Massacre 1974 yang mendapat banyak anggukan penghormatan dalam X pun tidak memiliki adegan gore yang cukup. Sehabis menonton X, saya berpendapat pada diri saya sendiri bahwa X adalah film buatan Ti West terbaik setelah House of the Devil. Namun pendapat saya itu tidak bertahan terlalu lama. Setelah akhirnya menonton Pearl beberapa bulan kemudian, saya pun berubah pikiran. Pearl adalah film terbaik Ti West, dengan penampilan terbaik dari Mia Goth, yang akan saya bahas dalam review berikutnya.