WE NEED TO TALK ABOUT KEVIN
Sutradara: Lynne Ramsay
UK/USA (2011)
Review oleh Tremor
We Need To Talk About Kevin adalah sebuah film slow-burning psychological thriller yang cukup gelap dan suram, diadaptasi dari novel buatan Lionel Shriver. Film ini dibuka dengan prolog yang memperkenalkan kita pada karakter utama dalam film ini, Eva Khatchadourian saat ia masih muda. Eva adalah seorang petualang yang tampak bahagia, penuh kebebasan, dengan hobi mendatangi tempat-tempat impiannya. Travelling. Dalam prolog ini, Eva sedang berada dalam sebuah festival lempar tomat di Spanyol dan belum menikah. Kemudian, kita dipertemukan dengan Eva yang sangat berbeda. Eva tidak lagi terlihat bahagia. Ia kini tampak seperti orang yang kebingungan. Kalau biasanya ia adalah seorang traveller, sekarang Eva bekerja pada sebuah kantor travel agent. Kelihatannya banyak orang tidak menyukai Eva. Rumah dan mobilnya baru saja dilempari cat berwarna merah, dan banyak orang yang ia temui di jalan tidak segan-segan mengekspresikan kebencian padanya. Eva sebenarnya dihantui oleh masa lalu yang diungkapkan pada kemudian, dan merupakan alasan utama mengapa banyak orang membencinya. Sejak film ini dimulai, kita akan segera menyadari kalau narasi film ini tidak berada dalam satu lini masa yang lurus. Penonton akan dibawa bolak-balik ke masa lalu dan masa sekarang secara acak. Tapi jangan khawatir, urutan waktu ini akan dengan mudah tersusun rapi karena kita mengikuti pertumbuhan anak pertama Eva yang bernama Kevin. Penonton akan dibawa melalui sudut pandang Eva menyaksikan Kevin dalam tiga tahap pertumbuhan. Kevin saat masih bayi, anak kecil berumur 6-8 tahun, dan remaja.
Hidup Eva yang penuh kesenangan dan perjalanan seperti yang bisa kita lihat dalam prolog berubah drastis sejak ia menikahi suaminya, Franklin yang periang. Dan sepertinya, Eva belum siap untuk memiliki anak. Tapi suatu hari mereka bercinta tanpa pengaman, dan Eva pun hamil di luar rencana. Setelah melahirkan Kevin, Eva merasa kebebasan telah direnggut dari dirinya. Ia tampak semakin tidak bahagia dan merasa asing dengan Kevin yang masih bayi. Walaupun sangat jelas bahwa Eva tidak menikmati menjadi ibu, tapi ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai orang tua. Sebagian porsi dalam film We Need to Talk About Kevin kemudian menceritakan tentang bagaimana Eva berjuang mati-matian agar bisa membangun ikatan dengan Kevin. Ini jelas adalah sulit, karena Kevin adalah anak yang sangat bermasalah sejak balita. Memasuki umur 6 tahun, Kevin memperlihatkan dirinya sebagai seorang anak yang sangat cerdas. Tetapi ia juga adalah anak yang ketus, kasar, manipulatif, dan sangat membenci ibunya. Sial bagi Eva, perilaku Kevin yang sudah memperlihatkan tanda-tanda sociopath / psikopat sejak dini ini hanya Kevin lakukan pada Eva saja. Kevin seakan memilih Eva sebagai korban penyiksaan mentalnya. Sebaliknya, Kevin selalu berperilaku sangat manis dan menggemaskan di depan ayahnya. Eva sebagai ibu rumah tangga yang harus bersama Kevin setiap waktu tentu semakin stress setiap kali Kevin dengan sengaja berulah hanya untuk menyiksa batin dan menguji kesabaran Eva. Suamiya tidak percaya pada cerita Eva dan menganggap “kenakalan” Kevin masih dalam kewajaran seorang bocah. Franklin berpikir, mungkin Eva lah yang berlebihan. Terlebih lagi karena Franklin tahu bagaimana Eva tidak menikmati menjadi seorang ibu pada saat Kevin dilahirkan. Memang, anak kecil bisa saja menyakitkan hati orang tuanya. Itu bukan berita baru. Tapi hanya Eva yang menyadari bahwa “kenakalan” Kevin lebih dari batas wajar. Kevin adalah anak yang sangat bermasalah dan sangat jahat saat bersama Eva, dan menjadi anak laki-laki yang normal-normal saja di depan ayahnya, dan itu dilakukan dengan sengaja.
Saat Kevin beranjak remaja, Evan dan Franklin akhirnya memiliki anak lagi, seorang anak perempuan bernama Celia. Setelah kehadiran Celia, hubungan antara Eva dan Kevin justru semakin memburuk. Apalagi Kevin kini sudah berada di usia mendekati dewasa. Ia semakin memperlihatkan rasa bencinya pada Eva dan secara terang-terangan menyakiti hati ibunya setiap kali ayahnya tidak ada. Sejauh ini Eva masih sekuat tenaga berupaya untuk bisa membangun ikatan dengan Kevin, dan itu ia lakukan secara tulus. Bagaimanapun, Eva tetaplah memiliki insting seorang ibu. Tapi setiap usaha Eva selalu dimentahkan oleh Kevin, dan dibalas dengan kata-kata dan tatapan mata yang kasar, penuh dengki. Tapi, penyiksaan mental pada Eva ini belum seberapa kalau dibandingkan dengan aksi final Kevin yang kemudian akan membawa kehancuran pada hidup Eva, sekaligus menjadi alasan mengapa seluruh kota kemudian membenci Eva. Saya sendiri tidak yakin apakah aksi final Kevin adalah spoiler atau bukan, tetapi lebih baik saya menyimpannya sebagai kejutan bagi kalian yang belum pernah menonton We Need To Talk About Kevin.
Bagi kalian yang sudah menonton film ini, mungkin berpikiran sama dengan saya dalam satu hal: mengapa seluruh kota kemudian menjadi sangat membenci Eva? Apa alasannya? Itu adalah hal yang tidak masuk di akal saya. Seburuk apapun yang Kevin lakukan, perilaku penduduk kota terhadap Eva tetap saja berlebihan menurut saya. Toh hanya kita penonton yang tahu bahwa Eva pernah merasa terpaksa menjadi ibu saat Kevin baru dilahirkan. Orang lain, terlebih penduduk kota, tidak ada yang tahu. Lagipula pada akhirnya Eva juga kehilangan segalanya karena ulah Kevin. Ia juga adalah korban, dan semua penduduk kota mengetahui soal itu. Tidak ada alasan mengapa Eva harus dijadikan kambing hitam atas kekejaman yang dilakukan oleh Kevin. Salah satu penduduk kota yang Eva temui di jalan bahkan sanggup menampar wajahnya, seakan dosa Kevin adalah dosa ibunya. Mungkin Eva memang ibu yang buruk dan pernah mengabaikan Kevin saat baru lahir, atau mungkin Eva tidak cukup memberi cinta pada Kevin. Tetapi tetap tidak ada alasan bagi siapapun untuk kemudian membenci Eva sebenci itu. Penuturan cerita dari sudut pandang Eva seakan memperlihatkan sugesti bahwa Eva pun ikut merasa bersalah atas perilaku anaknya. Tapi mungkin itulah gambaran dari masyarakat umum. Mungkin kita memang tidak bisa menyalahkan Kevin atas apapun yang ia buat, sekejam apapun itu, karena toh Kevin remaja masih di bawah umur. Ia bukan orang dewasa, dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas apapun tindakannya. Mungkin itu alasan mengapa orang-orang otomatis menyalahkan orang tua dan membenci Eva.
We Need To Talk About Kevin adalah film yang dipenuhi dengan sinematografi mencengangkan sekaligus akting yang luar biasa. Tilda Swinton sendiri adalah salah satu aktris yang cukup disegani dalam dunia akting, dan penampilan Tilda dalam film ini membuktikan kemampuannya untuk menampilkan banyak emosi yang berbeda. Bayangkan saja, Eva menjalani hidup penuh kesenangan, hingga akhirnya tertekan, lalu disiksa secara mental oleh anaknya sendiri, sampai pada akhirnya ia dibayang-bayangi rasa bersalah pada akhir film. Sementara karakter Kevin sendiri diperankan oleh tiga aktor yang berbeda untuk tiga periode kehidupannya. Pertama adalah saat ia masih bayi, anak kecil (sekitar umur 6-8 tahun), dan remaja. Bakat aktor cilik yang memerankan Kevin di umur 6 sangat fantastis. Dengan perilakunya yang tidak menyenangkan terhadap Eva, sorotan matanya pun bisa tampak seperti penuh dendam. Tetapi tentu saja pemeran Kevin versi remaja, pendatang baru bernama Ezra Miller, tidak kalah hebatnya. Selain Tilda yang berperan sebagai Eva, Ezra adalah nyawa dari film ini. Sama seperti Kevin masa kecil, Kevin versi remaja mampu memancarkan sorotan mata yang kejam, dengan tatapan seakan penuh dengan rencana licik walaupun ia adalah seorang anak yang pendiam. Ia memberi kita pandangan tentang pikiran rumit seorang sociopath dan ia melakukannya dengan sangat baik. Kejam hingga ke titik tersadis yang bisa dilakukan oleh seorang anak di bawah umur, namun tetap tenang dan penuh perhitungan.
Tapi para penonton yang mengharapkan adegan-adegan sadis tentu harus bersiap kecewa, karena film ini sama sekali tidak menampilkan kekerasan yang sebenarnya. Hanya ada sedikit darah dalam We Need to Talk About Kevin. Lewat penggunaan warna dan cahaya merah lah sutradara Lynne Ramsay memastikan bahwa gagasan tentang darah dan kekerasan terus-menerus ada dalam pikiran penonton. Dari mulai pesta lempar tomat dalam prolog, warna sorot lampu, hingga saat Eva membersihkan cat berwarna merah yang dilemparkan pada dinding rumahnya. Bahkan kita tidak benar-benar diperlihatkan aksi final Kevin yang brutal walaupun kita bisa membayangkannya dengan mudah. Pada akhirnya, film ini meninggalkan beberapa pertanyaan yang tidak terjawab. Apakah penolakan Eva di awal kehidupan Kevin membuat Kevin menjadi jahat? Ataukah Kevin memang sudah sadis dan jahat secara genetis? Saya pribadi akan tertarik untuk mendengar pendapat dari siapa pun yang sudah menonton film ini dan sudah memiliki anak, karena saya sendiri tidak memiliki anak. Saya cukup penasaran dengan seberapa besar dampak dari film ini bagi para orang tua? Apakah film ini ternyata mencerminkan ketakutan mendasar bagi para orang tua tentang anak-anaknya? Bagaimana kalau kita menjadi orangtua yang buruk? Bagaimana kalau anak-anak kita berperilaku seperti Kevin? Dan bagaimana kalau kita tidak bisa memperbaikinya?
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com