THE RUINS
Sutradara: Carter Smith
USA (2008)
Review oleh Tremor
The Ruins adalah sebuah film horor creature dan body-horror, debut film fitur dari sutradara Carter Smith yang skenarionya ditulis oleh Scott B. Smith berdasarkan novel buatannya sendiri dengan judul yang sama. Pada tahun-tahun berikutnya, Carter Smith tidak terlalu produktif. Sejak debutnya ini ia hanya pernah membuat 2 film fitur lagi, padahal The Ruins bisa dibilang sebagai debut yang cukup menjanjikan. Dulu, waktu pertama kali menontonnya secara buta, saya tentu menurunkan ekspektasi terhadap film ini. Hasilnya, saya cukup terhibur karena ternyata The Ruins jauh lebih bagus dari yang saya sangka. Kini setelah menonton untuk kedua kalinya, saya semakin mengapresiasi usaha film ini. Memang, The Ruins dibuka dengan satu kelemahan besar, yaitu babak pertama yang sangat klise. Namun setelah kita melewati babak pertamanya, The Ruins menegaskan bahwa film ini tidak seperti yang kita duga sebelumnya.
Sekelompok karakter klise remaja Amerika sedang berlibur di Meksiko, melakukan kegiatan liburan klise turis Amerika yang diisi dengan pesta, alkohol, pantai dan kolam renang. Mereka adalah dua pasang kekasih: Amy, Jeff, Stacy, dan Eric. Menjelang berakhirnya liburan, mereka berkenalan dengan Mathias, seorang turis asal Jerman. Mathias bercerita kalau adiknya sedang melakukan penelitian di sebuah reruntuhan kuil bangsa Maya kuno yang baru ditemukan tersembunyi di tengah hutan. Mathias yang berencana menyusul adiknya mengajak Amy dan kawan-kawan untuk ikut bergabung dalam perjalanan ini. Kapan lagi ada kesempatan melihat langsung reruntuhan kuil yang baru ditemukan? Para turis pasti akan memenuhi lokasi tersebut suatu hari nanti. Karena masih ada beberapa hari lagi sebelum penerbangan pulang ke Amerika, mereka berempat pun sepakat untuk ikut. Satu dari tiga turis lain asal Yunani bernama Dimitri juga bergabung dalam perjalanan ini. Keesokan harinya, para remaja ini tiba di hutan yang dimaksud bermodalkan peta yang digambar tangan. Setelah melakukan perjalanan jauh dari kota dan hiking di dalam hutan, akhirnya bangunan kuil itu pun mulai terlihat. Bentuknya menyerupai piramida, dengan banyak sekali tanaman jalar liar menyelimuti hampir seluruh bangunan. Setibanya di depan kuil, tiba-tiba datang segerombolan penduduk setempat yang tidak bisa berbahasa Inggris maupun Spanyol. Penduduk ini kelihatannya marah, berteriak-teriak menodongkan senapan dan busur sambil menunjuk-nunjuk para turis serta bangunan kuil. Para turis ini tidak yakin apa yang diteriakkan karena perbedaan bahasa. Yang pasti, para penduduk ini tampak sangat mengancam. Dimitri yang berusaha menenangkan penduduk kemudian dibusur dan ditembak tepat di kepala. Hari terakhir liburan yang mereka pikir akan menjadi petualangan menyenangkan berubah menjadi penuh teror dan membingungkan. Tapi horor sebenarnya belum dimulai. Amy dan kawan-kawanpun segera lari mendaki ke atas bangunan piramida sebagai satu-satunya cara melarikan diri. Namun anehnya para penduduk tidak melakukan pengejaran sama sekali. Mereka hanya menunggu di sekitar kuil sambil terus memantau. Sesampainya di puncak piramida, para remaja ini tidak menemukan adik Mathias atau siapapun. Di atas sana hanya ada beberapa tenda yang ditinggalkan dan sebuah sumur yang merupakan satu-satunya akses masuk ke dalam kuil. Sementara itu, semakin banyak penduduk setempat yang mulai berdatangan. Mereka mendirikan camp di sekitar kuil seakan-akan hendak diam di sana untuk menjaga agar tidak ada satupun turis bisa pergi meninggalkan piramida. Para remaja Amerika ini sama sekali tidak menyadari kalau sesuatu yang purba dan ganas tengah menanti mereka di atas bangunan kuil, dan pada dasarnya kini mereka sedang dikarantina secara paksa oleh penduduk. Dari sini, The Ruins yang awalnya dibuka dengan klise mulai berubah menjadi sesuatu yang menegangkan, mengejutkan, lengkap dengan beberapa adegan gore, dan jauh lebih bagus dari yang saya duga sebelumnya.
Meskipun premis dasar film ini original, tapi saya tidak terlalu suka dengan bagaimana para karakternya ditulis. Satu-satunya karakter dalam The Ruins yang mengundang rasa simpati saya hanyalah Stacy yang diperankan oleh aktris Laura Ramsey dengan sangat baik. Selebihnya, karakter remaja lain dalam film ini cukup menyebalkan bagi saya. Sebenarnya aktris Jena Malone memerankan Amy dengan maksimal dan meyakinkan juga. Penampilan Malone semakin saya apresiasi saat mengetahui bahwa The Ruins adalah satu-satunya film horror yang pernah ia perankan di sepanjang karirnya, dan ia bermain dengan sangat baik terutama saat mengekspresikan ketakutan dan keputusasaan. Namun sayang sekali karakternya tidak berhasil menimbulkan rasa simpati saya. Mungkin karakter Amy memang ditulis untuk melakukan beberapa tindakan blunder, dengan yang paling mengesalkan adalah ketika ia tetap memotret menggunakan kameranya di saat-saat genting. Ia adalah orang yang seharusnya menjadi korban pertama. Lalu ada juga karakter Jeff yang bossy dan jauh lebih mengesalkan lagi dibandingkan Amy, ditambah dengan ekspresi yang seakan tidak pernah memiliki emosi apapun di segala situasi. Karakter Eric dan Mathias juga tidak terlalu meninggalkan kesan apapun. Gabungan dari semua karakter ini menyebabkan saya tidak terlalu peduli dengan keselamatan mereka, kecuali Stacy. Bagaimanapun, meskipun Jeff adalah karakter yang paling menyebalkan, tetapi adegan terbaik dan memorable dalam The Ruins justru datang dari keputusan Jeff saat ia menggunakan pengetahuan sekolah kedokterannya untuk (SPOILER ALERT!!) melakukan amputasi bermodalkan batu dan pisau berburu. Adegan tersebut mengarahkan review saya pada salah satu elemen terbaik dari The Ruins, yaitu special effect / makeup gore yang fantastis, terlihat realistis dan tampak sangat menyakitkan. Tunggu sampai kalian lihat adegan yang saya maksud. Selain penggunaan special effect tradisional, The Ruins juga mau tidak mau tetap harus menggunakan special effect CGI untuk menghasilkan beberapa terrornya, yang sepertinya memang sulit kalau tidak menggunakan CGI. Untungnya, CGI di film ini masih dalam porsi yang minim dan secara visual sama sekali tidak mengganggu.
Plot The Ruins memang dibuka dengan babak pertama yang stereotip, dipenuhi dengan keputusan-keputusan bodoh yang diambil oleh para karakternya, ditambah dengan beberapa sub-plot drama romance tidak penting. Tapi secara keseluruhan, The Ruins cukup memuaskan, apalagi ketika film ini mulai menjadi film body-horror bercampur dengan teror monster. Sutradara Carter Smith juga cukup cekatan dalam membuat para penonton tetap tertarik untuk menonton hingga akhir, sambil merasa penasaran dengan bagaimana cara para turis Amerika ini akan bisa menyelamatkan diri dari mimpi buruk di atas reruntuhan kuil. Cara film ini ditutup juga cukup memuaskan. Saya tidak tahu apakah kalimat yang akan saya tulis berikut ini bisa dibilang spoiler atau bukan, namun agak sulit menulis review tanpa membahas “monster”-nya. Saya tidak akan membahasnya secara detail, tapi yang pasti bagi saya The Ruins adalah salah satu film “tanaman pembunuh” terbaik yang pernah ada, kalau sub-genre tersebut eksis dalam genre horror. Sebelumnya, memang sudah ada beberapa film dengan tanaman sebagai “monster”-nya, seperti misalnya segmen berjudul The Lonesome Death of Jordy Verill dalam antologi Creepshow (1984), Little Shop of Horrors (1986), Invasion of the Body Snatchers (1956/1977) hingga Seedpeople (1992), yang mayoritas adalah tanaman alien. Lalu apakah monster tanaman dalam The Ruins juga merupakan sesuatu yang dahulu kala datang dari planet lain? Kita tidak pernah tahu jawabannya kecuali seseorang berniat mengolah ide itu sebagai prekuel. Saya pun bertanya-tanya mengapa film ini tidak menelurkan sekuel sama sekali? Meskipun bagi saya satu film saja sudah cukup, tetapi The Ruins memiliki premis dasar yang bisa saja terus dikembangkan lewat banyak sekuel, atau prekuel. The Ruins adalah film debut yang solid, dengan premis original, dan yang pasti cukup menyenangkan untuk ditonton meskipun ada dengan beberapa kekurangan yang masih sangat bisa dimaklumi. Film ini mungkin bukanlah film terbaik tahun 2008, tetapi tetap menjadi pilihan menyegarkan dibandingkan banyak sekali film-film horror sekuel dan remake/reboot pada dekade yang sama.