fbpx

MOVIE REVIEW: THE MIST (2007)

THE MIST (2007)
Sutradara: Frank Darabont
USA

Review oleh Tremor

Kalau kalian pernah menonton film The Shawshank Redemption (1994) dan The Green Mile (1999), lalu kalian sepakat bahwa kedua film tersebut adalah masterpiece, tentu kalian akan menyadari bahwa kolaborasi dua nama besar di balik kedua film tersebut adalah jaminan mutu. Frank Darabont (sutradara sekaligus penulis) dan Stephen King (penulis novel) adalah dua nama besar yang saya maksud. Dan saat Darabont mengadaptasi satu lagi novel pendek karangan Stephen King yang berjudul The Mist, saya tahu bahwa film tersebut kemungkinan besar akan sangat bagus, walaupun ini adalah film monster sekalipun. Saya sudah menonton film ini lebih dari tiga kali sejak DVD (bajakannya) keluar, dan setiap kali menonton ulang film ini, bahkan di tahun 2017, saya pribadi masih menyukai The Mist secara keseluruhan.

Film ini dibuka dengan datangnya badai besar yang menghantam kota kecil bernama Maine selama semalaman suntuk. Seorang pelukis poster film bernama David dan keluarganya adalah salah satu yang terjebak di dalam rumahnya saat badai tersebut berlangsung. Pagi harinya saat langit sudah kembali cerah dan badai sudah lama berlalu, David mendapati pohon tua kesayangannya telah tumbang menimpa sisi samping rumahnya, memporak porandakan jendela besar pada ruangan studio lukisnya. Hujan badai merusak seisi studio (dan rumah) lewat jendela tersebut, termasuk menghancurkan lukisan yang sedang ia kerjakan. Kebetulan rumah mereka berada di pinggir sebuah danau yang indah. David juga menemukan bahwa pohon yang berada di tanah milik salah satu tetangganya yang menyebalkan bernama Brent, telah menimpa rumah perahu pinggir danau mereka. Saat berdiri di tepi danau itulah, istri David menyadari ada yang aneh di kejauhan sana, di seberang danau. Segumpal kabut putih tebal raksasa seakan turun dari pegunungan di belakangnya, bergerak perlahan mendekati kota Maine.

Listrik dan jaringan telepon mati, mungkin akibat badai semalam. Dalam kondisi seperti ini, mereka sadar bahwa mereka perlu menyiapkan persediaan makanan yang cukup untuk berjaga-jaga kalau-kalau badai akan datang lagi dan memutuskan akses mereka ke kota. David pun pergi ke pusat perbelanjaan di pusat kota bersama anaknya, Jake, dan tetangganya Brent. Istri David memutuskan untuk tinggal di rumah karena ia ingin membereskan isi rumah yang sudah seperti kapal pecah.

Sesampainya di supermarket terbesar di Maine, mereka bertiga mendapati betapa ramainya tempat tersebut. Rupanya hampir semua penduduk (dan pendatang, karena Maine adalah kota peristirahatan musim panas bagi mereka yang tinggal di kota besar) memiliki ide yang sama: berbelanja persediaan makanan. Setelah berdesak-desakan di dalam supermarket dan memasukan semua benda yang ada dalam daftar belanjaan ke dalam keranjang, David, Jake dan Brent masih harus bersabar mengantri untuk membayar. Hanya dua kasir yang sanggup melayani, sementara jumlah orang yang berbelanja cukup banyak. Karena ini adalah kota kecil (kota kecil selalu menjadi latar cerita yang ditulis oleh Stephen King) maka tak heran kalau hampir semua orang yang berada di dalam supermarket tersebut saling kenal. Dari mereka yang muda sampai yang tua, kecuali beberapa pendatang yang hanya diam di Maine selama masa liburan. Jadi, antrian panjang bukanlah masalah karena situasi tersebut menjadi ajang saling bertukar cerita dan kabar bagi para penduduk Maine. Pada saat itulah, terdengar suara sirene panjang dari  luar supermarket: sirene tanda bahaya. Jelas sirene semacam itu membuat semua orang merasa tegang, termasuk penonton. Dari kejauhan, terlihat kabut tebal yang sebelumnya David lihat di seberang danau, mulai mendekati area pusat pertokoan. Seorang pria tua berlari dari kejauhan memasuki supermarket. Dengan hidung penuh darah ia berteriak-teriak histeris: “Ada sesuatu di dalam kabut! Sesuatu mengambil John Lee!”

Sontak keadaan tersebut membuat semua orang menjadi panik sekaligus bingung. Kabut tebal dengan cepat menyelimuti seluruh area pertokoan, dan mereka segera menutup pintu rapat-rapat. Dari jendela besar supermarket, mereka tidak bisa melihat apa-apa lagi selain lapisan kabut yang sangat tebal di luar sana, masih diiringi suara sirene panjang. Tak lama kemudian, kita semua akan tahu bahwa memang ada sesuatu di dalam kabut, dan mereka yang terjebak di dalam supermarket mengharapkan datangnya bala bantuan, yang mungkin saja tidak akan pernah datang.

Hal yang paling menarik dari film The Mist adalah apa yang kemudian terjadi di dalam supermarket itu sendiri. Puluhan orang-orang biasa dengan karakter yang berbeda-beda, terjebak di dalam 1 ruangan besar dengan keadaan yang sangat tidak biasa di luar sana. Mereka yang berada dalam supermarket tersebut seakan menjadi miniatur dari sebuah model masyarakat yang lebih luas, dan memperlihatkan berbagai macam insting yang berbeda tengan bagaimana kelompok manusia menghadapi apa yang mereka yakini sebagai akhir dari dunia. Sesuai tagline film ini: rasa takut dapat mengubah segalanya. Rasa takut, tidak adanya kepastian akan keselamatan, hilangnya semua harapan dan solusi, membuat mereka mulai terpecah secara perlahan menjadi beberapa kelompok kecil. Masing-masing kelompok (dan individu) menghadapi rasa takut dan keputusasaan dengan cara yang berbeda-beda. Dari mulai mereka yang relijius secara fanatik; mereka yang skeptik dan meremehkan apapun yang ada di dalam kabut; mereka yang masih berusaha untuk memperjuangkan hidup; hingga mereka yang benar-benar pasrah dan kehilangan harapan sama sekali. Dunia di luar supermarket seakan sudah berakhir. Selain itu, the Mist sendiri layaknya sebuah paket (lumayan) komplit yang penuh penggambaran mengenai beberapa rasa takut umum manusia: takut akan ketidak-pastian, takut akan kiamat, takut terhadap serangga, takut kehilangan anggota keluarga, hingga ketakutan terhadap sesama manusia, karena spesies satu ini memang bisa mendadak gila dan bringas saat sudah tidak lagi memiliki harapan akan apapun.

Setelah menonton untuk kesekian kalinya, saya pribadi masih merasa sangat terdampak oleh ending-nya yang luar biasa. Catat itu. Kalian harus lihat ending dari film ini, yang bahkan dipuji oleh Stephen King sendiri. Ending dalam versi filmnya berbeda dari versi novelnya, dan itu adalah ide dari Darabont, sang sutradara. Dalam salah satu wawancaranya, Stephen King mengakui bahwa ia sendiri belum tentu akan cukup berani kalau harus menulis ending seperti itu, dan ending The Mist versi film adalah yang paling sempurna menurut King. Dan saya sepakat soal itu.

Satu-satunya hal jelek yang selalu saya sayangkan dari The Mist adalah buruknya efek komputer / CGI yang digunakan. Memang tidak seburuk CGI Brama Kumbara di tv lokal, tapi saya rasa kalau saja bajet dan waktunya memungkinkan, efek komputer dalam The Mist masih bisa dimaksimalkan lagi. Tapi hal teknis semacam itu bisa saya maafkan karena penulisan The Mist yang solid dan bermutu, kemampuan akting yang baik, ditambah dengan penyutradaraan yang sangat bagus.

Bonus bagi mereka yang sempat mengikuti serial The Walking Dead, selain karena Frank Darabont adalah produser pertama dari serial tersebut, dalam film The Mist kamu juga akan menemui beberapa aktor / aktris yang wajahnya sangat familiar dari serial The Walking Dead: sebut saja Carol, Andrea, dan Dale.

Belakangan, saya mengetahui bahwa tahun ini the Mist dibuat dalam versi serial TV. Saya sendiri belum sempat menontonnya, tapi semua teman yang rekomendasinya sangat saya percaya mengatakan bahwa menonton serial The Mist sama dengan membuang-buang waktu para penontonnya. Beberapa orang berhenti menonton di episode 2 dan 3 karena karena tidak sanggup lagi menghadapi rasa bosan. Serial tv ini juga banyak dianggap gagal dalam beberapa review yang sempat saya baca. Entahlah, saya belum menonton jadi saya tidak bisa menilai samasekali. Tapi setidaknya saya perlu tulis soal ini karena kalau kalian berniat mencari film ini, jangan tertukar antara film (2007) dengan serialnya (2017).

 

 

 

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film Horror, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat@yahoo.com