THE HILLS RUN RED
Sutradara: Dave Parker
USA (2009)
Review oleh Tremor
The Hills Run Red adalah sebuah film meta-slasher yang dirilis langsung ke format DVD (straight-to-video), disutradarai oleh Dave Parker dan ditulis oleh David J. Schow, yang sebelumnya pernah menulis beberapa karya horror seperti Leatherface: Texas Chainsaw Massacre III (1990) hingga The Crow (1994). Unsur meta-cinema dalam The Hills Run Red cukup terasa, di mana film ini mengisahkan sekelompok anak muda penggemar horror yang sedang membuat film dokumenter tentang sebuah film, yang untungnya tidak disajikan dengan gaya mockumentary atau found footage. Bagi kalian yang mungkin baru pertama kali mendengar istilah meta-cinema, bisa membaca penjelasan singkatnya dalam review Scare Package (2019) yang pernah saya tulis sebelumnya. The Hills Run Red juga menyuguhkan unsur homage bagi banyak film horror yang dianggap klasik. Meskipun tidak secara terang-terangan, kita bisa merasakan beberapa referensi dari mulai Psycho (1960), Deliverance (1972), The Texas Chainsaw Massacre (1974), The Blair Witch Project (1999), hingga yang paling jelas tentu saja semua seri franchise Friday the 13th dan Scream.
Menuliskan plot dari film meta seperti The Hills Run Red tentu berpotensi membingungkan pembacanya, karena saya akan menyebutkan film di dalam film, dimana keduanya memiliki judul yang sama. Tapi saya akan coba semampunya. Fokus utama film ini adalah tentang sebuah film horror tahun 1980-an yang dianggap sebagai film paling menakutkan yang pernah dibuat, dengan karakter pembunuh psikopat bertopeng bernama Babyface. Karena dianggap terlalu sadis, film ini langsung ditarik dari peredaran setelah pemutaran perdananya. Sejak saat itu, film ini bagaikan ditelan bumi: hilang dan tidak pernah ada satu copy pun yang berhasil ditemukan. Tak hanya filmnya, sutradaranya yang bernama Wilson Wyler Concannon pun ikut menghilang, dan tidak ada nama pemain serta crew-nya yang pernah terdengar lagi. Judul film tersebut adalah The Hills Run Red, dan statusnya kini menjadi urban legend: tidak ada yang tahu betul apakah film tersebut benar-benar pernah eksis atau tidak. Yang tersisa dari jejak keberadaan film ini hanyalah desain poster, trailer, serta beberapa klip wawancara dengan Concannon saja. Pada tahun 2008, The Hills Run Red memiliki reputasi obscure, dan para penggemar horror menganggap film ini sebagai holy grail-nya kultur horror.
Tyler adalah salah satu penggemar horror sekaligus mahasiswa perfilman yang sangat terobsesi untuk menemukan keberadaan film The Hills Run Red yang telah hilang selama 20 tahun tersebut, dan dia bersedia melakukan apa saja untuk bisa mendapatkannya, minimal menontonnya. Lewat berbagai usahanya, pencarian Tyler akhirnya membuahkan hasil. Ia berhasil mendapat kontak Alexa, satu-satunya putri sutradara Concannon yang kini bekerja sebagai stripper. Saat ia masih kecil, Alexa juga ikut tampil sebagai pemeran dalam trailer The Hills Run Red, dan ia merupakan satu-satunya missing link dari misteri film yang hilang tersebut. Setelah menemuinya, Tyler akhirnya berhasil meyakinkan Alexa untuk mau membantu menemukan film ayahnya yang hilang. Kemungkinan besar satu-satunya salinan beserta semua stok footage film tersebut tersimpan rapih di rumah mendiang Wilson Concannon di tengah hutan. Ini merupakan bonus besar bagi Tyler si horror nerd, karena rumah dan hutan tersebut merupakan lokasi tempat Concannon membuat film The Hills Run Red.
Dengan optimis dan penuh semangat Tyler pun berniat untuk pergi ke sana sambil mendokumentasikan seluruh perjalanannya. Ia meminta bantuan kekasihnya Serina, serta sahabatnya yang bernama Lalo untuk menjadi crew film dokumenternya. Bersama dengan Alexa, mereka berangkat menuju rumah ayah Alexa. Lalo yang sudah menonton terlalu banyak film horor, tahu betul bahwa pergi ke rumah kabin di tengah hutan bukanlah ide yang bagus karena itu merupakan skenario sempurna sekaligus klise dalam film backwoods horror. Sambil bergurau ia memprediksi bahwa sesampainya mereka di hutan nanti, mobil dan telepon genggam tidak akan berfungsi, dan tentu saja para redneck akan mencoba membantai mereka. Dan ia melakukan hal cerdas yang tidak pernah terpikirkan para anak muda dalam film horror: membawa pistol untuk berjaga-jaga. Tentu saja sebagian dari prediksi Lalo akan benar-benar terjadi. Tapi apa yang tidak mereka bayangkan sebelumnya adalah bahwa Babyface, bintang utama dari film The Hills Run Red rupanya benar-benar nyata dan akan menyambut kedatangan mereka di hutan. Pertemuan mengerikan dengan Babyface menjadi memontum penting bagi Tyler dan kawan-kawan, karena pada akhirnya mereka berhasil menemukan film-film buatan Wilson Wyler Concannon di dalam kabin, termasuk semua rahasia mengerikan di baliknya.
Dilihat dari premisnya, sebenarnya The Hills Run Red (film yang saya review, bukan film yang diburu oleh Tyler) memiliki potensi untuk menjadi film horror yang brilian. Sayang sekali ada banyak kelemahan dalam film ini yang membuatnya menjadi tidak begitu mengesankan. Diantaranya, film ini menghabiskan terlalu banyak durasi untuk hal-hal yang tidak penting. Salah satunya adalah sub-plot seputar perselingkuhan yang pada akhirnya sama sekali tidak menyumbangkan apapun pada keseluruhan plot. Ditambah lagi dengan sub-plot konyol saat Tyler membantu Alexa mengatasi kecanduann heroinnya. Sub-plot ini terasa sangat janggal, tidak penting, sama sekali tidak realistis, dan hampir merusak keseluruhan film. Satu-satunya hal yang menyelamatkan film ini mungkin adalah pengungkapan klimaks di babak ketiga, serta sosok Babyface itu sendiri. Menciptakan ikon horor pembunuh bertopeng dengan nama yang catchy dalam film horror pasti bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi sudah ada ratusan film slasher di dunia ini yang memiliki karakter pembunuh bertopengnya sendiri, masing-masing berusaha menonjolkan ciri khasnya sendiri dan berlomba-lomba mencuri perhatian para penggemar horror. Pada tahun 2017 kita mengenal ada satu karakter dengan nama Babyface yang mungkin saja lebih populer dari Babyface The Hills Run Red, yaitu dari film slasher Happy Death Day (2017). Meskipun Babyface The Hills Run Red tidak sepopuler pembunuh bertopeng slasher lainnya, tapi saya rasa ia sangat pantas untuk mendapatkan tempat di hati penggemar horror. Sosoknya bisa digambarkan seperti penggabungan antara kebrutalan Jason Voorhees yang dicampur dengan fisik dan perilaku mental terbelakang ala Leatherface. Poin menyeramkannya juga datang dari topeng yang ia kenakan: wajah boneka porselen yang sudah retak, dijahit langsung pada wajah cacatnya. Topeng Babyface sendiri mungin terinspirasi langsung dari video game horror survival berjudul Manhunt (2003), dimana terdapat geng kriminal yang menamakan diri The Babyfaces, menggunakan topeng dan berpenampilan mirip dengan Babyface dalam The Hills Run Red. Hal lain yang menyelamatkan film ini juga ada pada babak ketiga, klimaks hingga ending-nya yang cukup suram yang tentu tak bisa saya ceritakan di sini. Saya pribadi suka sekali dengan bagaimana film ini ditutup.
Dari apa yang saya baca, pada awalnya film ini direncanakan untuk dibuat cukup ekstrim. Sayangnya produser film ini kemudian memutuskan untuk membuat film yang lebih “jinak” dari yang direncanakan. Keputusan tersebut mengakibatkan adegan gore dalam The Hills Run Red terasa sangat kurang untuk ukuran genre slasher. Padahal adegan gore, death scene dan bodycount adalah hal yang paling dicari oleh penonton film slasher. Selain kurang dalam jumlah, adegan gore-nya juga bisa saya katakan kurang “berani”. Beberapa adegan malah menggunakan efek CGI yang kurang begitu bagus. Tapi kekurangan ini bisa dimaafkan karena penggunaan special effect tradisional yang realistis tentu membutuhkan bajet yang mungkin tidak dimiliki oleh para pembuat film ini. Keputusan lain yang sangat disayangkan juga ada pada dihilangkannya satu scene bengis namun penting untuk plot film ini, yaitu adegan Babyface memperkosa salah satu korbannya. Saya jelas tidak mendukung perkosaan, tapi dengan dihilangkannya adegan tersebut membuat adegan penutup pada bagian mid-credits scene The Hills Run Red membingungkan penonton.
Di sisi meta-slasher-nya, The Hills Run Red memiliki pemahaman yang cukup seputar tradisi dan hal-hal klise genre slasher sambil mencoba untuk melanggarnya, meskipun tentu tidak sebrilian apa yang dilakukan oleh Scream (1996). Contohnya, mobil mereka tetap berfungsi, dan ponsel mereka tetap mendapat sinyal meskipun menelpon 911 dari tengah hutan ternyata tidak banyak membantu. Para karakter anak muda dalam film ini juga lumayan cerdas kalau dibandingkan dengan kebanyakan film slasher lainnya. Kita juga bisa melihat sindiran halus terhadap perkembangan horror modern dalam babak ketiga The Hills Run Red, yaitu soal bagaimana generasi baru pembuat film lebih tertarik dengan torture porn sederhana, sementara generasi yang lebih tua lebih tertarik pada gore yang lebih meneror dan lebih peduli dengan bagaimana cara menangkap emosi. Tapi di luar semua kekurangannya, The Hills Run Red tetaplah film yang menyenangkan untuk ditonton, terutama bagi kalian penggemar film slasher yang mempunyai waktu ekstra. Kalau kalian berharap The Hills Run Red sebagai film yang fantastis, maka bersiaplah kecewa. Tapi untuk ukuran film straight-to-video, film ini lumayan solid. Setidaknya sosok pembunuh bertopengnya cukup keren, babak ketiga serta endingnya lumayan mengesankan, ditambah dengan unsur meta sebagai bonusnya. Penonton hanya perlu mengabaikan semua plot-hole dan sub-plot yang tak penting, dan nikmati saja film ini hingga mencapai klimaksnya.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com