fbpx

MOVIE REVIEW: THE FINAL GIRLS (2015)

THE FINAL GIRLS
Sutradara:
Todd Strauss-Schulson
USA (2015)

Review oleh Tremor

Meskipun selalu menggunakan formula klise yang sama, slasher telah menjadi salah satu sub-genre horror yang sangat populer sejak kemunculannya di akhir 70-an. Formula-formula klise dalam film slasher inilah yang kemudian dipermainkan dalam film-film meta-horror yang seingat saya pertama dipopulerkan oleh film Scream (1996) karya sineas horor Wes Craven. Pada dekade berikutnya, film-film meta-horror yang bermain-main dengan formula klise slasher klasik semakin bermunculan dari mulai Behind the Mask: The Rise of Leslie Vernon (2006) hingga yang paling jenius adalah The Cabin in the Woods (2011) yang menggunakan banyak sekali stereotip horor secara umum, termasuk slasher. Bagi kalian yang mungkin baru pertama kali mendengar istilah meta-horor, bisa membaca penjelasan singkatnya dalam review film Scare Package (2019) yang pernah saya tulis beberapa bulan yang lalu. Menurut saya film-film meta-slasher adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap sub-genre slasher itu sendiri, yang hanya bisa dibuat sekaligus dipahami oleh mereka yang benar-benar mencintai genre tersebut. The Final Girls sendiri adalah film komedi meta-slasher sekaligus spoof yang cukup menyenangkan untuk ditonton, debut dari sutradara Todd Strauss-Schulson, ditulis oleh M.A. Fortin yang berkolaborasi dengan Joshua John Miller. Miller bukan orang asing dalam industri horor. Ia adalah anak dari Jason Miller, aktor yang memerankan Father Karras dalam The Exorcist (1973). Pada saat masih kecil, John Miller juga pernah berperan dalam film Halloween III: Season of the Witch (1982) dan Near Dark (1987). Kembali ke The Final Girls, film ini melompat-lompat antara komedi, meta, horor, tribute, dan juga drama emosional tentang rasa kehilangan. Sebagai film meta sekaligus spoof, The Final Girls memang banyak bermain-main dengan formula klasik slasher 80-an, dengan unsur tribute yang paling mencolok adalah film Friday the 13th Part 2 (1981) dan The Burning (1981). Perlu dicatat bahwa pada tahun yang sama, 2015, dirilis satu film horor lain berjudul hampir mirip: Final Girl tanpa “the” di depan dan “s” di belakang. Meskipun judulnya sangat mirip, tetapi Final Girl adalah film yang sama sekali berbeda dengan The Final Girls.

Saya rasa para penggemar horor seharusnya sudah paham soal istilah Final Girl. Tapi mungkin saya perlu memaparkannya sedikit bagi mereka yang tidak tahu. Final Girl adalah istilah yang mengacu pada protagonis perempuan dalam film thriller dan horor (terutama slasher) yang kemudian berhasil bertahan hidup hingga akhir film sebagai satu-satunya survivor. Karakter final girl populer di antaranya adalah Ellen Ripley (franchise Alien), Laurie Strode (franchise Halloween), Nancy Thompson (A Nightmare on Elm Street), hingga Sidney Prescott (franchise Scream). Istilah ini dicetuskan oleh profesor perfilman Carol J. Clover dalam bukunya “Men, Women and Chainsaws: Gender in the Modern Horror Film” (1992). Jadi, jauh sebelum Clover menciptakan istilah tersebut, kehadiran final girl sudah menjadi satu dari beberapa formula klise sebuah film slasher.

Sekarang mari kita bahas plotnya sedikit. Amanda Cartwright adalah seorang aktris mantan scream-queen yang sebelumnya banyak bermain dalam film-film horor kelas B klasik. Salah satunya adalah sebuah film slasher cheesy berjudul Camp Bloodbath yang merupakan film terakhirnya. Namun ia bukanlah aktris populer. Namanya hanya dikenal di kalangan horror nerd saja, karena dalam dunia The Final Girls, film Camp Bloodbath adalah film slasher legendaris sekelas Friday The 13th. Dua puluh tahun setelah Camp Bloodbath dirilis, kini Amanda sedang berjuang mencari pekerjaan untuk menghidupi anak satu-satunya, seorang gadis remaja bernama Max yang sangat ia cintai. Setelah kita melihat chemistry manis antara ibu dan anak ini, keduanya mengalami kecelakaan mobil dan Amanda pun meninggal dalam insiden tersebut. Tiga tahun kemudian, Max belum benar-benar sembuh dari duka dan rasa kehilangannya. Salah satu sahabat Max bernama Duncan adalah seorang horror nerd sejati. Duncan berencana membuat pemutaran double feature film Camp Bloodbath dan sekuelnya yang berjudul Camp Bloodbath 2: Cruel Summer. Duncan pun memohon Max untuk mau hadir di sana karena Max adalah anak dari scream queen pujaan para horror nerd. Akhirnya Max terpaksa menyanggupi undangan itu setelah Duncan berjanji akan mengerjakan semua tugas kuliah Max. Ia pun datang bersama sahabatnya Gertie, Chris dan Vicki. Karena keteledoran beberapa penonton, tiba-tiba terjadi kebakaran di dalam ruangan teater saat film sedang diputar. Max, Chris, Gertie, Duncan, and Vicki segera berusaha menyelamatkan diri dengan cara merobek layar bioskop dan masuk ke balik layar. Tiba-tiba mereka terbangun di tengah hutan berwarna-warni cerah ala technicolor 80-an dan segera berjumpa dengan beberapa karakter dari film Camp Bloodbath, termasuk Nancy, karakter yang diperankan oleh ibu Max sang scream queen. Duncan yang sudah hafal betul dengan plot dan semua dialog dalam Camp Bloodbath segera menyadari bahwa mereka berlima terperangkap di dalam film Camp Bloodbath. Kini mereka harus berusaha untuk tetap bertahan hidup hingga film Camp Bloodbath selesai. Namun kehadiran Max beserta kawan-kawannya dalam film Camp Bloodbath membuat plot film slasher itu terganggu. Apalagi Max terus berusaha untuk menyelamatkan Nancy, perempuan yang secara fisik ia kenal sebagai ibunya agar tidak terbunuh. Padahal mereka tahu bahwa Nancy bukanlah final girl dan tetap akan mati pada waktunya. Jadi semakin Max berusaha menyelamatkan Nancy, struktur slasher Camp Bloodbath akan semakin rusak, dan dengan begitu mungkin mereka tidak akan bisa kembali ke dunia nyata. Max hanya tidak siap melihat Nancy mati, karena baginya itu sama saja dengan melihat ibunya mati untuk kedua kalinya.

The Final Girls jelas dibuat oleh para pecinta slasher, untuk pecinta slasher. Mirip dengan gagasan komedi meta satir The Cabin in the Woods (2011), film The Final Girls sepenuhnya menyadari bahwa dirinya adalah film horor, dan bermain dengan semua stereotip slasher untuk memproduksi momen-momen komedi yang menyegarkan dan tidak norak. Film ini juga sangat terasa sebagai tribute bagi film-film slasher berlatar perkemahan musim panas 80-an seperti Friday the 13th, The Burning (1981) hingga Sleepaway Camp (1983). Bahkan sejak awal film, kita bisa mendengar efek suara berbunyi desahan “ki-ki-ki-ma-ma-ma” yang jelas-jelas adalah score Jason Voorhees dari franchise Friday the 13th. Pembunuh bertopeng bersenjata parang dalam Camp Bloodbath bernama Billy Murphy, yang tidak hanya berpenampilan sangat mirip Jason Voorhees, tetapi juga memiliki kisah latar menyedihkan yang memberinya motivasi untuk terus membalas dendam. Arc yang sama bisa kita temui dalam karakter Jason Voorhees (Friday the 13th) dan Cropsy (The Burning). Semua stereotip karakter remaja calon korban khas slasher pun hadir dalam film Camp Bloodbath, dari mulai remaja macho yang tolol dan ultra menyebalkan, gadis genit, gadis polos, pria berkulit hitam, dan satu perempuan tangguh yang seharusnya menjadi final girl. Apa yang menyenangkan dari film The Final Girls adalah, Max dan teman-temannya menyadari betul bahwa mereka terjebak dalam film horor, dan harus bertahan hidup dengan semua pengetahuan mereka tentang peraturan-peraturan film slasher. Ini menjadikan Max dkk sebagai remaja-remaja cerdas dan tidak pernah melakukan keputusan-keputusan bodoh seperti yang umumnya dilakukan oleh para karakter di dalam film slasher. Max dan teman-temannya bersama-sama mendobrak stereotip khas slasher tentang karakter remaja. Unsur meta lain dalam film ini tidak hanya berfokus pada peran sang final girl saja, tetapi lebih jauh dari itu dengan penggunaan flashback hingga slow-motion sebagai alat untuk bertahan hidup.

Namun sayang bagi para penggemar slasher yang haus akan adegan-adegan sadis berlebihan, The Final Girls pada dasarnya adalah film komedi dengan rating PG13, yang artinya tidak ada adegan gore di dalamnya. Meskipun bodycount-nya tinggi, tapi semua adegan kekerasan dalam film ini dieksekusi tanpa memperlihatkan terlalu banyak darah. Saya paham bahwa ini adalah film komedi dengan konsep cerdas yang tidak berfokus pada adegan gore ala slasher. Tetapi sebagai sebuah proyek tribute / spoof slasher 80-an, rasanya akan lebih tepat kalau penonton juga bisa melihat pembunuhan-pembunuhan kreatif over-the-top yang dikerjakan menggunakan special effect tradisional ala slasher 80-an. Toh kill scenes sadis tetap bisa diolah menjadi komedi seperti yang pernah dilakukan oleh film Tucker & Dale vs. Evil (2010) contohnya. Namun bagaimanapun, poin-poin bagus dari film ini jauh melampaui semua kekurangannya. The Final Girls adalah film tribute yang menyenangkan sekaligus sebuah komedi horor yang solid bahkan ketika ada unsur emosional di dalamnya, terutama soal hubungan antara ibu / anak dan rasa kehilangan. Film ini juga ditutup dengan sangat menyenangkan dan exciting. Saya sangat mengapresiasi sutradara Todd Strauss-Schulson serta tim penulis M.A. Fortin dan Joshua John Miller karena mereka benar-benar melakukan pekerjaan yang mengesankan dalam The Final Girls.