PEARL
Sutradara: Ti West
USA (2022)
Review oleh Tremor
Tahun 2022 adalah tahun yang sibuk bagi penulis / sutradara Ti West. Pada bulan Maret ia merilis sebuah film backwoods slasher berjudul X yang sudah saya tulis reviewnya minggu lalu. Dalam film tersebut aktris Mia Goth mempersembahkan bukan hanya satu, tapi dua penampilan fenomenal di mana ia berperan sebagai Maxine si final girl sekaligus Pearl sang villain. Beberapa bulan setelah X dirilis, Ti West mengumumkan kalau ia dan Mia Goth secara diam-diam telah merampungkan penulisan hingga shooting sebuah film prekuel yang mereka kerjakan di waktu yang bersamaan dengan proses produksi X. Tentu saja pengumuman tentang prekuel yang berjudul Pearl ini menjadi kejutan yang disambut dengan penuh antusias oleh para penggemar horror, karena para penonton X tahu betul siapa Pearl yang dimaksud. Film Pearl mungkin adalah proyek prekuel yang dirilis paling cepat sepanjang masa, hanya berbeda beberapa bulan saja sejak film utamanya dirilis. Hebatnya, film Pearl sama sekali tidak terasa dipaksakan atau terburu-buru. Dalam Pearl, penulis / sutradara Ti West kembali berkolaborasi dengan aktris Mia Goth yang lagi-lagi bekerja secara maksimal dengan “peran” gandanya. Peran Goth yang pertama adalah sebagai aktor yang memerankan karakter Pearl versi muda, sementara peran keduanya ada di belakang layar dengan ikut terlibat menulis sekaligus memproduseri film ini. Film Pearl sendiri adalah kisah origin sederhana dengan suntikan dark comedy yang memilukan serta pembunuhan gore yang cukup, sekaligus sebuah studi karakter dari seseorang yang sudah kita kenal terlebih dahulu lewat film X. Kita pertama kali berkenalan dengan karakter Pearl dalam film X sebagai seorang nenek-nenek yang melampiaskan kepahitan hati, frustrasi dan amarahnya pada anak-anak muda yang memiliki kehidupan yang selalu ia dambakan. Tapi di luar semua itu, kita tidak tahu terlalu banyak tentang Pearl. Kita hanya melihatnya sebagai monster menyedihkan yang dikuasai iri hati dan kegilaan. Prekuel ini memberi kita kesempatan untuk melihat lebih jauh tentang apa yang pernah ia lewati di masa mudanya yang berperan cukup penting dalam pembentukan karakter Pearl hingga ia lanjut usia.
Meskipun sudah memperlihatkan kecenderungan psikopatik sejak dini, tapi Pearl muda adalah karakter yang sama sekali berbeda dengan Pearl dalam X. Film ini membawa kita ke tahun 1918, di mana Pearl muda tinggal di sebuah rumah pertanian di pelosok Texas yang terpencil. Ini adalah rumah yang sama dengan rumah yang kita lihat di film X. Di rumah ini Pearl tinggal bersama ibunya yang keras dan kolot bernama Ruth. Mereka berdua harus merawat ayah Pearl yang lumpuh akibat terpapar flu Spanyol yang pada saat itu sedang mewabah. Sebenarnya Pearl sudah menikah. Suaminya, Howard, sudah lama meninggalkan rumah untuk pergi berperang di Perang Dunia II dan tidak pernah mengirimkan kabar. Tidak ada yang bisa memastikan apakah Howard masih hidup atau tidak. Meskipun dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya dengan banyak tanggung jawab besar, Pearl si gadis desa tetap memiliki mimpi besar seperti gadis belia pada umumnya. Ia bermimpi untuk meninggalkan rumah pertanian orangtuanya dan menjadi bintang panggung seperti perempuan-perempuan muda yang ia lihat berdansa di bioskop. Diam-diam ia juga sering berdansa sendirian di dalam kamar ataupun di kandang ternaknya, sambil membayangkan bahwa suatu hari ia akan menjadi bintang besar. Pearl sangat yakin dengan bakatnya. Namun, ibunya jelas tidak setuju dengan mimpi Pearl. Ruth mencemooh, merendahkan, menyepelekan mimpi-mimpi Pearl dengan kejam, dan secara tegas mengingatkan bahwa tugas Pearl hanyalah untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan di peternakan sambil merawat ayahnya. Pearl meyimpan kekecewaan dan kebencian besar pada ibunya. Namun mimpinya tidak akan pernah padam meskipun Ruth tidak mendukungnya. Setiap ada kesempatan, Pearl diam-diam pergi ke bioskop untuk menonton tari-tarian di layar lebar, hingga suatu hari ia berkenalan dengan seorang operator proyektor yang bekerja di bioskop tersebut. Pria ini jelas menyukai Pearl dan mengundangnya untuk menonton film-film secara gratis lewat ruang proyektor. Dalam pertemuan berikutnya, sang projectionist mendengarkan Pearl bercerita tentang mimpi-mimpinya. Pria itu pun menyemangati Pearl, mengatakan bahwa mimpi-mimpi Pearl akan tercapai kalau Pearl benar-benar menginginkannya. Masa muda hanya terjadi satu kali, dan keputusan besar harus diambil sebelum kesempatannya lewat. Suatu hari, adik ipar Pearl yang bernama Mitsy berkunjung ke peternakan. Ia mengajak Pearl menemaninya ikut audisi pertunjukan yang akan diadakan di kota terdekat. Dengan penuh antusias Pearl melihat kesempatan ini dengan harapan besar bahwa mimpinya akan segera terwujud. Fantasi Pearl tentang ketenaran meyakinkan dirinya bahwa ia akan segera meninggalkan rumah pertanian yang sangat ia benci dan menjadi entertainer sukses yang berkeliling panggung hiburan di seluruh dunia. Namun para penonton film X tentu sudah tahu bahwa hal tersebut tidak akan pernah terjadi.
Bagi saya, Pearl adalah film yang jauh lebih bagus dibandingkan X. Tapi saya rasa film ini tidak akan sebegitu bagusnya kalau bukan karena Mia Goth. Peran Mia Goth sebagai co-writer terbukti merupakan kontribusi penting yang paling menentukan keberhasilan film ini. Goth sepertinya tahu betul tentang karakter Pearl yang pernah ia perankan dalam X. Luar biasanya, ini adalah pertama kalinya Mia Goth menulis naskah. Selain terlibat dalam penulisan, penampilan Mia Goth sebagai aktor juga sangat fantastis. Pada awal film, Pearl sudah menunjukkan tanda-tanda sociopath yang cukup parah. Tapi Pearl juga menunjukkan sifat-sifat dasarnya sebagai manusia biasa, dari mulai kekecewaan, penyesalan, insecurity, dendam, hingga mempertanyakan apakah ada yang salah dengan dirinya. Di balik ketidakstabilan mentalnya, Pearl hanya ingin dicintai dan mengejar mimpinya. Itu adalah satu dari banyak hal yang ia ungkapkan dalam salah satu adegan paling membekas di film ini, yaitu saat Pearl mencurahkan isi hatinya pada adik iparnya. Ini adalah adegan monolog yang sangat kuat, emosional dan memilukan, berdurasi lumayan panjang dan nyaris tanpa cut dengan delivery yang luar biasa dari Mia Goth. Kamera terus menyorot wajahnya, dengan air mata yang membasahi pipinya saat ia mengungkapkan harapan hingga kekecewaannya, sambil mengekspos kegilaannya secara tidak langsung. Para penonton yang mendengarkan monolog ini dengan sungguh-sungguh pasti akan merasa iba sekaligus takut. Saya pribadi sampai mengulang adegan ini hingga dua kali hanya untuk melihat lagi betapa berbakatnya Mia Goth dalam seni peran. Ia mampu menerjemahkan semua emosi keluar dari dirinya dengan sangat baik hanya dalam satu adegan berdurasi beberapa menit saja. Caranya menuturkan perasaan Pearl benar-benar menghipnotis. Kalau saja film bergenre horror bisa dilirik oleh ajang penghargaan sekelas Academy Awards, Mia Goth jelas sangat layak untuk masuk dalam nominasi aktris terbaik hanya dari adegan ini saja.
Sepertinya Ti West memang gemar memoles visual dan atmosfer filmnya dengan gaya yang membuat penonton merasa sedang menonton film yang jauh lebih tua. Contohnya adalah yang ia lakukan pada The House of the Devil (2009) yang terlihat seperti film horor awal 70-an otentik. Demikian juga dengan Pearl yang terasa seperti produk dari masa yang jauh lebih tua. Dalam Pearl, Ti West menggunakan palet warna bergaya technicolor, lengkap dengan estetika dan vibe agak-agak ke-Disney-an terutama pada awal film ini di mana kita bisa melihat Pearl si gadis desa menari-nari dan berinteraksi dengan hewan-hewan ternaknya, diiringi musik latar yang dream-like seakan-akan ia adalah calon Disney Princess selanjutnya. Technicolor sendiri adalah istilah yang menggambarkan serangkaian proses teknis rumit pewarnaan film yang mulai dikembangkan sejak tahun 1916, dan kemudian menjadi gebrakan besar dalam perfilman di tahun 30-40-an. Referensi visual technicolor terbesar bagi West untuk film Pearl sepertinya adalah Wizard of Oz (1939) yang sangat kuat unsur technicolor-nya di mana warna-warna cerah menyala digunakan untuk menghasilkan efek yang terkesan jauh dari realitas. Film Wizard of Oz sendiri dibuka dengan sequence di mana karakter protagonisnya, Dorothy, hidup di dunia nyata. Keseluruhan sequence ini berwarna agak sephia. Namun ketika Dorothy mulai masuk ke dunia Oz, visual film tersebut mulai dibanjiri dengan warna-warni cerah. Tepat itulah yang dilakukan oleh Ti West untuk visual film Pearl, lengkap dengan ekspresi-ekspresi wajah Mia Goth yang sepertinya sengaja dibuat berlebihan layaknya aktor-aktor dalam film tahun 30-an.
Film Pearl juga memiliki banyak adegan gore dengan special effect yang sangat baik. Namun bukan adegan pembunuhan-pembunuhan ini yang membuat film Pearl begitu menonjol, melainkan penulisan karakterisasi Pearl yang begitu kompleks sekaligus menyentuh. Apa yang paling luar biasa dari karakter Pearl muda bukanlah ketidakmanusiawian-nya, melainkan justru sisi manusiawinya. Jadi kalaupun adegan-adegan gore dihilangkan dari film ini, Pearl masih akan menjadi film yang sangat menarik untuk disimak. Tanpa film ini, X hanyalah film slasher standar. Tanpa film ini, karakter Pearl versi tua tidak akan terasa sebegitu ikonik. Film Pearl benar-benar mengubah cara kita memandang karakter Pearl dalam X, dengan cara membuat kisah hidupnya jauh lebih menyedihkan. Dalam X, penonton mungkin bisa saja merasa simpati pada karakter Pearl tua. Tapi dalam film Pearl, perasaan penonton bisa mencapai level empati. Setiap kali Pearl muda dengan penuh antusias mengatakan bahwa ia tidak sabar untuk segera pergi meninggalkan rumah pertaniannya, para penonton film X bisa merasa iba karena tahu betul bahwa Pearl tidak akan pernah meninggalkan rumah itu. Lalu, apakah film ini bisa ditonton tanpa harus menonton X terlebih dahulu? Tentu saja bisa. Tapi sebuah film prekuel pastinya dirancang untuk memiliki konteks, foreshadow, hingga easter egg yang baru bisa kita apresiasi kalau sudah menonton film utamanya terlebih dahulu. Dan kalau urutan menontonnya dibalik, pengalaman seperti itu tetap tidak akan terasa dampaknya. Setelah menonton Pearl, saya semakin tidak sabar menunggu film penutup dari trilogi X ini dirilis, berjudul Maxxxine. Dilihat dari judulnya, sudah bisa dipastikan kalau film tersebut akan berfokus pada pengembangan karakter final girl Maxine setelah ia berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian di rumah peternakan Pearl di film X.