MOVIE REVIEW: NIGHTMARE DETECTIVE / AKUMU TANTEI (2006)

NIGHTMARE DETECTIVE / AKUMU TANTEI
Sutradara: Shin’ya Tsukamoto
Jepang (2006)

Review oleh Tremor

Sejak merilis film body horror yang berjudul Tetsuo: The Iron Man (1989), nama Shin’ya Tsukamoto mulai dikenal sebagai salah satu sutradara yang berpengaruh dalam sinema Jepang. Keberhasilan Tetsuo: The Iron Man sendiri menjadi pembuka jalan dan menginspirasi banyak sutradara Jepang lainnya untuk menciptakan film-film yang tidak konvensional. Nightmare Detective yang dalam bahasa aslinya berjudul “Akumu tantei” ini adalah karya Shin’ya Tsukamoto yang jauh lebih modern. Film ini memadukan thriller detektif dengan horror supranatural untuk mengeksplorasi tentang dunia mimpi, kematian dan fenomena bunuh diri di Jepang. Dalam film ini Tsukamoto tidak hanya mengambil tugas sebagai sutradara, tetapi juga penulis, produser, cinematographer, editor, production designer, sekaligus ikut berperan bukan sekedar menjadi kameo, tetapi sebagai antagonis utamanya. Para penggemar fanatik Tsukamoto sempat cukup kecewa dengan Nightmare Detective karena film ini dianggap terlalu mainstream untuk ukuran seorang Shin’ya Tsukamoto, terutama karena Tsukamoto sempat memasukan beberapa elemen J-horror yang memang sedang naik daun ketika film ini dirilis. Namun untuk ukuran sebuah film J-Horror mainstream sekalipun, Nightmare Detective tetap terasa sebagai film horor yang tidak biasa. Sebaliknya, Nightmare Detective bisa dibilang cukup berhasil dari segi komersial, yang kemudian mendorong dirilisnya sekuel pada tahun 2008.

Seorang detektif bernama Keiko Kirishima menjadi bagian dari tim polisi yang menginvestigasi dua kasus kematian yang mengerikan. Kedua jenazah dari kejadian dan lokasi yang berbeda ini terlihat seperti bunuh diri dengan cara yang menyakitkan, yaitu menyayat dan menikami tubuhnya sendiri hingga bersimbah darah. Keduanya memiliki kesamaan, yaitu meninggal dengan ponsel di genggaman tangan mereka. Para saksi dari dua kejadian tersebut juga memberi kesaksian yang mirip, bahwa terdengar teriakan dan permintaan tolong seakan korban sangat ketakutan sebelum melukai dirinya sendiri. Kepala detektif Ishida segera menyimpulkan bahwa ini adalah kasus bunuh diri. Namun Keiko dan rekannya Wakayama yakin bahwa kedua insiden tersebut adalah kasus pembunuhan, terutama karena panggilan terakhir pada ponsel kedua korban sama-sama menampilkan nama “0”. Setelah menyelidiki lebih jauh, terdapat indikasi bahwa penyebab kematian mereka mungkin berkaitan dengan mimpi buruk dan hal supranatural. Ini membuat Keiko menghubungi seorang pemuda bernama Kyoichi yang dikenal memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi orang. Namun Kyoichi yang tidak pernah suka dengan kemampuannya tersebut tidak ingin membantu. Ia selalu tersiksa dan nyawanya terancam setiap kali dipaksa memasuki mimpi orang lain. Setelah Kyoichi menolak membantu, Keiko dan Wakayama pun memutuskan akan menghubungi penelpon misterius “0” sendiri untuk memancingnya keluar dari persembunyian, meskipun Kyoichi sempat melarang mereka melakukan hal tersebut. Setelah melakukan panggilan telepon pada “0”, kini Keiko dan Wakayama harus menghadapi seorang psikopat berbahaya yang tidak dapat mereka lihat. Nyawa mereka berdua sangat terancam dan mengikuti pola sebelumnya, tentu akan segera dibunuh lewat mimpi. Mereka akan berakhir secara mengenaskan seakan melakukan aksi bunuh diri, kecuali Kyoichi sang “detektif mimpi buruk” berkenan membantu mereka.

Saya pribadi selalu suka dengan cerita-cerita yang berkaitan dengan penjelajahan dunia mimpi serta alam bawah sadar, jadi Nightmare Detective dengan mudah mencuri perhatian saya sejak babak pertamanya. Konsep film horor tentang mimpi buruk yang menembus batas dunia nyata tentu bukanlah hal baru. Sekilas konsep ini mengingatkan kita pada A Nightmare on Elm Street (1984) dengan Freddy Kruegernya yang bisa membunuh lewat mimpi buruk. Namun Shinya Tsukamoto membawa konsep ini ke tingkatan yang berbeda, pendekatan yang sedikit nihilistik, serta penggambaran mimpi buruk dengan ciri khasnya sendiri. Apa yang membuatnya berbeda juga ada pada penggabungan antara konsep supranatural (pembunuhan dalam mimpi) dengan genre thriller misteri / detektif ala Seven (1995). Namun, kalau ditelaah lebih jauh, kisah dalam Nightmare Detective sebenarnya jauh lebih dalam dari sekedar kisah supranatural / pembunuh psikopat / detektif biasa. Penulis / sutradara Shinya Tsukamoto dengan cekatan dan teliti mengangkat tema besar tentang trauma, ketidakbahagiaan, dan depresi yang dialami oleh penduduk kota modern di Jepang. Bagi sebagian besar karakter dalam film ini, dunia nyata adalah tempat yang gelap, dingin, menyengsarakan dan suram. Trauma dan kejadian-kejadian yang menyakitkan di masa lalu adalah benang merah dari depresi yang dirasakan oleh banyak karakter dalam Nightmare Detective. Kehidupan nyata adalah mimpi buruk yang ingin mereka hindari dan pada akhirnya mereka memikirkan opsi bunuh diri sebagai jalan terakhir untuk menyudahi semua rasa sakit yang mereka rasakan sejak kecil. Ketika film ini memasuki babak ketiga, kita ikut menyaksikan bagaimana ingatan Kyoichi dan juga sang pembunuh dalam mimpi, 0, adalah tentang kejadian traumatik di masa kecil yang meninggalkan luka batin. Itu yang menyebabkan mengapa mereka begitu suicidal. Lalu pada adegan lain, kita juga bisa mendengar suara hati putus asa dari banyak penduduk Tokyo yang sedang beraktivitas dalam kesehariannya, mengutuk hidup mereka dengan masalah yang berbeda-beda. Jadi, saya pikir Shinya Tsukamoto mencoba mengangkat tentang betapa depresifnya kehidupan modern di Jepang, yang mungkin berkontribusi dalam tingginya tingkat bunuh di Jepang. Dengan tema semacam ini, Nightmare Detective menjadi film yang sangat gelap.

Sebagai sebuah film horor yang mengandung adegan-adegan berdarah, Nightmare Detective bisa dibilang tidak terlalu gore meskipun pembunuhan-pembunuhannya terlihat cukup menyakitkan. Mungkin yang paling menyakitkan adalah adegan menikam dan melukai diri sendiri dengan brutal dalam tidur mereka menggunakan cutter ketika “0” menyerang seseorang lewat mimpi buruk. Apa yang paling saya suka dari film yang seringkali terasa sureal ini adalah Tsukamoto menolak untuk bergantung pada CGI kecuali benar-benar diperlukan. Karena keputusan bijaksana ini, kita bisa melihat bagaimana mengagumkannya special effect tradisional dari mulai makeup special effect hingga penggunaan animatronik dalam adegan-adegan mimpi buruk yang menyeramkan ala J-horror. Dalam babak terakhirnya, ketiga karakter utama Nightmare Detective akhirnya berkonfrontasi lewat jaringan mimpi buruk dan alam bawah sadar, dan bagian ini juga cukup memuaskan bagi saya. Pada akhirnya kita menyadari bahwa “0” adalah seseorang dengan kemampuan supranatural yang sama dengan Kyoichi sang detektif mimpi buruk, namun ia menggunakan kemampuannya dengan cara yang sangat berbeda karena 0 memandang hidup dengan sudut pandang yang juga berbeda. Kemampuan acting ketiga karakter utama film ini cukup bagus, tapi adalah Shin’ya Tsukamoto sang sutradara sendiri yang berperan paling meyakinkan dari semuanya. Tsukamoto bukan pendatang baru dalam dunia acting karena ia memang berlatar belakang sebagai seorang aktor. Jadi, tidak heran kalau Tsukamoto memerankan karakter pembunuh psikopat dalam mimpi, “0”, dengan sangat baik. Belum lagi ketika ia menuturkan setiap kata-kata manipulatif secara perlahan lewat panggilan telepon ketika mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri, rasanya begitu mengerikan sekaligus jujur. Tentu saja Nightmare Detective bukanlah film yang sempurna, terlebih dari sisi plot prosedural polisinya yang memiliki banyak keganjilan. Namun secara keseluruhan film ini tetaplah sebuah hiburan yang solid, dalam, surealis dan sederhana.