KAIRO / PULSE
Sutradara: Kiyoshi Kurosawa
Jepang (2001)
Review oleh Tremor
Akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an adalah masa kejayaan film-film horor supranatural Jepang (biasa disebut J-horror) yang ditandai lewat booming-nya film Ringu (1998) secara internasional. Kairo, yang memiliki judul internasional Pulse, adalah salah satu film yang lahir di masa tersebut dan cukup diperhitungkan untuk bersanding dengan Ringu dan Ju-On. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Kiyoshi Kurosawa, seorang sutradara Jepang yang sebelumnya banyak bereksplorasi dalam berbagai genre film, dari mulai drama psikologis, dark comedy, hingga crime fiction dengan unsur horor berjudul Cure (1997) yang cukup fenomenal. Kairo sendiri menggunakan konsep horor supernatural yang berkaitan dengan teknologi modern, atau yang biasa disebut sebagai techno-horror. Sebagai sebuah sub-genre, techno-horror bukanlah hal baru dalam dunia horor. Beberapa film yang termasuk film techno-horror diantaranya Poltergeist (1982), Videodrome (1983), Ringu (1998), hingga yang terbaru adalah M3GAN (2022). Teknologi modern yang menjadi fokus dalam Kairo adalah jaringan internet. Perlu dicatat pada saat film Kairo dibuat, internet adalah media yang relatif masih sangat baru dan asing bagi masyarakat umum. Dalam film ini, Kurosawa mencoba menyisipkan sedikit kecemasannya seputar masalah relasi sosial yang bisa saja muncul dengan kehadiran internet lewat sebuah kisah hantu yang tidak biasa dan sama sekali berbeda dari film hantu pada umumnya, yang akan saya bahas lebih banyak nanti. Mungkin uniknya Kurosawa menuturkan kisah hantu yang tidak konvensional inilah yang membuat Kairo cukup diperhitungkan sebagai J-horror klasik, hingga tak luput dari incaran Hollywood yang pada masa itu begitu bersemangat membuat remake dari beberapa J-horror sukses. Pesan saya, jangan menonton versi remake-nya.
Pada dasarnya ada dua kisah yang berjalan secara paralel yang nantinya akan saling bersinggungan dalam Kairo. Kisah pertama berfokus pada seorang perempuan muda bernama Michi yang bekerja di toko tanaman. Setelah beberapa hari tidak mendengar kabar dari salah satu rekan kerjanya, Taguchi, ia memutuskan untuk mengunjunginya dan menemukan Taguchi telah meninggal gantung diri. Di dalam apartemen Taguchi, ia menemukan disket berisikan video ganjil yang menyeramkan. Setelah kejadian aneh pertama ini, satu persatu teman Michi juga mulai bertindak ganjil dan menghilang satu persatu. Kisah kedua berpusat pada seorang mahasiswa bernama Ryosuke yang gaptek. Karena internet baru mulai populer, Ryosuke tak ingin ketinggalan. Dengan susah payah ia mencoba menghubungkan komputernya ke jaringan internet. Tiba-tiba layar komputernya menampilkan teks yang bertuliskan “Apakah anda ingin melihat hantu?”, disusul dengan munculnya gambar-gambar seram berisikan orang-orang yang sedang sendirian di ruangan mereka masing-masing. Ryosuke ketakutan dan mencoba bertanya pada para mahasiswa di fakultas ilmu komputer di kampusnya. Di sana ia berkenalan dengan Harue, yang rupanya juga penasaran dengan fenomena aneh berkaitan dengan hadirnya internet. Mulai dari situ Ryosuke dan Michi melihat perilaku orang-orang semakin aneh. Secara perlahan satu persatu orang menghilang, seringkali karena bunuh diri, hingga membuat kota metropolitan Tokyo semakin kosong.
Ide dasar elemen supranatural dalam Kairo adalah hantu memasuki dunia kita lewat jaringan internet. Namun sebenarnya kisah dalam Kairo tidak sesederhana itu. Seperti sebelumnya sudah saya tulis, Kairo adalah kisah hantu yang tidak biasa. Film ini lebih memfokuskan diri pada story-telling dan tidak terlalu berfokus pada adegan-adegan kemunculan hantu mengerikan, jump scare, atau satu karakter entitas hantu tertentu sebagai villain-nya seperti yang Ju-On atau Ringu lakukan. Kairo adalah kisah hantu yang sangat kuat dengan mood yang melankolis dan atmosfer yang meresahkan. Saya bisa bilang Kairo adalah film yang cukup depresif. Kisah menyeramkan dalam Kairo berkaitan erat dengan tema-tema menyedihkan dan gelap dari mulai tema kematian, perenungan soal kehidupan setelah mati, keputusasaan, hingga yang paling menyedihkan adalah perenungan atas rasa kesepian yang abadi. Semua tema tersebut dibungkus dengan atmosfer yang terasa bagaikan sedang mengalami mimpi di sepanjang film. Penampakan hantu pertama dalam film ini pun tidak akan pernah saya lupakan sejak pertama kali menontonnya belasan tahun yang lalu. Saya masih ingat bagaimana hantu itu bergerak seolah-olah seperti sedang berada dalam mimpi yang lamban. Penampakan ini tidak menyeramkan dalam level yang sama dengan penampakan Kayako dalam Ju-On, tetapi tetap memiliki kualitas menyeramkannya sendiri karena adegannya sangatlah ganjil. Belum lagi suara bisikan-bisikan mistis yang sering muncul dalam Kairo. Bisikan-bisikan tersebut adalah permintaan tolong “help me” yang diulang-ulang dengan jeda yang meresahkan, dengan suara yang terasa sangat lirih dan getir tanpa ada backsound apapun.
Komentar sosial yang Kiyoshi Kurosawa coba sisipkan di dalam Kairo sepertinya erat kaitannya dengan bagaimana manusia pada akhirnya tidak saling terkoneksi satu sama lain sejak kemunculan teknologi internet, dan digantikan dengan koneksi yang hampa dan dangkal lewat jaringan dunia maya. Mengingat film ini dibuat pada tahun 2001 di mana internet merupakan hal baru, saya pikir kekhawatiran Kurosawa menjadi semacam prediksi yang agak akurat. Seperti yang dikatakan oleh Harue ketika ia mengunjungi apartemen Ryosuke untuk melihat masalah di komputernya: “Orang-orang tidak benar-benar saling terhubung. Kita semua saling terpisah di dalam hidup”. Pernyataan itu sedikitnya menggambarkan bahwa ketika kita mencoba untuk semakin terhubung dengan orang lain melalui internet, secara ironis dalam prosesnya kita justru mengisolasi diri. Dan kritik ini cukup relevan bahkan sampai hari ini di mana kita bisa menyaksikan bagaimana ada banyak orang saling terisolasi satu sama lain dan lebih terkoneksi lewat gadget dibandingkan pertemuan-pertemuan langsung. Bahkan banyak dari kita masih saja sibuk berfokus pada gadget dalam pertemuan tatap muka. Jadi apakah hilangnya orang-orang di dalam film Kairo merupakan alegori untuk menggambarkan keadaan saling terasing satu sama lain karena intenet? Bisa jadi. Selain soal internet, Kurosawa juga sepertinya mengangkat satu tema yang cukup suram dan menyedihkan, namun sangat relevan dalam konteks fenomena sosial di Jepang, yaitu soal tingginya kasus bunuh diri. Jadi, tema kesepian dalam Kairo sepertinya sangat erat kaitannya dengan fenomena bunuh diri.
Saya pribadi sangat suka dengan bagaimana Kairo ditutup, yaitu dengan cara yang cukup apokaliptik dan suram. Tak banyak kisah hantu ditutup dengan cara seperti ini, di mana kita melihat hantu dalam dua pertiga pertama film berlangsung, dan diakhiri dengan pemandangan Tokyo (dan kemungkinan seluruh dunia) dalam keadaan kosong terbengkalai. Kalau dilihat dari kacamata horor tradisional, Kairo mungkin tidak begitu menakutkan sebagai sebuah film horor. Tapi kalau kita menggali lagi tema-tema yang ada di dalamnya, kita bukan hanya akan merasa gelisah, tetapi juga sedih. Mungkin satu-satunya kekurangan film ini hanyalah penggunaan CGI-nya yang tampak usang kalau ditonton hari ini. Tapi menurut saya hal tersebut tidak terlalu mengganggu pengalaman menontonnya. Bagi mereka yang mencari film horor yang penuh adegan action, jump scare, dan karakter hantu ikonik mungkin akan kecewa dengan Kairo. Tapi bagi mereka yang ingin mengalami sebuah film horor yang terasa sangat penuh rasa kesepian dan kesedihan yang suram, film ini sangat layak ditonton.