fbpx

MOVIE REVIEW: GONJIAM: HAUNTED ASYLUM / GON-JI-AM (2018)

GONJIAM: HAUNTED ASYLUM / GON-JI-AM
Sutradara: Beom-sik Jeong
Korea Selatan (2018)

Review oleh Tremor

Gonjiam: Haunted Asylum adalah sebuah film horor supranatural asal Korea Selatan, disutradarai oleh Beom-sik Jeong yang sebelumnya pernah sukses membuat antologi horror Epitaph (2007). Dalam film fitur horror keduanya ini, Beom-sik Jeong mencoba bereksperimen dengan gaya found-footage, dan saya anggap eksperimennya sangat berhasil. Sesuai dengan judulnya, Gonjiam sendiri adalah nama bangunan terbengkalai bekas rumah sakit jiwa yang benar-benar ada di Korea Selatan dan dipercaya sebagai tempat berhantu. Bangunan terbengkalai ini bahkan pernah masuk dalam daftar “tempat paling angker” versi CNN Travel.

Sebagian besar dari kita pasti pernah menerima tantangan “ngeri-ngeri-sedap” bersama teman-teman di masa remaja. Tantangan tersebut biasanya adalah masuk beramai-ramai atau sendirian ke tempat yang dianggap menyeramkan, entah itu lorong sekolah pada malam hari, kuburan, atau sekedar rumah kosong. Rasa tertantang bercampur dengan rasa penasaran, adrenalin dan sensasi mendebarkan itulah yang membuat sebagian orang tertarik dengan tempat-tempat angker bahkan hingga fase dewasa mereka. Kalaupun tidak berani melakukannya sendiri, sekarang sudah ada banyak reality show supranatural dan channel youtube yang melakukannya. Kita tinggal menonton sambil ketakutan di depan monitor tanpa perlu benar-benar hadir di tempat-tempat angker tersebut. Itulah yang dilakukan oleh para anak muda dalam Gonjiam: Haunted Asylum (yang seterusnya akan saya singkat GHA). Horror Times merupakan sebuah channel live streaming horror terkenal yang dikelola oleh tiga anak muda pemburu hantu. Mereka biasa mendatangi tempat-tempat angker untuk ditayangkan secara live dalam channelnya. Kali ini mereka berencana untuk membuat konten live streaming spesial di bangunan paling angker se-Korsel yang sudah memakan banyak korban: bangunan bekas rumah sakit jiwa Gonjiam. Rumah sakit ini ditutup paksa di tahun 1990-an setelah dikabarkan ada banyak pasien yang meninggal dengan tidak wajar. Menurut rumor yang beredar, para dokter di sana mulai gila dan membunuhi para pasiennya. Pemilik Gonjiam juga menghilang secara misterius sejak fasilitas ini ditutup. Banyak orang percaya kalau sang pemilik bunuh diri dalam ruangannya di Gonjiam, dan arwahnya masih gentayangan di sana. Sama seperti yang terjadi pada Gonjiam di kehidupan nyata, bangunan tua ini kemudian menjadi daya tarik bagi para pencari adrenalin, termasuk pemburu hantu amatiran. Namun dalam versi film ini, ada banyak dari mereka tidak pernah kembali dari petualangannya. Pusat aktivitas supranatural paling terkenal dalam Gonjiam adalah kamar rawat nomor 402 yang pintunya dipercaya tidak pernah bisa dibuka. Siapapun yang mencoba membuka pintu tersebut akan terkutuk dan banyak dari mereka yang tidak pernah berhasil keluar dari Gonjiam. Setidaknya seperti itulah urban legend yang beredar di masyarakat luas, dan kini tim Horror Times mencoba untuk menyanggah urban legend tersebut.

Menjelang tayangan live streaming penyelidikan bangunan Gonjiam, Horror Times membuka pendaftaran bagi dari para follower-nya yang ingin ikut terlibat. Setelah empat orang relawan terseleksi, kini tim Horror Times beranggotakan tujuh anak muda pemberani yang penuh semangat dan penasaran. Apa yang mereka janjikan pada followers Horror Times adalah: menyiarkannya seluruh proses penelusuran setiap ruangan di Gonjiam secara live, dan akan ditutup dengan klimaks spektakuler yang membuat semua orang penasaran: membuka pintu kamar 402. Lewat tayangan spesial Gonjiam ini, Horror Times juga ingin memecahkan rekor satu juta view, yang akan memberi mereka banyak sekali uang dari iklan. Malam yang ditentukan pun akhirnya tiba. Berbekal berbagai peralatan video yang serba canggih, tim Horror Times masuk ke area Gonjiam yang terlarang. Masing-masing dari mereka dibekali dengan action cam, kamera genggam, kamera POV, hingga kamera yang ditempatkan tepat di depan wajah mereka untuk merekam reaksi otentik setiap individu, ditambah satu orang sebagai cameraman utama. Tak hanya itu, mereka juga memasang kamera-kamera pengintai dengan sensor gerak di beberapa “hotspot” berhantu dalam ruangan-ruangan Gonjiam. Petualangan merekapun akhirnya dimulai. Tim dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing meliput setiap lantai dan ruangan berbeda di Gonjiam. Sementara itu sang kapten akan duduk depan monitor dalam tenda yang mereka pasang di luar Gonjiam untuk memantau, karena ia bertugas sebagai director sekaligus koordinator live-streaming. Tentu saja sejak awal kita sudah bisa menduga bahwa menelusuri Gonjiam bukanlah ide yang bagus. Karena GHA adalah film horror, sudah bisa dipastikan kalau dugaan kita tepat, dan semua sudah sangat terlambat saat tim Horror Times menyadari bahwa mereka tidak akan pernah bisa pergi meninggalkan Gonjiam.

Meskipun found-footage bukan subgenre horror favorit saya, saya tetap menyukai beberapa film semacam ini dari mulai nenek moyang found-footage Cannibal Holocaust (1980), The Blair Witch Project (1999) yang kemudian menjadi trend-setter subgenre ini, Noroi (2005), [REC] (2007), Grave Encounters (2011) hingga As Above, So Below (2014). Sejak saya menonton GHA dan merasa puas, film Korsel ini otomatis masuk ke dalam daftar favorit pribadi saya barusan. Salah satu hal yang saya benci dari kebanyakan film found-footage adalah biasanya mereka terus merekam dengan kamera bahkan di momen-momen yang tidak wajar, misalnya saat karakter film masih sempat-sempatnya menyalakan kamera di tengah kepanikan yang mendadak, atau malah dengan sadar menyorot wajah mereka sendiri saat sedang dikejar-kejar setan. Maksud saya, siapa yang akan sempat terpikir untuk melakukan hal itu saat dikejar setan dalam kehidupan nyata? Untunglah hal tersebut tidak saya temui dalam GHA. Gagasan untuk membuat GHA seakan live-streaming, lengkap dengan berbagai macam kamera yang dipasang pada tubuh, adalah gagasan yang cerdas, karena selain memungkinkan film ini untuk terus direkam dari banyak sudut pandang, perekaman setiap momen dalam film ini juga tidak terkesan dipaksakan. Seperti kebanyakan film found-footage, gerak kamera sepenuhnya dipegang oleh para aktor itu sendiri, dan itu juga yang saya apresiasi dari GHA, karena semua cast bekerja dengan baik dalam berperan sekaligus mengambil gambar.

Komplain lain saya untuk kebanyakan film-film found-footage adalah bagaimana biasanya plot film seperti ini berjalan sangat bertele-tele dan bisa menghabiskan lebih dari setengah durasinya hanya untuk mendengarkan dialog-dialog dan melihat adegan tidak penting. Umumnya saya mudah mengantuk sejak film dimulai. Untungnya, hal tersebut lagi-lagi tidak saya temui dalam GHA, karena ritme film ini cukup pas tanpa menghabiskan durasinya dengan dialog. Namun apa yang paling saya suka dari GHA sebagai film horror adalah nyaris tidak ada taktik jump-scare murahan digunakan dalam film ini, yang umumnya banyak kita temui dalam horror supranatural asia. Sutradara Beom-sik Jeong benar-benar berbakat dalam memainkan psikologi penontonnya dan ia sangat berhasil menghantarkan suasana horor dengan sensasi realisme yang kuat, tanpa mengandalkan reflek kaget penontonnya (jump-scare). Meskipun hantu dalam GHA baru muncul belakangan, tapi rasa mencekam di sepanjang film ini sudah terasa sangat kuat sejak tim Horror Times masuk ke Gonjiam. Elemen paling mengesankan dari film ini adalah keseluruhan suasana dan rasa takut yang perlahan dibangun lewat suasana di dalam bangunan bekas rumah sakit jiwa berhantu Gonjiam. Kita terus dibuat cemas sambil menahan napas menunggu-nunggu datangnya jump-scare yang tidak kunjung muncul. Sementara itu mata kita juga terus khawatir dengan pojokan-pojokan gelap yang kita lihat di layar, seakan memberi sugesti pada kita bahwa ada sesuatu bersembunyi di kegelapan. Sensasi seperti itulah yang membuat saya sangat menghargai usaha GHA dalam menakut-nakuti penontonnya. Memang pada dasarnya konsep dan tema yang ditawarkan oleh GHA bukanlah hal baru. Tapi film ini jelas dieksekusi dengan sangat baik dan menjadi contoh bagus bagaimana sebuah film found-footage bisa menjadi sangat efektif sebagai film horror. Menonton GHA merupakan pengalaman yang menyenangkan, dan saya nyaris tidak menemukan kekurangan fatal dari film ini. Kalau kalian adalah pencari sensasi seram dan belum pernah menonton GHA, saya sarankan untuk matikan lampu, gunakan headset dan tonton film ini seorang diri.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com