AS ABOVE, SO BELOW
Sutradara: John Erick Dowdle
USA (2014)
Review oleh Tremor
As Above, So Below adalah sebuah film horror bergaya found-footage karya penulis / sutradara John Erick Dowdle. Sebelumnya, ia pernah membuat film dengan gaya mockumentary (yang juga pernah saya tulis reviewnya), berjudul The Poughkeepsie Tapes (2007), dan film found-footage berjudul Quarantine (2008) yang merupakan remake dari film Spanyol Rec (2007) dengan gaya yang sama. Sejujurnya saya bukan penggemar berat film found-footage yang dipopulerkan oleh film-film semacam Blair Witch Project (1999), Rec (2007), dan Grave Encounters (2011). Teknik found-footage sendiri adalah gaya pengambilan gambar lewat POV (point of view) shot, atau first-person shot, dan dijadikan sebuah film berisi kumpulan rekaman dari kamera yang dibawa oleh karakter di dalam film. Kalau terkonsep dengan tepat, teknik semacam ini memang bisa saja efektif menonjolkan sensasi seram, tegang dan rasa realistis. Dan As Above, So Below adalah salah satu film found-footage yang menurut saya pantas untuk ditonton.
Karakter utama dalam film ini bernama Scarlett, seorang ahli sejarah sekaligus arkeologis yang terobsesi melanjutkan misi mendiang ayahnya. Scarlett yang masih cukup muda ini sangatlah terpelajar dan cerdas. Ia menguasai beberapa bahasa asing (termasuk bahasa kuno), dan juga ahli dalam banyak cabang keilmuan lainnya, salah satunya adalah kimia. Scarlett juga adalah seorang perempuan yang tangguh dan lincah. Misi mendiang ayahnya yang dilanjutkan oleh Scarlett adalah mencari sebuah harta karun bernama Philosopher’s Stone, sebuah batu legendaris. Mungkin sebagian besar dari kalian pernah mendengar nama benda ini dalam salah satu film Harry Potter. Ya, Philosopher’s Stone memang cukup legendaris dalam dunia sihir dan alkemi dari jaman medieval (silakan googling soal Philosopher’s Stone kalau kalian tertarik.) Batu ini banyak diburu karena konon mampu mengubah logam dasar menjadi emas. Dalam film ini, Philosopher’s Stone dikatakan juga mampu memberi kesembuhan hingga kekekalan hidup bagi siapapun yang berhasil mendapatkannya. Bermodalkan buku-buku catatan peninggalan ayahnya, dan ditambah lebih banyak pengetahuan yang ia dapatkan sendiri, Scarlett melanjutkan pencarian ini ke segala penjuru dunia hingga suatu hari ia akhirnya menemukan petunjuk kunci di dalam gua di pelosok Iran. Setelah kembali ke Paris, Scarlett yang dibantu temannya, George, berhasil menerjemahkan kode yang ditemukannya di Iran. Semua petunjuk mengarahkan mereka pada batu nisan Nicolas Flamel yang dipajang dalam sebuah museum. Nicolas Flamel sendiri adalah seorang ahli kimia medieval abad ke-14 (yang pada masa itu masih disebut sebagai alkemis, cikal bakal ilmu kimia modern yang lebih banyak mempelajari mengenai transformasi materi.) Flamel juga adalah penemu Philosopher’s Stone itu sendiri. Perlu diketahui, pada masa medieval ahli kimia / alkemis lebih sering dianggap sebagai orang yang mempelajari ilmu sihir dan hal-hal berbau mistis ketimbang dianggap ilmuwan.
Lewat kecerdasannya, Scarlett berhasil menemukan kode rahasia pada batu nisan Flamel yang berisi lebih banyak petunjuk mengenai lokasi tempat Philosopher’s Stone disimpan. Scarlett dan George akhirnya mendapat kesimpulan bahwa Philosopher’s Stone tersimpan di bawah tanah kota Paris, tepatnya dalam ruang rahasia di antara lorong-lorong Catacomb Paris yang tak terpetakan. Catacomb Paris, sebuah pemakaman massal abad ke-18 yang berlokasi tepat di bawah tanah kota Paris, adalah tempat yang memang ada dalam kehidupan nyata. Situs ini menampung kira-kira enam juta tengkorak manusia yang disusun rapih dan telah menjadi destinasi wisata. Struktur Catacomb Paris yang terdiri dari gua-gua dan lorong-lorong bawah tanah tentu saja sangat cocok untuk menjadi setting film horror. Scarlett segera menyusun rencana ekspedisi menuju situs tersebut, dan ini adalah ekspedisi ilegal dan berbahaya karena mereka akan memasuki wilayah yang tidak dibuka untuk turis. Lokasi ini bisa saja runtuh kapanpun, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di dalam sana. Untuk melakukan ekspedisi ini, Scarlett menemui seorang tokoh urban explorer lokal yang memiliki nama samaran “Papillon” yang mengaku mengetahui jalan rahasia dan seluk beluk lorong-lorong tersembunyi di Catacomb. Papillon dan timnya pun sepakat untuk membantu Scarlett setelah dijanjikan akan mendapat bagian harta karun yang tersembunyi di bawah sana.
Teman Scarlett lainnya yang setia selalu menemaninya, bernama Benji, bertugas mendokumentasikan ekspedisi pencarian ini. Ia membawa serta tiga buah kamera kecil yang dipasang pada headlamp beberapa anggota tim ekspedisi, ditambah satu kamera genggam yang ia pegang. Dari semua kamera inilah kita akan melihat apa yang kemudian mereka temui di bawah sana. Tapi ternyata ancaman besar dalam ekspedisi ini bukanlah dari kepolisian setempat, melainkan dari apa yang sebenarnya tersembunyi di lorong-lorong rahasia Catacomb. Arahan yang mereka dapat dari berbagai kode Flamel menunjukkan bahwa mereka harus memasuki “gerbang tergelap” untuk menemukan batu yang Scarlett cari, dan rupanya “gerbang tergelap” bukanlah bahasa puitis semata. Singkat cerita, berbagai keganjilan mulai terjadi, dan mereka semua terjebak dalam labirin lorong dan koridor gelap di bawah kota Paris, dimana semua jalan masuk telah tertutup. Hingga pada satu lokasi, sesosok bayangan menghampiri mereka. Ternyata ia adalah seorang kawan lama Papillon yang bernama La Taupe. Masalahnya, sudah dua tahun La Taupe dinyatakan hilang setelah mengeksplorasi area tersebut. Rupanya mereka telah memasuki alam yang sudah bukan lagi alam nyata, dan satu-satunya jalan keluar dari alam ini adalah dengan cara melakukan perjalanan lebih dalam dan lebih dalam ke dunia bawah tanah yang gelap gulita dan penuh misteri ini. Tepat sekali. Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki alam neraka.
Pertama, mari kita bahas soal alam neraka. Kisah tentang perjalanan ke alam neraka yang paling terkenal di dunia berjudul Inferno, yang ditulis oleh seorang penyair Italia bernama Dante Alighieri (1265 – 1321). Inferno adalah dalam bagian pertama dari puisi epik Dante yang berjudul Divine Comedy. Dalam Inferno, sang narator (yaitu Dante sendiri) memasuki neraka dan harus melakukan perjalanan melewat sembilan lingkar neraka agar bisa menyelamatkan diri. Sembilan lingkar neraka tersebut adalah Limbo, Lust (nafsu), Gluttony (kerakusan), Greed (keserakahan), Anger (kemarahan), Heresy (kesesatan), Violence (Kekerasan), Fraud (penipuan), dan lingkar terakhir adalah Treachery (pengkhianatan) dimana tahta Satan berada. Nama Satan dalam Inferno bukanlah setan biasa, melainkan pemegang kekuasaan tertinggi dalam neraka versi Dante. Lalu apa hubungannya karya puisi epik Inferno dengan film yang sedang saya bahas ini? Ada banyak sekali kesamaan antara alam neraka versi film As Above So Below dengan versi Inferno. Pertama, yang paling mencolok adalah saat Scarlett dkk menemukan sebuah celah gelap yang di atasnya tertulisan “Abandon all hope, ye who enter here” dalam bahasa Yunani. Kalimat tersebut tertulis di atas gerbang neraka dalam buku Inferno. Para pembaca Inferno tentu akan tersenyum bahagia karena easter egg yang menyenangkan ini. Tapi pengaruh Dante’s Inferno tidak berhenti hanya disitu. Karakter La Taupe berkeliaran dalam kegelapan selama-lamanya di bawah sana, dan ini kembali mengingatkan kita pada lingkar pertama neraka versi Dante: Limbo. Kemudian La Taupe memberi tahu Scarlett dan kelompoknya bahwa satu-satunya jalan keluar dari tempat ini adalah dengan cara turun ke bawah. Dalam Inferno, Dante tidak bisa meninggalkan neraka melewati jalan yang sama ketika ia datang. Ia harus melanjutkan perjalanan terus ke bawah melalui neraka di mana satu-satunya jalan keluar ada di bagian dasar neraka, persis seperti apa yang terjadi dalam film ini. Tapi bukan hanya itu saja cara keluar dari neraka versi Dante. Dalam Inferno, cara agar seseorang dapat lolos dari neraka adalah dengan mengakui dosa-dosa mereka, lalu menebusnya. Dan itu jugalah yang terjadi dalam As Above, So Below. Jadi inilah rupanya yang As Above, So Below lakukan, yaitu mengadaptasi neraka versi Dante ke dalam karya film modern. Scarlet dan timnya menjelajahi sisi tergelap Catacomb Paris dengan plot yang sama dengan Inferno. Dan sama seperti Dante, mereka juga harus meneruskan perjalanan melewati tahapan-tahapan berbeda (yang mungkin mewakili sembilan lingkar neraka-nya Dante), dimana mereka kemudian harus menghadapi dosa-dosa mereka agar bisa menyelamatkan diri dari neraka, seperti Dante. Saya yakin pada dasarnya film ini adalah semacam tribute untuk Inferno, atau bisa juga dianggap sebagai interpretasi modern dari Inferno.
Pendapat para penggemar horor tentang As Above, So Below cukup beragam dari mulai yang suka hingga membencinya. Saya pribadi cukup terkesima karena film ini bukan hanya memperlihatkan sebuah perjalanan fisik menuju alam neraka yang berbeda, tetapi juga mengeksplorasi lebih dalam sisi gelap jiwa manusia. Sebenarnya saya tidak bisa bilang kalau film ini menakutkan walaupun ada beberapa momen menegangkan yang mungkin bisa membuat beberapa orang akan merasa takut. Tapi tanpa adanya sosok setan sekalipun, para karakter dalam film ini justru dihadapkan dengan manifestasi gelap yang memiliki makna mendalam bagi mereka, dan karenanya, itu membuat mereka takut. Contohnya, salah satu karakter dihantui rasa bersalah sepanjang hidupnya, dan karakter lainnya harus dihantui perasaan kehilangan yang terus menjadi luka batinnya. “Hantu” mereka masing-masing inilah yang kemudian bermanifestasi menjadi benda-benda berwujud di pojokan gelap lorong bawah tanah. Salah satu contohnya adalah piano tua berdebu yang mengingatkan salah satu karakter pada masa kecilnya, dan rasa bersalahnya. Saya tidak akan menyebutkan contoh lainnya karena tidak ingin membagi spoiler di sini. Pada intinya “setan-setan” yang mengganggu para karakter dalam film ini justru adalah sesuatu yang mereka bawa dalam diri mereka masing-masing: rahasia-rahasia gelap yang sangat personal. Scarlett dan kawan-kawan bukan hanya dipaksa untuk menghadapi ketakutan terbesar mereka saja, tetapi juga penyesalan-penyesalan mereka di masa lalu.
As Above So Below juga adalah film horor yang cerdas dan ditulis dengan baik. Sangat jelas bagi saya bahwa siapa pun yang terlibat dalam penulisan naskah telah melakukan cukup banyak riset dari mulai perincian seputar legenda Philosopher’s Stone hingga simbol-simbol alkemi dan paganisme kuno, beserta filosofi dibaliknya. Film ini jelas kaya akan latar belakang sastra dan sejarah. Kalimat “As Above, So Below” sendiri adalah sebuah kiasan terkenal dari ajaran okult hermetisisme, yaitu sebuah keyakinan yang memberi pengaruh sangat besar pada tradisi magis dan sihir, yang kemudian berkembang menjadi agama pada zaman Mesir Kuno. Dan bukan hanya menjadi judul semata, “As Above, So Below” juga merupakan konsep utama dalam film ini secara filosofis. Dan yang tak kalah menarik dari film ini adalah, tentu saja kita jadi bisa ikut merasakan seperti apa rasanya memasuki lorong-lorong tergelap Catacomb Paris lewat kacamata first-person. Ya, adegan-adegan dalam film ini benar-benar diambil di dalam Catacomb Paris, dan bukan set buatan di dalam studio. Setiap lorong sempit dan gelap yang kita lihat dalam As Above So Below adalah lokasi nyata, dan rupanya inilah pertama kalinya sebuah produksi film mendapatkan ijin dari pemerintah Perancis agar boleh menggunakan Catacomb sebagai lokasi pembuatan film. Dan karena set-nya yang luar biasa tersebut, ditambah dengan pengambilan gambar dari perspektif orang pertama, As Above, So Below berhasil membawa teror claustrophobia dengan cara yang paling efektif sejak film The Descent (2006).
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com