REKAH ‘Kiamat’ ALBUM REVIEW
Self-Released (Digital)/Greedy Dust (Cassete). May 1st, 2022
Post-Hardcore/Screamo
Setelah penantian yang tidak sebentar, grup asal Ibu Kota, REKAH, akhirnya merilis album penuh pertama mereka, kurang lebih lima tahun lamanya sejak EP ‘Berbagi Kamar’ dilepaskan ke pasaran pada 8 Juni 2017 lalu. Dibandingkan band skramz revivalist lokal lainya, REKAH bisa dibilang paling beda sendiri alias rare breed, karena dari awal grup ini tak pernah terjebak jadi kloningan atau versi kw band luar belaka, musik yang mereka usung semenjak dulu selalu campur aduk, mau itu post-hardcore, screamo, post-rock, blackgaze, hingga math rock, semuanya digodok jadi satu racikan breacun, dan dalam full-length perdana, yang bertajuk ‘Kiamat’, REKAH makin berani bereksplorasi. Perjalanan selama setengah dekade REKAH dari ‘Berbagi Kamar’ sampai ‘Kiamat’ tentunya penuh lika-liku, sama seperti band-band lain, pergantian personil tentunya sesuatu hal yang lumrah, pasca keluarnya gitaris Marvin Viryananda dan vokalis Faiz Alfaresi, REKAH merekrut Fachri Bayu Wicaksono dari grup death metal ORESTES, dengan posisi vokal dipegang bang Tomo. Stephania Shakila (VEINN) sempat memperkuat REKAH, dan dengan formasi berlima tersebut, mereka memuntahkan mini-album ‘Kiamat, Babak Pertama’, yang berisikan tiga buah lagu baru, “Dua pagi di Fatmawati”, “Panduan menunda kiamat”, dan “Kabar dari dasar botol”, sayangnya line-up terebut karena suatu hal tak bertahan lama, dan REKAH pun melanjutkan proses rekaman debut LP mereka dengan formasi berempat (Tomo Hartono, Yohan Christian, Fachri Bayu Wicaksono, dan Junior Johan), dimana proses rekaman drum, gitar, dan bass dilakukan di Kandang Studio dan Noise Lab Studio bareng sound engineer muda dan bertalenta, Haryo Widhi Adhikaputra, sedangkan untuk vokal dan beberapa part gitar direkam secara diy di Studioland.
Dalam ‘Kiamat’, REKAH terdengar lebih fokus, terdengar banget peningkatan cukup signifikan dari sisi songwriting kalau dibandingkan dengan EP sebelumnya, gak ada lagi nada-nada/melodi rada questionable yang sedikit berserakan dalam “Berbagi Kamar”, dan saya rasa karakter vokal Tomo juga cukup dapet, penyampaian emosinya lebih ngena, tengok saja teriakan penuh kepedihan dalam trek pembuka “24 JAM DI FATMAWATI” dan juga dalam “MENGAJARI API BERDANSA”, yang bisa bikin pendengar pengen ngikut berteriak, penulisan lirik Tomo masih tetap on point, gak kayak band-band indie lokal lain yang kebanyakan menggunakan diksi-diksi kelewat mutakhir, yang justru malah bikin susah ditangkep pendengar, REKAH lewat lagu-lagu seperti macam “LUSA KIAMAT”, “TERANG DILARANG MASUK”, dan “TRAGEDI PALING ANJING” misalnya, menggunakan pemilihan kata yang lugas namun tetap puitis, dan yang paling penting lirik mereka sangat relatable, kedua faktor tersebut (performa vokal dan lirik) membuat emosi semua lagu dalam ‘Kiamat’ mudah tersampaikan ke pendengar. Dari segi komposisi pun jangan ditanya, memang ada nomor yang rada nyerempet ENVY banget (secara kasat mata) kayak track pembuka dan “”MENGAJARI API BERDANSA”, namun dalam album ini REKAH lebih menggila eksperimentasinya, beberapa lagu ada jazzy vibe yang lumayan pekat, selain itu “KERETA TERAKHIR DARI PALMERAH” jadi ada rasa-rasa ngeprog juga, pas menit kedua masuk malah petikan gitarnya jadi mengingatkan saya pada CYNIC post-‘Traced in Air’ dan momen paling proggy BETWEEN THE BURIED AND ME, dan yang paling penting REKAH tau caranya menulis blackened riff yang baik dan benar, baik itu dalam “BURSA ARWAH” yang penuh nada-nada gelap sedingin musim dingin di Bergen, dan juga nomor paripurna “MAKAR / PENGHABISAN” yang lebih blackgaze-ish, karena saya tau benar bahwa baik Tomo, Fachri, dan Yohan know their black metal stuff very well. Mereka yang ngikutin REKAH sejak single tahun 2016 (“Untuk Seorang Gadis yang Selalu Memakai Malam”) dulu, sudah pasti bakal terpuaskan dengan “Kiamat” apalagi pengurutan tracklist-nya juga benar-benar pas baik pacing dan alurnya. ‘Kiamat’ mampu melampaui segala ekspektasi saya, dari segi performa, komposisi, penulisan lirik, produksi, art direction, sampe packaging, semuanya benar-benar maksimal, padahal saya hampir saja melewatkan kan album ini, gara-gara sempat ragu untuk membeli rilisan fisiknya, karena agak malesin banget sebenarnya hanya dicetak dalam format kaset pita (semoga nanti ada yang mau ngerilisin CD atau kalau bisa LP-nya!!!). Alhasil ‘Kiamat’ adalah album post-hardcore/skramz yang selama ini saya cari-cari, dan tak salah lah kalau saya bilang ‘Kiamat’ merupakan album post-hardcore terbaik yang pernah diciptakan musisi Indonesia, berhasil menggeser “A Whispering Rose and Betrayal Kiss” dari PITFALL. (Peanhead)
9.5 out of 10