fbpx

ALBUM REVIEW: OBITUARY – DYING OF EVERYTHING

OBITUARY ‘Dying of Everything’ ALBUM REVIEW

Relapse Records. January 13th, 2023

Death metal

Sebagai salah satu band death metal legendaris yang masih konsisten hingga saat ini, setiap OBITUARY mengumumkan kalau mereka bakal ngeluarin album baru, para death metal connoisseur sudah pasti langsung nunggu dengan tidak sabar, apalagi tahun 2014 lalu, grup yang kini dimotori John Tardy, Donald Tardy, Trevor Peres, Terry Butler, dan Kenny Andrews ini melepaskan album “Inked in Blood”, yang banyak dianggap sebagai album yang berhasil merejuvenasi karir mereka, selain itu album self-titled yang dirilis tiga tahun setelahnya juga banyak digadang-gadang sebagai album terbaik OBITUARY semenjak “The End Complete”. Kalau menurut ogut OBITUARY belum pernah merilis album flop sama sekali, dari ‘Slowly We Rot’ (1989) hingga ‘Back from the Dead’ (1997) sudah wajib hukumnya dimuseumkan sebagai masterpiece aliran death metal, sedangkan rilisan-rilisan setelah reuni pun tak kalah berengsek, ‘Frozen In Time’ menurut saya jadi salah satu rilisan OSDM paling kece dari pertengahan 2000’an, dan dua LP era mendiang Ralph Santolla “Xecutioner’s Return“ dan “Darkest Day” (2009) juga cukup berbahaya dan sangat sayang banget kalo dilewatkan.

Saya sendiri untuk pertama kali-nya lumayan bersemangat nungguin rilis album kesebelas dari OBITUARY ini, yang diberi judul ‘Dying of Everything’, faktor pertama yang bikin saya langsung merogoh kocek dalam-dalam buat langsung order ke Relapse Records sudah pasti gara-gara ilustrasi sampul bernama ‘Procession Of Evil’ yang menjadi karya terakhir dari pelukis Mariusz Lewandowski (Rest in Power), faktor kedua karena dua single yang dilepaskan dari album ini “The Wrong Time” dan “My Will to Live” lumayan menendang pantat. OBITUARY gak pake permisi alias langsung ngibrit dengan lagu pertama “Barely Alive”, sebuah nomor death metal lumayan thrashy yang bisa meledakan moshpit seketika, namun saya rasa OBITUARY paling enak ya pas lagi bawain materi-materi mid-tempo seperti tiga lagu berikutnya, “The Wrong Time”, yang pantas lah jadi single andalan karena memang catchy as fukk, “Without a Conscience” pun gak kalah nampol, apalagi pas masuk menit 2:22, turut diselipkan breakdown yang cocok lah buat dansa karate, kemudian “War” punya groove rada bikin mengingatkan saya pada BOLT THROWER (karena ada rentetan senapan mesin dan dentuman meriam mungkin), yang bisa bikin leher linu keesokan harinya. Lagu-lagu lain juga tak kalah bajingan, seperti title track, “Torn Apart” dan “By The Dawn” yang merupakan trek metal kematian sekolah lama esensial, begitu pula dua nomor doomy (“My Will To Live” dan “Be Warned”).

Sebagai penganut falsafah hidup if it ain’t broke, don’t fix it sebenarnya komposisi yang diusung Tardy Brothers and Co. ini gak terlalu banyak berubah tiap album, tak seperti para dedengkot floridan death metal lain kayak DEATH (R.I.P), MORBID ANGEL, DEICIDE, dan ATHEIST, yang lebih rajin bereksperimentasi, hal tersebut menyebabkan OBITUARY kadang suka disebut sebagai AC/DC-nya skena death metal Florida. Tapi lewat album kesebelas mereka, ‘Dying of Everything’, OBITUARY mampu meracik aransemen yang luar biasa catchy dan memorable, selain itu dari 10 track yang ditawarkan, semuanya sangat distingtif, karena gak ada yang mirip antar satu sama lain sama sekali. Meskipun begitu saya kurang ngena sama lagu kedelapan, “Weaponize the Hate”, seandainya trek tersebut dijadikan bonus track edisi deluxe saja, lalu edisi reguler digenapkan kebawah jadi 40-menit, menurut ogut ‘Dying of Everything’ bakalan lebih enak lagi untuk diputar berulang-ulang kali dan menjadikan album ini semakin near flawless. Walaupun banyak yang menganggap kalo album sebelumya telah menjadi album terbaik OBITUARY era pasca reuni, tetapi ‘Dying of Everything’ dengan materi yang gampang banget nemplok dikepala, jelas lebih pantas disematkan title sebagai album penuh OBITUARY terbaik sejak ‘The End Complete’, gak pake debat!!. (Peanhead)

9.3 out of 10