WHAT WE BECOME / SORGENFRI
Sutradara: Bo Mikkelsen
Denmark (2015)
Review oleh Tremor
What We Become, yang dalam bahasa aslinya berjudul Sorgenfri, adalah sebuah film horror infeksi / zombie, debut film fitur dari sutradara Denmark Bo Mikkelson yang sebelumnya lebih banyak membuat film pendek. Menariknya, What We Become juga adalah film zombie pertama yang pernah diproduksi di Denmark. Sorgenfri sendiri, yang memiliki arti harafiah “free of sorrow”, adalah nama dari pemukiman kecil tempat di mana Bo Mikkelson tinggal di pinggiran Copenhagen. Saat pertama kali pindah ke Sorgenfri, Bo langsung membayangkan bagaimana kalau komunitas kecil kelas menengah tersebut tiba-tiba harus menghadapi krisis, dalam hal ini zombie apocalypse.
Plotnya yang sangat sederhana berfokus pada satu keluarga di pemukiman Sorgenfri yang asri dan penuh ketenangan. Mereka adalah keluarga Johansson: sepasang suami istri bernama Dino (ayah) dan Pernille (ibu), dengan kedua anaknya: Gustav yang masih ABG dan pembangkang, serta adik perempuannya yang masih berumur 7 tahun bernama Maj. Kehidupan mereka sama seperti kehidupan keluarga kelas menengah normal pada umumnya. Dino dan Pernille tampak tidak bahagia dengan masalah keluarga sehari-hari, sementara Gustav yang sedang beranjak dewasa mulai tertarik dengan gadis tetangga baru, Sonja. Suatu hari, siaran reportase di TV memberitakan ditemukannya penularan virus baru yang mirip dengan flu pada rumah sakit dekat Sorgenfri. Para ilmuwan belum tahu pasti tentang seberapa bahaya virus ini, dan penduduk diminta rajin mencuci tangan untuk mencegah penularan. Sebagai catatan, film ini diproduksi jauh sebelum pandemi covid-19 melanda dunia. Tapi cuci tangan dan menggunakan masker memang merupakan prosedur standar pencegahan wabah. Di tingkat awal penyebaran virus misterius ini, penduduk Sorgenfri masih belum terlalu khawatir, hingga pada suatu malam tentara ber-hazmat lengkap dengan masker gas, senjata berat dan kendaraan perang mulai masuk ke Sorgenfri dan memaksa para penduduk untuk tetap tinggal di dalam rumah. Tak hanya itu, mereka juga menyegel setiap rumah dengan penutup plastik raksasa. Karantina besar-besaran mulai dilakukan, dan para tentara menodongkan senapan pada penduduk yang tidak mau ikut dikarantina. Jelas apa yang terjadi bukanlah wabah flu biasa.
Para karakter dalam film ini sama sekali tidak mengetahui bahwa wabah ini adalah wabah zombie, dan sepertinya mulai menyebar dengan sangat cepat. Terisolasi di dalam rumah dengan semua jendela yang tertutup plastik, keluarga Johansson hanya bisa mengikuti perkembangan berita di TV yang tentu saja banyak ditutup-tutupi. Suasana juga cukup mencekam karena kadang mereka bisa mendengar suara tembakan senapan di malam hari. Gustav yang sejak awal film diceritakan selalu membangkang mulai merobek plastik yang menutupi jendela kamarnya agar ia bisa melihat Sonja. Namun apa yang ia lihat adalah hal yang sama sekali tak disangka: militer secara agresif memeriksa setiap rumah dan membawa paksa para penduduk yang terinfeksi virus layaknya tawanan perang, menutup kepala mereka dengan karung dan menjebloskannya ke dalam truk pengangkut. Tentara juga benar-benar menembak mati mereka yang berusaha melarikan diri dari Sorgenfri. Akhirnya Gustav berhasil menyelinap keluar rumah dan pergi memeriksa bangunan yang dijadikan fasilitas medis temporer oleh pemerintah. Di sana ia menyaksikan bagaimana para tentara menumpuk mayat-mayat penduduk yang sudah mereka bantai, dan membuangnya di container besar layaknya bangkai hewan. Geram dengan pemandangan ini, Gustav dengan jiwa mudanya ingin menjadi pahlawan. Ia pun membuka semua pintu belakang truk pengangkut dengan tujuan “membebaskan” para tawanan di dalamnya. Setelah aksi “heroik”-nya tersebut, Gustav segera lari ke rumah Sonja untuk menjadi pahlawan lagi, tanpa mengetahui bahwa truk-truk yang baru saja ia buka berisikan penduduk yang sudah terinfeksi dan kini telah menjadi zombie. Akibat aksi Gustav, keadaan semakin tidak terkendali. Zombie-zombie mulai berkeliaran, dan tentara yang kalah jumlah segera menarik diri meninggalkan pemukiman Sorgenfri tanpa pemberitahuan apapun. Sorgenfri tetap terisolasi di balik barikade-barikade dinding beton raksasa yang telah dipasang oleh tentara sejak awal karantina, menutup semua akses keluar dari Sorgenfri. Masalahnya, para penduduk Sorgenfri yang masih tinggal dalam rumah masing-masing, dalam hal ini keluarga Johansson dan beberapa temannya, sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Mereka pikir dengan perginya para tentara secara mendadak, keadaan sudah berangsur terkendali. Karena stok makanan semakin menipis, mereka akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari rumah tanpa menyadari adanya ancaman mayat hidup yang sama-sama terjebak dalam lokasi isolasi bersama mereka.
Sebagai film drama yang mengeksplorasi tentang survival, paranoia dan ketidakpastian yang dialami oleh satu keluarga biasa, mungkin What We Become bisa saja dibuat lebih menarik. Apalagi banyak ketegangan yang muncul karena keluarga Johansson sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sebagai film zombie, karya Bo Mikkelsen ini menjadi sangat generik. Dibuka dengan infeksi virus, dengan cepat film ini bertransformasi menjadi kisah yang sangat mirip dengan serial AMC Fear the Walking Dead, di mana zombie apocalypse baru dimulai dan keluarga-keluarga biasa harus bertahan hidup menghadapi bentuk ancaman yang sama sekali baru bagi mereka. Karantina di bawah ancaman serta kehadiran pemerintah dan tentara yang tidak bisa diandalkan menghadapi wabah zombie dalam What We Become juga mengingatkan saya pada film remake The Crazies (2010). Jadi, pada dasarnya film ini tidak menawarkan hal baru sama sekali. Tidak ada hal spesial di sini. Namun ada salah satu upaya yang cukup saya hargai, yaitu bagaimana film ini berusaha membuat penyebaran virus sebagai sesuatu yang misterius. Apakah ini benar-benar virus flu biasa dengan pemerintah dan militer sebagai pihak yang kejam? Atau militer dan para ilmuwan benar-benar tidak memiliki pilihan lain selain membantai mereka yang sudah terinfeksi? Menyembunyikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut hingga babak ketiganya adalah langkah yang cerdas. Sayangnya, tidak ada misteri di sini karena sejak materi promosinya pun sudah jelas bahwa What We Become adalah film zombie. Siapapun yang sudah menonton terlalu banyak film zombie/infeksi juga pasti bisa menebak ke mana arah film ini berjalan. Beruntung durasi film ini tidak terlalu lama. Hanya dalam delapan puluh satu menit saja, Bo Mikkelsen meracik drama keluarga, pembangunan karakter, zombie klasik yang bergerak lambat, dan campur tangan pemerintah yang tidak sanggup menghadapi zombie apocalypse. Bicara soal karakter, jujur saja saya membenci beberapa karakter film ini, terutama Gustav. Diam-diam saya mulai berpihak pada gerombolan zombie dan menginginkan semua karakter survivor dalam What We Become untuk segera digigit. Saya tidak tahu apakah memang kesan itu yang diinginkan oleh penulis film ini atau bukan. Kalau memang itu yang dituju, artinya penulisan film ini cukup berhasil, setidaknya bagi saya.
Para penggemar film zombie yang mengharapkan banyak aksi non-stop mayat hidup penuh isi perut dan darah juga mungkin akan kecewa dengan film ini, karena adegan-adegan zombie dalam What We Become bisa dibilang sangat sedikit untuk ukuran film zombie. Mereka baru benar-benar muncul mungkin sekitar 30 menit sebelum film berakhir. What We Become sebenarnya tidak buruk-buruk amat, kalau para penontonnya tidak keberatan dengan film zombie generik. Setidaknya film ini diproduksi dengan cukup serius, dengan usaha yang maksimal pada banyak bagian. Saya sendiri cukup menikmati What We Become, meskipun mungkin ini bukan film yang akan saya tonton ulang. Bagaimanapun, karya sutradara Bo Mikkelsen ini cukup mengesankan untuk ukuran film debut, dan saya menantikan apa yang selanjutnya akan ia buat di masa mendatang.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com