THE WOLF HOUSE / LA CASA LOBO
Sutradara: Cristóbal León & Joaquín Cociña
Chili (2018)
Review oleh Tremor
The Wolf House, yang dalam bahasa aslinya berjudul La Casa Lobo, adalah sebuah film dark fantasy surealis yang dibuat dengan teknik animasi stop-motion. Film ini merupakan debut penyutradaraan dari duo animator stop-motion asal Chili, Cristóbal León dan Joaquín Cociña, berdasarkan konsep yang mereka tulis bersama Alejandra Moffat. The Wolf House bukan hanya menjadi proyek seni surealis belaka, karena cerita yang disajikan sebagai dongeng ini terinspirasi dari kisah nyata yang cukup gelap dan mengerikan dalam sejarah Chili. Untuk memahami konteks dongeng gelap The Wolf House, mungkin saya perlu menuliskan sedikit latar belakang kisah nyata yang menginspirasi film ini, yaitu tentang sebuah koloni ekspatriat Jerman dan warga Chili bernama Colonia Dignidad yang beroperasi sejak tahun 1960-an hingga 1990-an di daerah terpencil Chili tengah. Masyarakat umum mengenal Colonia Dignidad sebagai sebuah komune pertanian yang harmonis. Namun sebenarnya Colonia Dignidad adalah sebuah sekte di bawah pemimpin tiran ekspatriat Jerman nazi yang melakukan berbagai praktek kejam, termasuk pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Lebih buruknya lagi, Colonia Dignidad bahkan bekerja sama dengan diktator Chili, Augusto Pinochet yang berkuasa sejak 1973 hingga 1981, yang menggunakan koloni ini sebagai kamp penahanan dan penyiksaan bagi para tahanan politik Chili.
Film The Wolf House sendiri disajikan dalam bentuk animasi bertema dongeng yang seakan-akan diproduksi oleh pemimpin sekte Colonia Dignidad sebagai film propaganda untuk mengindoktrinasi para pengikutnya, terutama mereka yang masih berusia muda, agar tidak pergi meninggalkan koloni. Setelah dibuka dengan footage asli arsip Colonia Dignidad, dongeng ini pun dimulai. Seorang perempuan muda bernama Maria melarikan diri dari koloni. Dalam pelariannya di dalam hutan, Maria dikejar oleh seekor serigala, hingga akhirnya menemukan sebuah rumah kosong yang Maria jadikan tempat berlindung. Di dalamnya, Maria menemukan dua ekor babi yang ia beri nama Pedro dan Ana, yang kemudian berubah menjadi anak manusia. Maria pun merawat Ana dan Pedro bagaikan adiknya sendiri. Mulai dari sini, film The Wolf House segera berubah menjadi semakin surealis dan gelap. Rumah tersebut mulai berubah menjadi dunia yang mengerikan bagi Maria. Dinding-dinding bergeser, objek-objek berubah, dan semua semakin larut menjadi rangkaian mimpi buruk yang dibangun lewat rumah boneka kardus, tanah liat dan bubur kertas.
Mengetahui konteks sejarah tentang sekte Colonia Dignidad memang bisa membantu penonton untuk memahami beberapa elemen simbolisme dalam alur ceritanya. Contoh yang paling mencolok adalah ketika Maria mengubah dua ekor babi menjadi dua anak kecil berambut pirang dan bermata biru untuk “menyempurnakan” mereka. Tapi meskipun penonton tidak tahu konteks sekte Colonia Dignidad, seperti saya ketika pertama kali menontonnya, The Wolf House tetap bisa menjadi pengalaman mimpi buruk yang aneh sekaligus mengganggu di beberapa bagian. Penggunaan surealisme dalam film ini, ditambah dengan desain karakter yang tidak pernah terlihat sempurna, sangat membantu dalam menciptakan atmosfer dan mood yang meresahkan sekaligus menghantui para penontonnya dengan sangat efektif. Saya pribadi sangat suka dengan bagaimana film ini terus mengalir seperti melihat satu lukisan bercampur dengan instalasi seni yang terus berubah-ubah. Teknik seperti ini benar-benar berhasil menciptakan rasa tidak nyaman secara konstan. Setiap bingkai yang kita lihat terasa seperti karya seni yang hidup, dengan visual yang mengganggu. The Wolf House memang bukan sebuah film horor konvensional, tetapi temanya jelas sangat gelap karena menghadirkan banyak simbolisme seputar trauma kekerasan dan kekejaman di kehidupan nyata, disajikan lewat imaji-imaji janggal yang terkadang terasa menyeramkan.
Penggunaan teknik animasi stop-motion memang bukanlah hal baru dalam genre horor. Mungkin film Mad Monster Party? (1967) adalah yang pertama melakukannya, meskipun cenderung bergenre komedi fantasi. Selain itu ada juga film-film stop-motion bertema gelap lain yang beberapa cukup menghibur seperti The Nightmare Before Christmas (1993), Blood Tea and Red String (2006), Coraline (2009), hingga yang terbaru adalah Mad God (2021). Namun adalah film stop-motion Alice (1988) yang menurut saya paling mendekati dengan gaya The Wolf House, karena keduanya sama-sama memiliki banyak atmosfer surealis dan visual mengerikan, bagaikan menonton mimpi buruk seseorang yang sedang demam tinggi. Setelah menonton film horror psikologis berjudul Stopmotion (2023) beberapa bulan lalu, saya semakin mengapresiasi film-film yang sepenuhnya menggunakan teknik stop-motion seperti The Wolf House, karena proses pembuatannya yang bisa saya bayangkan sangat rumit dan tentunya membutuhkan dedikasi tinggi serta banyak waktu dari para senimannya. Film The Wolf House sendiri dikerjakan selama 5 tahun, dengan hasil akhir berdurasi 70 menitan saja. Bahkan kalau kita hanya melihat segi teknisnya saja tanpa peduli dengan kisahnya, The Wolf House tetaplah merupakan film yang sangat layak untuk ditonton.