MOVIE REVIEW: THE WAR OF THE WORLDS (1953)

THE WAR OF THE WORLDS
Sutradara: Byron Haskin
USA (1953)

Review oleh Tremor

Dalam sepanjang sejarah sinema sci-fi, ada beberapa karya penting yang begitu menonjol dan sangat berpengaruh bagi para penerus genre tersebut di kemudian hari, dari mulai A Trip to the Moon (1902), Metropolis (1927), The Day the Earth Stood Still (1951), 2001: A Space Odyssey (1968), Star Wars (1977), Alien (1979), The Terminator (1984), hingga The Matrix (1999). The War of the Worlds adalah salah satunya, mahakarya dari sutradara Byron Haskin yang naskahnya ditulis oleh Barré Lyndon. Namun nama penting di balik film ini adalah produser George Pal yang pada masanya sudah identik dengan genre sci-fi setelah sebelumnya merilis Destination Moon (1950) dan When Worlds Collide (1951). The War of the Worlds merupakan adaptasi dari novel klasik dengan judul yang sama, karya penulis asal Inggris H. G. Wells pada tahun 1897 yang bercerita tentang invasi bangsa alien ke bumi. Kisah dalam novel ini mungkin merupakan salah satu cerita paling terkenal dan berpengaruh dalam dunia literatur sci-fi hingga hari ini. Bukan hanya film, kisah ini juga diadaptasi dalam medium lain dari mulai serial TV, komik hingga versi album musikal. Namun adaptasi yang paling terkenal adalah siaran radio CBS yang mengudara tepat sebelum perayaan Halloween pada tanggal 30 Oktober 1938, disajikan dalam gaya siaran berita laporan yang merinci invasi alien ke bumi dengan mesin-mesin mematikan. Konon, sempat terjadi kepanikan massal ketika siaran radio ini mengudara di Amerika karena banyak pendengarnya yang ketakutan. Mereka percaya bahwa siaran tentang serangan alien ini adalah laporan sungguhan dan benar-benar sedang terjadi. Saya bisa sedikit membayangkan bagaimana di tahun 1938, masa di mana tidak ada internet untuk mengecek kebenaran berita, di mana siaran televisi juga masih sangat terbatas, radio adalah satu-satunya media yang bisa memberitakan keadaan darurat dan mau tidak mau harus dipercaya. Seandainya kita hidup di era itu dan ada berita yang terdengar serius muncul di radio tentang kehancuran kota-kota di seluruh dunia karena serangan alien, kemungkinan besar kita juga akan mempercayainya, setidaknya untuk beberapa belas menit pertama siaran. Sejak siaran radio CBS tersebut, novel The War of the Worlds menjadi lebih dikenal dan melegenda di Amerika Utara. Tak terhindarkan, pengaruh novel klasik ini tidak berhenti hanya pada berbagai bentuk adaptasi saja, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak sekali media hiburan setelahnya, dari mulai video game klasik Space Invaders, hingga banyak sekali kisah sci-fi tentang serangan alien berskala besar dengan nuansa apokaliptik seperti Lifeforce (1985), Independence Day (1996), Mars Attacks! (1996), A Quiet Place (2018), termasuk juga franchise yang baru-baru ini sedang saya tulis resensinya, Cloverfield.

H.G. Wells sendiri menulis novel The War of the Worlds sebagai sebuah karya sci-fi yang sarat dengan komentar sosial satir untuk negaranya, Inggris di tahun 1897. Sindiran Wells menargetkan pada kolonialisme Inggris pada masa itu terhadap penduduk asli di Afrika dan Asia menggunakan senjata dan artileri berat, teknologi militer yang sama sekali asing dan menakutkan bagi bangsa yang dijajah. Lewat novel War of the Worlds, Wells seakan ingin memperlihatkan kepada para pembacanya di Inggris, bagaimana seandainya invasi dan kolonialisme terjadi sebaliknya pada mereka sendiri lewat analogi bangsa alien yang teknologinya sudah jauh lebih canggih dibanding spesies manusia, sama seperti apa yang suku-suku Afrika dan Asia hadapi ketika kedamaian hidup mereka dihancurkan oleh kolonialisme Inggris. Namun, adaptasi film The War of the Worlds 1953 menghilangkan unsur komentar sosial dari novel tersebut dengan alasan yang cukup bisa diterima: produser George Pal menganggap adaptasi ini ditujukan untuk penonton Amerika modern yang memiliki situasi sosial yang berbeda dengan Inggris pada tahun 1897. Jadi, War of the Worlds versi film adalah bentuk adaptasi novel H.G Wells yang sangat longgar dengan banyak hal yang tidak benar-benar sesuai dengan novelnya. Meskipun begitu, film ini tetap memiliki komentar sosialnya sendiri terkait dengan konteks jamannya. The War of the Worlds dirilis 8 tahun setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, sebuah kehancuran total dan kepanikan massal yang kemudian digambarkan juga dalam adegan-adegan serangan alien di The War of the Worlds, dengan analogi yang kurang lebih sama seperti yang diajukan Wells tentang mengerikannya situasi serangan, agar penonton Amerika bisa membayangkan bagaimana seandainya kehancuran tersebut terjadi pada mereka.

Tahun 1953 mungkin benar-benar waktu yang tepat untuk merilis The War of the Worlds, membuat film ini menjadi begitu sukses. Faktor pertama adalah karena pada masa itu seluruh dunia, terutama Amerika, tengah dibayang-bayangi paranoia seputar kemungkinan terjadinya perang nuklir global dan Perang Dunia III pasca berakhirnya Perang Dunia II. Faktor kedua adalah antusiasme masyarakat umum Amerika terhadap UFO dan perjalanan antariksa sedang sangat tinggi pada saat itu berkat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang astrologi. Adaptasi film tahun 1953 ini kemudian menjadi adaptasi cerita The War of the Worlds yang paling terkenal sekaligus dihormati di seluruh dunia. Pada tahun 2005, sutradara Steven Spielberg mencoba untuk membuat remake dari film ini, namun dampaknya tidak akan pernah bisa menyaingi film originalnya.

Saya tidak ingin mengetik terlalu panjang tentang plotnya. Mungkin hanya intinya saja bahwa planet bumi diserang oleh bangsa alien dari Mars yang sedang mencari planet baru untuk mereka huni. Teknologi mereka jauh lebih canggih dibandingkan manusia. Tentara dari semua bangsa di planet bumi berusaha melawan dengan persenjataan tercanggih yang ada, namun semua usahanya gagal, hingga para pemimpin militer menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghentikan serangan alien ini. The War of the Worlds sendiri bukanlah film pertama yang menggambarkan kedatangan alien ke planet bumi. Masih pada tahun yang sama, sudah ada film-film seperti Invaders from Mars dan It Came from Outer Space yang dirilis beberapa bulan sebelumnya. Keduanya cukup menghibur, namun tetap tidak bisa menandingi kesuksesan The War of the Worlds. Apa yang membedakan The War of the Worlds dari kedua film tersebut adalah, plot The War of the Worlds terasa jauh lebih realistis, dari mulai bagaimana skenario populasi manusia merespon serangan ini, hingga pada keputusasaan massal yang berakhir dengan kerusuhan dan penjarahan, sesuatu yang bisa kita bayangkan sangat mungkin terjadi seandainya bumi benar-benar dihadapi bencana global tanpa jalan keluar. Selain itu, tidak seperti kebanyakan film sci-fi pada masanya, The War of the Worlds memiliki anggaran yang cukup tinggi, memungkinkannya untuk memproduksi film dengan kualitas produksi yang sangat fantastis untuk ukuran tahun 1953.

Menurut saya yang menonton film ini dengan kacamata modern, kekuatan utama dari The War of the Worlds bukan datang dari naskahnya, tetapi dari visual dan special effect-nya. Saya bisa membayangkan bagaimana special effect yang digunakan dalam film ini adalah terobosan canggih pada jamannya, yang membuat tim special effect The War of the Worlds berhasil meraih Academy Award pada tahun 1954. Mungkin special effectnya akan terlihat palsu kalau kita menggunakan kacamata modern. Tapi bayangkan bagaimana membuat adegan-adegan serangan alien dalam The War of the Worlds di tahun 1953, masa di mana pilihan CGI sama sekali belum tersedia. Semua dikerjakan secara praktikal yang penuh keterbatasan dengan kreatifitas tinggi, mulai dari penggunaan miniatur kota Los Angeles, animatronik, dan banyak sekali teknik praktis rumit untuk menciptakan penggambaran invasi masif yang pastinya terlihat sangat mengerikan bagi para penonton di jamannya. Salah satu hal yang paling ikonik dari kisah The War of the Worlds adalah mesin perang bangsa Mars, yang dalam novelnya digambarkan menjulang tinggi dengan tiga kakinya, tripod raksasa yang bergerak perlahan menghancurkan kota-kota yang dilewatinya. Desain ini terpaksa diubah dalam versi filmnya karena tim special effect mengalami banyak kendala teknis dan finansial untuk merealisasikan desain mesin perang versi novel menjadi nyata. Akhirnya, diputuskan mesin-mesin ini digambarkan seakan mengambang terbang perlahan dalam versi film. Dalam salah satu adegan, ilmuwan menjelaskan bahwa mesin-mesin ini sebenarnya memiliki tiga kaki berkekuatan medan magnetik, membuatnya tak terlihat oleh mata manusia. Kunci keberhasilan lain dari special effect film ini ada pada desain aliennya yang terlihat sangat nyata dan mengerikan pada jamannya. Bertubuh ganjil dengan kepala besar yang tak kalah ganjil, permukaan tubuhnya tampak seperti daging berkulit basah yang berlendir, berlipat-lipat, lengkap dengan urat nadi yang berdenyut, serta lengan dan jari-jarinya yang panjang kurus. Meskipun kemunculan sosok alien Mars dalam The War of the Worlds terlalu singkat, namun adegan kemunculannya ini sangat memorable dan menjadi salah satu momen paling horor dalam sepanjang durasi film ini. Adegan ini dieksekusi dengan pengarahan dan permainan bayangan yang sangat baik, membuat saya yakin bahwa adegan ini membuat penonton pada masa itu berteriak-teriak ketakutan di bioskop. Daya tarik utama The War of the Worlds juga terletak pada keputusan produser George Pal untuk memproduksi film ini menggunakan teknologi Technicolor yang sangat mengesankan pada masa itu.

Meskipun The War of the Worlds bukanlah film horror murni, tapi saya yakin menonton film ini pada tahun 1953 adalah pengalaman yang mengerikan bagi para penontonnya. Film ini sanggup memberi kualitas apokaliptik yang mengerikan sekaligus juga memukau secara visual dan atmosfer, dari mulai adegan kehancuran berskala besar, mesin tempur bangsa mars, hingga kepanikan massal menjelang akhir film. Tak bisa dihindari, sebaik apapun kualitas film ini pada masanya, tetap akan tergerus oleh jaman, terlihat konyol dan ketinggalan jaman hari ini, sesuatu yang wajar untuk sebuah film yang sudah berusia 72 tahun. Namun The War of the Worlds tetap menjadi mahakarya sci-fi klasik yang menyenangkan dan menghibur untuk ditonton bahkan untuk hari ini, dengan sound design yang sangat cocok, serta tempo cepat yang tidak bertele-tele dan ada banyak aksi di dalamnya. Mungkin satu-satunya kekurangan film ini bagi saya ada pada ending dan konklusinya yang terasa sangat anti-klimaks untuk selera modern, terasa dipaksakan dan kurang dramatis, meskipun penjelasan ilmiahnya sangat masuk akal. Tapi saya bisa memahami bahwa mungkin penonton film pada jaman itu tidak siap dengan ending film yang saya harapkan dari kisah-kisah apokaliptik: suram, nihilistik, kehancuran total. Bagaimanapun, terlepas dari kekurangannya, The War of the Worlds tetap menjadi satu film yang wajib ditonton oleh siapa pun yang tertarik dengan evolusi genre sci-fi.