THE SEASONING HOUSE
Sutradara: Paul Hyett
UK (2012)
Review oleh Tremor
Kalau biasanya saya selalu mendorong orang untuk menonton film secara buta tanpa membaca reviewnya terlebih dahulu, tapi kali ini saya melakukan hal sebaliknya. Siapapun yang belum pernah menonton film ini, harus tahu film macam apa The Seasoning House sebelum memutuskan untuk menontonnya. The Seasoning House adalah sebuah film survival / revenge horror yang provokatif, suram, terinspirasi dari kisah nyata, intens, dan mungkin tidak mudah bagi sebagian orang untung menonton film semacam ini. The Seasoning House merupakan debut penyutradaraan dari seorang seniman special makeup effect bernama Paul Hyett. Sebelumnya, karya makeup dari Paul Hyett sudah banyak menghiasi berbagai film horror dari mulai The Descent (2005), Doomsday (2008), Eden Lake (2008), The Children (2008), Attack the Block (2011), hingga The Woman in Black (2012). Anggap saja ini sebagai bentuk peringatan bagi mereka yang belum pernah menonton The Seasoning House: beberapa elemen dalam film ini bisa jadi cukup mengganggu dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi sebagian orang, dari mulai adegan penyiksaan, pembunuhan sadis, pelecehan fisik dan mental, dan pemerkosaan. Bakat luar biasa Paul Hyett dalam special makeup effect memungkinkan semua adegan tersebut tampak sangat realistis, meskipun The Seasoning House bukanlah film ber-genre torture porn. Separuh pertama dari durasi The Seasoning House memang sangat misoginistik dan brutal, namun semua itu adalah penggambaran dari fakta sejarah kelam yang pernah benar-benar terjadi selama berlangsungnya perang Bosnia, yang memang menjadi latar film ini. Sementara itu paruh keduanya berisikan usaha penyelamatan diri dari karakter utamanya. Film ini bisa menjadi sebuah pengingat bahwa kejahatan di dunia ini bisa mencapai titik yang paling biadab. Siapapun yang mencari film horror untuk bersenang-senang, jelas tidak akan mendapatkannya di sini. Apa yang lebih mengenaskan lagi adalah, pemerkosaan dan kekerasan juga masih banyak terjadi pada para perempuan dan gadis bawah umur di seluruh dunia hingga hari ini meskipun sudah tidak berbentuk kamp konsentrasi lagi seperti pada masa perang Bosnia.
Berlatarkan penghujung perang Bosnia tahun 1990-an, seorang gadis muda tuna rungu wicara bernama Angel harus menyaksikan bagaimana keluarganya dibantai secara brutal oleh tentara. Penderitaanya tidak berakhir di situ karena para tentara ini kemudian menjual Angel ke sebuah rumah bordil. Namun karena kondisinya yang bisu tuli, serta memiliki tanda lahir di wajahnya, pemilik rumah bordil berpendapat bahwa Angel tidak akan cukup “menjual” kalau dijadikan sebagai budak seks. Saya tidak akan menyebut istilah PSK di sini, karena para gadis malang yang dibawa ke rumah bordil secara paksa tersebut jelas bukan pekerja seks komersial. Mereka adalah tawanan perang yang dieksploitasi dan diperbudak secara seksual dengan kondisi hidup yang sangat memprihatinkan. Karena “tidak layak” untuk dijadikan budak seks, Angel pun diberi tugas lain dalam rumah bordil, yaitu mengurus para tawanan. Angel adalah satu-satunya budak perempuan yang bisa bebas berkeliaran dalam rumah pada jam kerjanya. Namun ia tidak pernah bisa pergi meninggalkan bangunan tersebut karena para penjaga selalu mengawasinya. Para gadis tawanan perang lain tidak “seberuntung” Angel. Mereka diikat pada ranjang di kamar masing-masing sepanjang hari untuk dijadikan objek pemuas hawa nafsu secara paksa oleh para pelanggan rumah bordil, yang kebanyakan adalah tentara. Pekerjaan Angel setiap hari adalah menyuapi makanan para tawanan, membersihkan tubuh mereka, mendadani mereka agar terlihat cantik bagi para pelanggan, kemudian membius mereka agar tidak terlalu memberontak saat diperkosa oleh pelanggan rumah bordil. Setelah itu, ia harus kembali membersihkan tubuh mereka yang baru saja diperkosa dan bahkan dipukuli oleh para pelanggan bajingan, mendadani dan membiusnya lagi untuk “tamu” berikutnya. Tidak ada waktu untuk beristirahat bagi Angel. Siapapun yang mendapat kesenangan dari menonton pekerjaan sehari-hari Angel ini sudah bisa dipastikan perlu berkonsultasi ke psikolog.
Di luar jam kerjanya, Angel hanya diperbolehkan berdiam diri di kamarnya sendiri. Tapi tubuhnya yang mungil memungkinkan Angel bisa berkeliaran lewat saluran ventilasi yang menyambungkan setiap ruangan dalam bangunan itu. Dan itulah yang ia lakukan setiap hari, mungkin untuk menjaga kewarasannya sambil terus mencari celah melarikan diri. Suatu hari, ia mulai berteman dengan salah satu gadis tawanan baru yang rupanya bisa berbahasa isyarat. Ini adalah pertama kalinya Angel bertemu dengan seseorang yang benar-benar bisa berkomunikasi dengannya sejak ia diculik. Sejak itu Angel mulai mendatangi sahabat barunya lewat saluran ventilasi hanya untuk berbincang-bincang dan memberinya cokelat setiap ada kesempatan. Pertemanan rahasia ini saling menguatkan mental keduanya. Saat suasana optimisme mulai muncul di tengah film, datanglah segerombol pelanggan: para tentara yang dulu membantai keluarga Angel. Angel yang saat itu masih berada dalam kamar teman barunya buru-buru kembali bersembunyi di saluran ventilasi. Dari dalam saluran ventilasi, Angel harus menyaksikan bagaimana sahabat barunya diperkosa sambil dipukuli hingga meninggal oleh salah satu tentara. Angel pun lepas kendali. Tanpa terlihat, ia keluar dari lubang ventilasi, merebut pisau dan menghujamkan tusukan dengan brutal pada tentara yang masih memperkosa tubuh sahabat baru Angel. Dari sinilah bagian pertama yang sangat suram dari film ini berakhir, dan kita memasuki bagian berikutnya dimana Angel harus mempertahankan diri sambil berusaha melarikan diri dari perburuan para tentara di dalam rumah Bordil yang sepertinya tak memiliki jalan keluar. Pada akhirnya, para penonton yang waras tidak saja berharap agar Angel bisa melarikan diri dari rumah bordil, tetapi juga berharap agar semua laki-laki dalam film ini terbunuh dengan sadis.
Meskipun karakter Angel dan berbagai aksinya murni fiktif, tapi ide utama The Seasoning House terinspirasi dari kisah nyata, karena film ini berlatarkan masa dimana tawanan-tawanan perang pernah benar-benar dijadikan budak seks selama perang Bosnia. Bahkan apa yang terjadi selama perang Bosnia mungkin jauh lebih mengerikan dibandingkan film ini. Dalam versi aslinya, para tawanan perang Bosnia tidak dijual ke rumah bordil melainkan dibawa ke lokasi-lokasi yang kemudian disebut sebagai “rape camps”. Salah satu lokasi “rape camp” paling terkenal adalah bangunan bekas hotel bernama Vilina Vlas. Di kamp konsentrasi seperti Vilina Vlas itulah para tawanan perang perempuan Bosnia disiksa, dipukuli, dan diperkosa setiap hari oleh para tentara Serbia. Sebagian besar dari mereka meninggal dengan mengenaskan, dan mereka yang berhasil selamat setelah perang berakhir mengalami kerusakan mental yang luar biasa. Fakta kelam sejarah inilah yang menjadikan The Seasoning House jauh lebih mengerikan dari film horor manapun.
Secara keseluruhan, menonton The Seasoning House bukanlah pengalaman menonton yang menyenangkan. Tapi karena itu pula saya memuji Paul Hyett dalam debutnya ini, karena ia sanggup menggambarkan tragedi yang dialami oleh para tawanan perang, terutama kondisi pahit yang harus dihadapi oleh para tawanan perempuan sambil memancing rasa frustrasi penontonnya. Secara visual, film ini juga sangat suram. Rumah bordil tempat Angel bekerja tampak sangat kumuh, kotor, menjijikkan, dan tidak ada satupun warna cerah yang terlihat. Sementara itu semua karakter laki-laki pengelola rumah bordil serta para tentara langganannya pun digambarkan sebagai manusia-manusia terburuk yang bisa kita bayangkan, dengan para gadis tawanan perang yang selalu ketakutan dan tidak berdaya. Selain dari plot dan pengaturan realistisnya, kekuatan film ini juga datang dari aktris pemeran Angel yang bermain dengan sangat baik. Ia adalah Rosie Day, dan Seasoning House merupakan debut film fitur-nya. Karena karakter Angel adalah seorang buta-tuli, maka tidak ada satupun dialog keluar dari mulutnya selama film ini berjalan. Namun ia tetap mampu mengekspresikan semuanya hanya lewat ekspresi dan bahasa tubuhnya saja. Tentu saja ini adalah hal yang luar biasa bagi seorang aktris dalam film debutnya. Satu-satunya hal yang sempat saya sayangkan dari film ini ada pada aksi pembalasan puncak Angel di penghujung film yang terasa “biasa saja” setelah kita melihat banyak kekerasan di awal film. Mungkin saya sudah terlanjur berharap kalau para laki-laki bajingan itu akan mati perlahan di tangan Angel dengan cara yang paling brutal, karena mereka jelas pantas mendapatkannya. Namun, saya ingat bahwa Angel bukanlah seorang tentara biadab yang ganas. Ia hanya seorang gadis kecil pintar yang berusaha untuk bertahan hidup, jadi tidak seharusnya saya kecewa dengan cara Angel membalaskan dendamnya. Di luar temanya yang sangat suram dan mengerikan, The Seasoning House adalah sebuah film debut yang dibuat dengan sangat baik dan membekas. Namun film ini tetaplah bukan untuk semua orang, terutama bagi mereka yang memiliki trauma kekerasan seksual.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com