MOVIE REVIEW: THE NIGHTMARE (2015)

THE NIGHTMARE
Sutradara: Rodney Ascher
USA (2015)

Review oleh Tremor

Sejak lama, saya selalu tertarik pada dunia mimpi, terutama mimpi buruk. Tak jarang saya meminta teman-teman saya untuk menceritakan ulang mimpi terseram yang sulit mereka lupakan dan membuat mereka enggan untuk kembali tidur. Seringkali, mimpi buruk yang menghampiri saat kita tidur bisa lebih menakutkan dan absurd daripada film horor manapun karena pengalamannya terasa lebih otentik. Namun ada yang lebih menyeramkan dari sekedar mimpi buruk, yaitu fenomena sleep paralysis, yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “ketindihan”, atau “eureup-eureup”. Rodney Ascher adalah seorang pembuat film dokumenter sekaligus penggemar horor. Lewat The Nightmare, Ascher mencoba membuat sebuah karya dokumenter yang mengeksplorasi fenomena ketindihan dengan perpaduan unik antara film horor dan dokumenter. Sebelumnya, nama Ascher mulai dikenal lewat karya debut dokumenter berjudul Room 237 (2012) di mana ia memberi ruang bagi para penggemar yang terlalu terobsesi dengan film The Shining (1980) untuk mengeksplorasi teori-teori mereka sendiri seputar pesan-pesan dan simbolisme tersembunyi (hingga tingkat yang paling absurd) yang mereka pikir sengaja disisipkan oleh Stanley Kubrick. Satu catatan kecil agar tidak membingungkan pembaca: pada tahun yang sama dengan dirilisnya The Nightmare karya Rodney Ascher, seorang sutradara asal Jerman bernama Akiz juga merilis sebuah film horor dengan judul yang sama. Film horor Jerman yang berjudul asli Der Nachtmahr tersebut sama sekali tidak memiliki kaitan apapun dengan The Nightmare yang saya tulis review-nya ini, dan rasanya cukup sial bagi Akiz karena karyanya sedikit tertutup dengan The Nightmare-nya Ascher yang distribusinya jauh lebih masif dan mendunia.

Saya pikir semua orang sudah tahu apa itu fenomena sleep paralysis / ketindihan, karena sebagian tentu pernah mengalaminya langsung sementara sebagian orang lainnya pernah mendengar ceritanya: tubuh seakan lumpuh dan terjebak di antara kondisi tertidur dan terjaga. Dalam The Nightmare, Ascher kembali menggunakan pendekatan seperti dalam dokumenter Room 237, di mana ia sepenuhnya memberi ruang bagi beberapa narasumber untuk menceritakan pengalaman dan sudut pandang mereka, tanpa menghakimi. Lewat the Nightmare, Ascher benar-benar hanya berfokus pada kesaksian pengalaman-pengalaman mengerikan yang dituturkan oleh delapan individu penderita sleep paralysis kronis dan bagaimana mereka berjuang dengan penderitaan tersebut setiap hari. Sebagian besar dari mereka melihat sosok bayangan dan pengelihatan menakutkan yang meneror mereka saat terjadi ketindihan. Lalu Rodney Ascher membuat adegan-adegan dramatisasi dari setiap penuturan cerita mereka dengan visual yang layaknya sebuah film horor. Kita juga akan mendengar bagaimana para penderita sleep paralysis dalam film ini berusaha mencari petunjuk dan jawaban atas apa yang mereka alami. Sebagian bahkan menemukan beberapa kesamaan dengan apa yang mereka alami dalam film-film horor populer, seperti A Nightmare on Elm Street (1984), Jacob’s Ladder (1990), dan Insidious (2010). Dari pengalaman terabsurd hingga yang paling umum, kisah mereka memiliki satu kesamaan: berusaha merasionalisasi dan memahami apa yang terjadi pada diri mereka. Dalam usaha mencari jawaban dan kesembuhan tersebutlah, kedelapan narasumber sampai pada berbagai kesimpulan teori yang mereka susun sendiri tentang apa yang terjadi atas diri mereka.

Memberi ruang aman bagi para narasumber untuk bebas membicarakan apapun yang mereka inginkan tanpa takut dihakimi mungkin adalah hal yang baik. Tapi, The Nightmare dipasarkan sebagai sebuah film dokumenter, yang sepatutnya berisi lebih dari sekedar kesaksian pengalaman, rekonstruksi dramatisasi, dan interpretasi subjektif atas fenomena tersebut. Sayangnya, Rodney Ascher sama sekali tidak memberi ruang untuk para ahli dan ilmuwan untuk menyampaikan sudut pandang berdasarkan ilmu pengetahuan modern. Padahal, kita semua tahu bahwa ketindihan dan halusinasi menyeramkan yang menyertainya, adalah fenomena global yang sudah bisa dijelaskan secara ilmiah dengan sangat masuk akal. Saya rasa Ascher memberi terlalu banyak perhatiannya pada teori-teori subjektif tanpa mengeksplorasi sisi ilmu pengetahuan tentang kesadaran manusia yang seharusnya sudah jauh lebih bisa dipahami, dan ini menjadi kelemahan terbesar dari The Nightmare sebagai sebuah film dokumenter. Para narasumber di dalam film ini dengan jelas menolak hasil diagnosa konsultasi mereka dari para profesional dan tetap berpegang teguh pada kepercayaan subjektif mereka sendiri: ketindihan sebagai fenomena supranatural. Saya bahkan menduga sebagian besar dari para narasumber seharusnya didorong untuk mencari bantuan kejiwaan profesional, karena halusinasi yang mereka alami semakin menjadi bagian dari realita bagi mereka, dan sepertinya ada banyak petunjuk yang bisa jadi berkaitan dengan skizofrenia dalam beberapa penuturan mereka. Seandainya saja sebagian durasi film digunakan untuk mewawancarai para ahli untuk membahas tentang ketindihan, tentu film dokumenter ini akan jauh lebih menarik.

Namun, sebagai sebuah film horor, beberapa adegan seram dalam The Nightmare dikerjakan dengan cekatan dan bagus. Tentu saja rasanya mengerikan ketika menyadari bahwa ada sesuatu hadir di dekat kita saat kita tidur, memperhatikan kita, dan kita tidak bisa berkutik sama sekali. Ascher mengolah pengalaman-pengalaman tersebut menjadi visual yang mencekam. Sebagian besar adegan rekonstruksi dan dramatisasi pengalaman ketindihan dalam The Nightmare terasa seperti sebuah mimpi sureal yang menyeramkan, didukung sinematografi yang menawan, kerja para aktor yang meyakinkan, hingga pembangunan ketegangannya yang efektif. Tetapi, tidak semua adegan rekonstruksi-nya bagus. Salah satu yang terlemah bagi saya ada pada rekonstruksi cerita salah satu narasumber yang percaya bahwa sosok yang mendatanginya di malam hari sejak ia kecil adalah alien. Kostum alien yang dikenakan oleh aktor ini tampak palsu, terlalu generik, dan cenderung terlihat konyol. Tapi ada yang menarik di sini. Selain munculnya alien grey alien, muncul juga sosok bayangan gelap yang mengenakan topi pada beberapa pengalaman ketindihan, sosok yang tentu saja mengingatkan saya pada Freddy Krueger. Karena dokumenter The Nightmare penuh dengan cocoklogi yang tidak ilmiah, saya pikir saya juga boleh menarik kesimpulan cocoklogi saya sendiri bahwa mungkin halusinasi yang muncul saat terjadi ketindihan bersifat kultural. Sejak kecil kita sering mendengar kisah-kisah ketindihan dari sekitar kita, dan kisah-kisah itu tentu terekam di alam bawah sadar kita, lengkap dengan visual yang otak kita intepretasikan berdasarkan deskripsi yang kita dengar. Kalau banyak penderita sleep paralysis di Indonesia merasa yakin bahwa sosok yang mengunjungi (bahkan duduk di atas dada) mereka adalah setan semacam genderuwo, maka cukup masuk akal kalau di Amerika sosoknya adalah Freddy Krueger atau grey alien, karena sosok-sosok itulah yang populer di sana. Alam bawah sadar mayoritas orang Amerika mungkin lebih umum untuk menghubungkan dunia mimpi buruk dengan Freddy Krueger dan grey alien dibandingkan setan yang kita kenal di Indonesia, karena alam bawah sadar kedua budaya yang berbeda ini merekam kisah-kisah yang berbeda sejak kecil. Bisa saya simpulkan, apapun imaji menyeramkan yang kita pikir kita lihat adalah visual yang dibentuk oleh otak kita sendiri berdasarkan kisah-kisah seram yang telah dijejalkan kepada kita sejak kecil.

Kembali ke kelemahan lain film The Nightmare, bagi saya adalah durasinya yang terlalu panjang dan diisi dengan terlalu banyak repetisi. Setelah hampir satu jam, saya mulai bosan dengan film ini dan bertanya-tanya apakah Rodney Ascher juga akan menghadirkan para pakar medis untuk membahas lebih lanjut tentang penyebab sleep paralysis (yang ternyata tidak ada). Pendekatan dokumenter ala Ascher memang cukup menarik karena tidak menggunakan narator. Ini tentu memberi kebebasan bagi penontonnya untuk menyimpulkan sendiri semua penuturan para narasumber. Tapi di sisi lain, tentu ini akan mengecewakan penonton yang berekspektasi akan mendapat pengetahuan dan fakta ilmiah tentang sleep paralysis, seperti apa yang biasa kita dapat dari sebuah film dokumenter. Karena pada akhirnya dokumenter ini tidak memberikan kesimpulan apapun selain hanya sejumlah penuturan pengalaman, rasanya ada sesuatu yang kosong ketika film ini berakhir. Mungkin ini karena ekspektasi saya terhadap sebuah film dokumenter terlalu tinggi. Satu-satunya hal yang menyelamatkan film ini adalah eksekusi adegan-adegan rekonstruksinya yang terasa mencekam dan menyeramkan. Pada akhirnya saya harus menerima bahwa mungkin gaya Rodney Ascher membuat film dokumenter memang seperti ini: tidak menambah pengetahuan apapun selain memberi ruang untuk orang berbagi pengalaman saja. Menonton The Nightmare mungkin sama seperti mendengarkan pengalaman menyeramkan yang dituturkan oleh teman kita sendiri, tanpa kita perlu tahu bagaimana penjelasan ilmiahnya. Menghibur, namun berakhir dengan tanpa makna.