fbpx

MOVIE REVIEW: THE NIGHTINGALE (2018)

THE NIGHTINGALE
Sutradara: Jennifer Kent

Australia (2018)

Review oleh Tremor      

The Nightingale adalah film feature ke-dua dari sutradara Australia Jennifer Kent, yang sebelumnya pernah membuat salah satu film horror favorit saya berjudul The Babadook (2014). Berbeda dengan debutnya tersebut, The Nightingale bukanlah film horor dalam artian genre. Tetapi menurut saya pribadi, dalam beberapa hal The Nightingale justru menjadi film yang lebih mengerikan daripada The Babadook, karena subjek dan plotnya menggambarkan kebrutalan tentara kolonial Inggris di pulau Tasmania sekitar abad ke-19 saat benua Australia mulai menjadi tanah jajahan. Tidak ada kengerian yang lebih besar daripada kisah tragis berdasarkan sesuatu yang pernah terjadi secara nyata, real-life horror. Sebagai peringatan awal, the Nightingale jelas bukan untuk semua orang, terlebih bagi mereka yang memiliki post-traumatic stress disorder (PTSD) tertentu. Para korban perkosaan dan mereka yang pernah kehilangan anak contohnya. Film ini dipenuhi dengan banyak trigger yang bisa saja membuat penontonnya mengingat hal-hal traumatis, dan dapat memunculkan kembali rasa trauma tersebut.

Berlatarkan tahun 1825 di sebuah pulau asing (yang hari ini dikenal sebagai pulau Tasmania di Australia), The Nightingale adalah kisah tragis tentang Clare, seorang narapidana perempuan Irlandia yang dibuang oleh otoritas Inggris di pulau tersebut bersama suaminya, Aidan, dan anak mereka yang masih bayi. Menjadi seorang perempuan di masyarakat misoginis, berkebangsaan Irlandia (yang juga adalah bangsa jajahan Inggris), sekaligus sebagai narapidana yang hidup di pulau antah berantah, hidup Clare terus-menerus menghadapi kesulitan. Selama ia menjalani masa hukumannya di tanah baru ini, ia berada di bawah kekuasaan seorang letnan tentara Inggris yang bejat dan kejam bernama Hawkins. Sebenarnya Clare sudah selesai menjalani masa tahanannya dan selama berbulan-bulan ia menunggu surat pembebasan dirinya diterbitkan. Namun sepertinya Letnan Hawkins tidak pernah berencana membebaskannya. Ketika Clare mencoba menanyakan soal kapan surat pembebasannya akan diterbitkan, Hawkins malah memperkosanya dan menyatakan bahwa ia adalah pemegang kendali atas hidup Clare. Aidan, suami Clare, adalah seseorang yang tempramental. Itulah mengapa Clare tidak menceritakan pada Aidan kalau Hawkins memperkosanya dengan keji, karena ia tak ingin surat pembebasannya dibatalkan. Clare hanya ingin keluarga kecilnya menjadi keluarga bebas. Iba dengan penantian Clare, Aidan akhirnya mencoba bertanya pada Hawkins soal nasib istrinya. Namun ia tidak mendapat jawaban memuaskan. Malam harinya Aidan kembali mendatangi Hawkins dalam keadaan mabuk, dan terjadi perkelahian di antara mereka. Setelah insiden ini, Hawkins yang tidak terima dengan perlakuan Aidan mengajak dua anak buahnya untuk mendatangi keluarga kecil Clare yang memang sudah berencana untuk kabur. Di dalam gubuk tempat Clare sekeluarga tinggal, Hawkins kembali memperkosa Clare di depan Aidan. Sambil diperkosa oleh anak buah Hawkins secara bergiliran, Clare harus menyaksikan suami dan anak bayinya dibunuh oleh Hawkins. Clare lemas tak berdaya. Ia pun akhirnya dipopor dengan senapan dan ditinggalkan begitu saja oleh ketiga tentara bejat tersebut.

Ketika Clare bangun, ia segera mencari keberadaan Hawkins yang rupanya sudah pergi menuju ke kota di daerah utara sejak subuh, di mana Hawkins akan mendapatkan promosi kenaikan pangkatnya. Pulau ini adalah pulau yg masih sangat liar, dan kota tujuan Hawkins adalah satu-satunya pemukiman koloni Inggris yang ada di sana. Jarak dari kamp tahanan menuju kota tersebut cukup jauh dan dipisahkan oleh hutan belantara yang masih sangat liar. Rombongan Hawkins harus berjalan kaki di dalam hutan tersebut selama berhari-hari untuk menuju kota tujuannya. Clare yang sudah tidak memiliki apapun akhirnya memutuskan untuk mengejar rombongan Hawkins dan para anak buahnya. Tujuannya hanya satu: membalaskan dendam. Namun untuk melewati hutan belantara dan mengenali jejak, ia harus memperkerjakan seorang penduduk asli aborigin yang bernama Billy untuk menjadi pemandunya di dalam hutan. Awalnya Clare memperlakukan Billy dengan sikap rasis yang sama seperti yang dilakukan oleh semua orang kulit putih di sana terhadap penduduk asli benua Australia di masa itu. Namun dalam perjalanan selama berhari-hari mengejar rombongan Hawkins, mereka berdua mengembangkan rasa saling hormat dan pertemanan yang kuat. Apalagi keduanya kemudian sadar bahwa mereka sama-sama korban dari kekejaman tentara kolonial Inggris. Dalam perjalanan inilah kemudian Clare dan Billy harus menghadapi banyak rintangan, dan penonton akan melihat lebih banyak lagi kekerasan rasial, penderitaan, kekejaman, pemerkosaan, dan pembunuhan.

Saya pribadi sepenuhnya mendukung keputusan dan semua kebimbangan Clare untuk melakukan apapun yang ia ingin lakukan terhadap para pemerkosa dan pembunuh yang sudah menghancurkan hidupnya. Ketika seseorang kehilangan segalanya, perasaan amarah, pahit, hampa dan keinginan untuk membalas rasa sakit adalah hal yang wajar, terutama dalam kasus Clare di mana otoritas pun tidak peduli dengan tragedi yang menimpanya. Menunggu keadilan di dunia yang tidak adil tentu tidak akan mengubah apapun. Jadi, saya paham betul apa yang Clare lakukan. Dia tidak akan kehilangan apapun lagi ketika ia memutuskan untuk memburu pemerkosanya, walaupun ia tidak memiliki rencana, strategi dan kesiapan mental sama sekali. Ia hanya memiliki amarah dan keputusasaan.

Meskipun plot besar The Nightingale adalah soal pembalasan dendam, tapi bukan berarti film ini berada dalam kelas yang sama dengan film-film rape revenge / exploitation semacam The Last House on the Left (1972/2009) dan I Spit on Your Grave (1978/2010). Jennifer Kent sepertinya memang tidak tertarik untuk membuat film yang dipenuhi dengan pertumpahan darah fantastis dan kesadisan berlebihan dalam menggambarkan aksi balas dendam, tetapi ia lebih berfokus pada realisme brutal dan gelap soal kolonialisme, misogini, dan rasisme. Keputusannya ini justru memperkuat sisi emosional dari penggambaran tentang penderitaan di dalam film ini. Walaupun banyak adegan yang memilukan seperti pemerkosaan, penggorokan, perbudakan, pembantaian penduduk asli, hingga pembunuhan bayi, tapi The Nightingale tidak menggambarkannya dengan berlebihan. Meskipun brutal, tanpa kompromi, dan sulit untuk ditonton bagi sebagian orang, The Nightingale bukanlah film eksploitatif. Dalam salah satu wawancaranya, Jennifer Kent mengatakan bahwa The Nightingale berisi penggambaran yang akurat secara historis soal kekerasan kolonial dan rasisme yang terjadi terhadap penduduk aborigin Australia pada masa itu. Dan sayangnya, ia benar.

Menariknya, saat film-film yang mengangkat era kolonial lainnya menggunakan sudut pandang laki-laki, protagonis utama dalam The Nightingale adalah seorang perempuan. Ini memungkinkan Kent untuk menulis cerita masa penjajahan dari sisi yang jarang diangkat dalam film-film sejenis. Pemerkosaan serta rasialisme jelas adalah sesuatu yang menjijikkan dan sulit untuk ditonton. Tapi perlu diingat bahwa lewat film ini kita hanya menontonnya saja. Apa yang dihadapi oleh bangsa terjajah di Australia dan di tanah jajahan manapun, apa yang kita tonton di film ini adalah pengalaman yang nyata bagi mereka. Secara keseluruhan, film The Nightingale adalah film yang luar biasa. Kengerian soal kehidupan nyata bagaikan neraka di bumi, dan mengetahui bahwa hal-hal mengerikan ini benar-benar pernah terjadi di dunia ini adalah hal yang memilukan.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com