MOVIE REVIEW: THE HILLS HAVE EYES (2006)

THE HILLS HAVE EYES
Sutradara:
Alexandre Aja
Amerika (2006)

Review oleh Tremor

The Hills Have Eyes adalah sebuah film remake dari karya klasik buatan Wes Craven tahun 1977 dengan judul yang sama, dimana dalam versi remake-nya (2006) ini, Wes Craven terlibat langsung sebagai executive producer. Mereka yang bukan penggemar film horror bisa saja tidak familiar dengan nama Wes Craven, tapi sudah pasti pernah mendengar beberapa karya besarnya minimal A Nightmare on Elm Street (1984) atau Scream (1996-2011). Ada sebuah anggapan umum mengenai film horror remake: film-film remake ditakdirkan untuk gagal dan akan menghasilkan film yang jauh lebih buruk dibandingkan film aslinya. Jujur saja saya adalah salah satu orang yang seringkali ragu setiap kali ada film remake baru dibuat, dan saya tahu betul kalau sikap saya itu salah. Setiap kali selesai menonton sebuah film remake yang buruk, saya pun sering bertanya-tanya, apa poinnya membuat remake film kalau hasilnya malah jauh lebih buruk dibanding film aslinya? Memang ada banyak film remake yang jelek, yang kalau saya sebutkan satu persatu disini tentu akan memakan banyak ruang. Tapi faktanya, ada banyak juga contoh proyek remake yang sangat berhasil di mata saya, seperti misalnya The Thing (1982), Dawn of the Dead (2004), Piranha 3D (2010), Evil Dead (2013), hingga yang terbaru seperti IT (2017). The Hills Have Eyes adalah salah satunya.

Sutradara dari The Hills Have Eyes versi 2006 adalah Alexandre Aja, seorang sutradara Prancis yang sebelumnya pernah sukses membuat film horror penuh kekerasan dan darah: Haute Tension / High Tension (2003). Wes Craven membuat pilihan yang sangat tepat saat ia mempercayakan Alexandre Aja untuk menyutradarai film ini. Siapa pun yang pernah menonton High Tension tentu saja tahu bahwa Alexander Aja adalah sutradara yang sangat sanggup mewujudkan adegan-adegan gore dan kekerasan dengan baik. Dan benar saja, remake The Hills Have Eyes bisa dibilang cukup sukses dan sangat sadis. Pada tahun-tahun berikutnya setelah berhasil me-remake The Hills Have Eyes, sepertinya Alexander Aja mulai keranjingan membuat remake film lainnya, dimulai dari Mirrors (2008) yang merupakan remake dari film Korea yang berjudul asli Into The Mirror (2003); dan Piranha 3D (2010), yang merupakan remake dari film tahun 1978 dengan judul yang sama.

Plot utama dan para karakter sentral dari The Hills Have Eyes 2006 sebenarnya sama persis dari versi originalnya. Dalam rangka merayakan ulang tahun pernikahan perak, sepasang suami istri bernama Bob dan Ethel Carter melakukan perjalanan liburan bersama ke-tiga anaknya, seorang menantu, serta cucu mereka yang masih bayi.  Keluarga Carter juga membawa anjing peliharaan mereka dalam perjalanan liburan ini, sepasang herder bernama Beauty dan Beast. Bob dan Ethel bersikeras untuk melakukan perjalanan ini lewat jalur darat menggunakan mobil dan trailer-nya, mungkin supaya momen kebersamaan bersama anak-anak dan cucu mereka lebih terasa dibandingkan kalau menggunakan pesawat dan langsung sampai di tempat tujuan. Karena mungkin intinya adalah menikmati perjalanan bersama. Sebelum melanjutkan perjalanan melewati area gurun, mereka memutuskan untuk berhenti dan mengisi bensin pada sebuah rumah reyot yang kebetulan merupakan sebuah toko sekaligus pom bensin kecil. Mungkin satu-satunya tempat pengisian bensin yang berada di kawasan gurun. Lelaki tua pemilik tempat tersebut memberi tahu pada Bob bahwa ada jalan pintas melewati perbukitan. Jalan pintas ini memang tidak ada di dalam peta, tetapi jelas akan menghemat waktu perjalanan mereka. Tapi dari sejak awal film ini dimulai, kita mengetahui bahwa lelaki tua ini bukanlah seseorang yg bisa dipercaya.

Akhirnya Bob memutuskan untuk mengikuti saran si kakek, memasuki jalan sempit melewat gurun yang berbukit-bukit. Saat anak-anak Bob yakin kalau mereka tersesat, tiba-tiba sesuatu menghancurkan ban mobil mereka. Mobil mereka oleng kehilangan kendali dan menabrak bongkahan batu besar hingga bagian depan mobil rusak berat dan as rodanya patah. Perbukitan ini memiliki mata yang terus mengawasi sejak mobil keluarga Carter memasuki area tersebut, dan jalan pintas yg mereka gunakan ternyata adalah sebuah jebakan maut. Di bawah terik matahari, keluarga Carter terdampar di tengah gurun pasir berbukit-bukit yang panas, jauh dari jalan raya utama dan pemukiman terdekat. Bob dan menantunya, Doug, kemudian memutuskan untuk berjalan kaki ke arah yang berlawanan untuk mencari bantuan terdekat yang bisa mereka temui, meninggalkan para wanita dan seorang bayi di bawah pengawasan putra bungsu Bob bernama Bobby yang masih ABG. Bobby dibekali pistol oleh ayahnya untuk melindungi keluarga mereka kalau-kalau ada ular atau kalajengking mematikan datang mendekat. Ya, Bob adalah gambaran dari kepala keluarga Amerika yang Amerika-banget, dimana senjata api adalah hal yang biasa saja. Apa yang keluarga Carter tidak sadari adalah bahaya yang mengintai mereka dari perbukitan bukanlah ular berbisa dan kalajengking saja. Nyatanya mereka terdampar di dekat situs di mana beberapa dekade sebelumnya, pemerintah pernah melakukan uji coba nuklir di area bekas pertambangan, yang membuat para mantan pekerja tambang yang menolak pergi meninggalkan pemukimannya menjadi sekeluarga monster mutan karena mutasi radioaktif. Para mutan ini kelaparan dan akan memangsa apapun demi bertahan hidup, termasuk daging manusia dan anjing. Mulai dari sini, semua kekacauan pun mulai terjadi. Liburan mereka berubah menjadi mimpi buruk dan para mutan datang untuk meneror keluarga Carter. Saat satu persatu adegan kekerasan mulai terjadi, seiring berjalannya waktu film ini menjadi semakin sadis dan intens.

Ada satu hal kecil yang diubah oleh Alexander Aja dalam versi remake ini, yaitu pada cerita latar-nya. Tapi justru perubahan inilah yang kemudian menjadi faktor penentu, menjadikan versi remake ini jauh lebih menarik dan mengerikan. Dalam film aslinya, keluarga Carter bukan diteror oleh mutan melainkan sekeluarga orang gila hasil kawin incest. Klan kanibal pedalaman padang pasir. Hanya ada satu karakter yang mengalami deformasi fisik dalam klan ini, sementara sisanya tampak seperti gelandangan biasa dengan pakaian compang camping dan wajah kotor karena tidak pernah mandi. Klan kanibal gila yang tinggal di dalam gua ini tampak seperti hibrid dari suku pedalaman barbar dengan manusia sisa-sisa peradaban. Dalam versi 2006, keluarga Carter diteror oleh kelompok yang jauh lebih mengerikan dari sekedar keluarga gila biasa. Beberapa puluh tahun sebelumnya, sekelompok pekerja tambang di sebuah gurun menolak pergi dari pemukiman mereka. Padahal pemerintah hendak menjadikan area tersebut sebagai tempat uji coba nuklir. Akhirnya uji coba tetap dilakukan, dan berdampak pada terpaparnya para mantan pekerja tambang dengan radiasi nuklir. Keturunan mereka yang terisolasi dari peradaban mengalami banyak deformasi tubuh karena mutasi sel akibat paparan radioaktif, dan menjadikan mereka tampak seperti monster. Cara klan mutan kanibal ini bertahan hidup salah satunya adalah dengan memburu dan memangsa para turis yg tersesat (atau sengaja dijebak). Mengubah struktur cerita latar The Hills Have Eyes 2006 adalah hal yang sangat brilian, dan membuatnya menjadi jauh lebih menyeramkan. Selain itu, pendekatan yang digunakan oleh Alexander Aja dalam memperkenalkan kelompok kanibal ini kepada penonton juga cukup berbeda. Dalam versi asli 1977, kita diperlihatkan terlalu banyak tentang bagaimana klan kanibal tersebut saling berinteraksi satu sama lain di tempat tinggalnya, menjadikan mereka tidak tampak misterius. Sementara dalam versi 2006, kita tidak banyak diperlihatkan tentang bagaimana kehidupan klan mutan ini sebenarnya, dan itu justru menambah sisi misterius dan mencekamnya. Hasilnya? Kita menemui banyak kejutan mengerikan saat salah satu anggota keluarga Carter mendatangi “kota” tempat para mutan ini tinggal, sebuah kota buatan penuh manekin yang sengaja dibangun oleh pemerintah puluhan tahun sebelumnya sebagai bagian dari lokasi uji coba nuklir. Dengan berbagai serangan brutal yang jauh lebih efektif , klan mutan ini juga jauh lebih pintar dan ganas dibandingkan keluarga gila dalam versi originalnya.

Kalau saya diminta untuk merekomendasikan hanya satu saja The Hills Have Eyes, sudah pasti saya akan memilih versi remake-nya. Tanpa mengurangi hormat saya pada versi originalnya, karena bagaimanapun juga tidak akan ada The Hills Have Eyes versi Alexander Aja tanpa adanya versi Wes Craven terlebih dahulu. Saya rasa The Hills Have Eyes 2006 adalah salah satu contoh film horror “mainstream” Hollywood yang paling berdarah yang pernah ada. Alexander Aja cukup diuntungkan karena memiliki privilege dimana ia dapat menunjukkan lebih banyak kekerasan dan special effect pada layar, sesuatu yang tidak bisa dilakukan Wes Craven di tahun 1977 mungkin karena keterbatasan bajet. Walaupun ide dasarnya sama dengan versi asli, dimana satu keluarga “beradab” diteror oleh kelompok “tidak beradab”, tetapi cukup menakutkan kalau kita melihat dari sudut pandang sebaliknya: sama seperti keluarga Carter, para mutan kanibal ini juga hanya mencoba untuk bertahan hidup, dengan cara mereka sendiri.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com