fbpx

MOVIE REVIEW: THE HALLOW (2015)

THE HALLOW
Sutradara: Corin Hardy
Irlandia / UK (2015)

Review oleh Tremor

Setiap kebudayaan pasti memiliki legenda, dongeng serta tahayulnya sendiri, dan selalu menarik untuk melihat bagaimana para pembuat film mengambil inspirasi dari hal-hal tersebut untuk dikembangkan menjadi film horror. The Hallow adalah salah satunya. Film creature horror dengan sedikit bumbu body horror yang mengisahkan tentang tahayul Irlandia seputar entitas supranatural penghuni hutan ini merupakan debut film fitur dari Corin Hardy, seorang sutradara asal Inggris yang sebelumnya banyak membuat video musik dengan klien-klien dari mulai Keane hingga The Prodigy. Selain berprofesi sebagai sutradara video musik, Hardy juga merupakan seniman visual dengan gaya artistik yang gelap. Namun di luar profesinya, ia adalah seorang penggemar horor sejak kecil. Dengan latar belakang dan minat pribadi seperti itu, tak heran kalau The Hallow cukup mengesankan dengan konsep monster yang menarik. Karena Hardy mengerjakan proyek ini dengan penuh hasrat terhadap genre horor, ia tahu betul apa yang ingin ia buat. Setelah membuat The Hallow, Corin Hardy pun dipercaya James Wan untuk menyutradarai film The Nun (2018).

Adam adalah seorang ahli tumbuhan yang ditugaskan oleh pemerintah untuk meneliti, dan mengidentifikasi pepohonan tua yang terinfeksi penyakit di sebuah hutan Irlandia. Nantinya pepohonan yang sudah ditandai akan ditebang secara bersamaan karena dianggap mengancam keberlangsungan keseluruhan hutan. Untuk mengerjakan penelitian ini, Adam membawa serta istrinya Clare, anak bayi mereka Finn yang baru berumur beberapa bulan, serta anjing mereka Iggy, untuk menetap di sebuah pondok tua di dekat hutan. Baru satu bulan Adam sekeluarga tinggal di sana, namun penduduk desa setempat sudah tidak menyukai kehadiran mereka. Para penduduk percaya bahwa hutan adalah teritori keramat yang tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena merupakan tempat tinggal banyak entitas supranatural yang sebaiknya jangan diganggu: peri hutan penculik bayi, manusia kerdil, banshee, pixie, dan sejenisnya, yang semuanya secara umum disebut sebagai “The Hallow”. Penduduk desa menganggap aktivitas Adam yang sering berkeliaran di dalam hutan adalah bentuk pelanggaran teritori dan akan membuat para penunggu hutan merasa terganggu dan marah. Apalagi mereka juga tahu bahwa pemerintah berencana menebang banyak pohon di hutan. Itu membuat para penduduk cemas. Mereka sudah memberi Adam peringatan bahwa apa yang ia kerjakan akan berakibat fatal: entitas-entitas mistis hutan akan melanggar balik teritori manusia. Namun Adam adalah seorang skeptis dari kota besar London, dan ia menganggap kepercayaan lokal seperti itu hanyalah tahayul yang tidak logis. Karena The Hallow adalah film horror, maka sudah bisa dipastikan kalau Adam salah besar. Ia seharusnya percaya dan mendengarkan peringatan penduduk desa, karena semua tahayul tersebut ternyata adalah hal yang nyata. Para penghuni hutan akhirnya mulai berdatangan untuk merebut apa yang paling berharga dalam hidup Adam.

Meskipun tidak ada hal baru di dalam plotnya, namun saya cukup terhibur dengan The Hallow karena ceritanya sederhana dan konsepnya menarik. Mungkin juga karena saya pribadi memang selalu tertarik untuk mendengar mitologi, folklore serta tahayul dari negara yang berbeda-beda. Dalam The Hallow, tahayul yang dipercaya penduduk desa memiliki pesan yang cukup sederhana dan umum: jangan mengganggu alam kalau tidak ingin diganggu. Corin Hardy berhasil membungkus kesederhanaan konsep ini dengan penuh kepedulian terhadap setiap elemen di dalamnya, dari mulai karakter, suasana, hingga para monsternya. Hardy juga cukup peduli dengan pacing, dan ia mengambil waktu yang cukup untuk menceritakan kisah ini tanpa terburu-buru namun tidak terasa bertele-tele, sambil menjaga atmosfer gelapnya secara konsisten. Saya pribadi menyukai bagian pertama dan kedua dalam film ini, di mana atmosfer mencekam dibangun secara perlahan sejak awal. Bagian pertama The Hallow difokuskan untuk memperkenalkan para karakternya dan konflik Adam dengan penduduk setempat, sambil sesekali menyisipkan petunjuk tentang misteri di dalam hutan. Film ini mulai bereskalasi semakin intens dalam bagian kedua yang dieksekusi dengan sangat baik. Pada bagian ini sosok-sosok misterius dalam kegelapan mulai berdatangan meneror rumah keluarga Adam, menjadikan The Hallow bagaikan film home-invasion dalam versi horor fantasi yang menegangkan sekaligus menyenangkan. Saya juga suka bagaimana Hardy tidak terburu-buru memperlihatkan monster-monsternya karena justru dari adegan-adegan teror tanpa penampakan wujud monsterlah seluruh ketegangan benar-benar tercipta, yang tentu saja didukung dengan musik latar serta sinematografi yang baik. Namun sayang sekali keberhasilan bagian kedua ini membuat kualitas ketegangan The Hallow terasa sedikit berkurang pada bagian ketiganya yang diisi dengan banyak aksi, drama, serta pengungkapan menjelang klimaks. Tapi saya paham, tentu sangat sulit untuk menjaga sesuatu tetap menakutkan setelah kita melihat wujud penuh para monsternya dan mengetahui bahwa mereka bisa dikalahkan. Namun pada bagian ini The Hallow sedikit kehilangan kekuatannya karena menunjukkan terlalu banyak pada penonton. Ini tentu bukanlah hal yang buruk, hanya saja bentuk keseruannya terasa berbeda.

Sebagai sebuah film monster, The Hallow juga tidak terlalu mengecewakan. Desain monster dalam The Hallow cukup menarik, dengan banyak unsur elemental organik yang sangat kuat yang berhubungan dengan tetumbuhan, akar dan fungi parasit. Para monster ini juga memiliki variasi bentuk serta ukuran yang berbeda-beda dan memiliki kesan bahwa usia mereka sudah sangat tua. Para peri hutan dalam The Hallow jelas bukan peri yang sama dengan Tinker bell dari kisah Peter Pan, tetapi sesuatu yang tampak jahat, buas dan mengerikan. Dari mulai siluet-siluet monster yang muncul di bagian kedua, hingga penyingkapan penuh di bagian terakhir, semuanya dikerjakan dengan baik secara visual. Di balik polesan CGI-nya, sosok monster-monster dalam film ini tetap diperankan oleh para aktor yang menggunakan kostum, serta penggunaan special effect tradisional seperti makeup prostetik hingga animatronik. Keputusan Corin Hardy untuk tetap menggunakan special effect tradisional adalah hal yang tepat, karena special effect tradisional selalu menjadi daya tarik besar bagi para pecinta film horor monster. Selain monster, lokasi hutan dalam The Hallow juga menjadi karakter tersendiri yang tak kalah mencekamnya. Pada saat film ini baru dimulai, semuanya tampak begitu indah dan damai seperti umumnya suasana hutan bagi mereka yang menyukai lintas alam. Namun ketika malam tiba dan para penghuni hutan mulai meneror, pemandangan hutan yang asri berubah menjadi lokasi yang misterius dan angker. Keberhasilan ini tak lepas dari kerja sinematografi karya sinematografer Martijn van Broekhuizen yang sangat pantas untuk diapresiasi.

Bicara soal plot, ada beberapa hal klise di dalam The Hallow, seperti pasangan kota yang arogan dan mengabaikan peringatan penduduk lokal, serta lokasi yang terisolasi jauh dari bantuan. Namun itu tidak menjadi soal karena pada akhirnya The Hallow tetaplah sebuah film yang menghibur, dieksekusi dengan baik, dengan kemampuan acting para pemerannya yang cukup meyakinkan. Dalam debutnya ini, sutradara Corin Hardy berhasil membuktikan bakatnya lebih dari seorang sutradara video musik biasa. Dan jelas ia adalah seorang penggemar film horor, karena saya merasakan ada banyak film-film klasik yang ia jadikan sebagai influence untuk membuat The Hallow, dari mulai Don’t Be Afraid of the Dark (1973/2010), Invasion of the Body Snatchers (1956/1978), Alien (1979), hingga The Fly (1986). Bagi saya, film The Hallow sendiri tidak bisa dibilang sebagai sebuah tontonan yang menakutkan, tapi lebih merupakan pengalaman menonton yang penuh ketegangan. Meskipun tidak akan menjadi film horor klasik di masa depan, tapi The Hallow cukup fun dan menghibur untuk ditonton.