THE DESCENT
Sutradara: Neil Marshall
UK (2005)
Review oleh Tremor
Tiga tahun setelah sukses lewat debutnya yang berjudul Dog Soldiers (2002), Neil Marshall yang sebelumnya lebih banyak bekerja sebagai editor kembali membuat sebuah film horor yang kemudian semakin meroketkan namanya sebagai seorang sutradara. The Descent adalah sebuah film horor yang cukup populer pada jamannya dan sebetulnya mungkin tidak perlu diperkenalkan lagi. Dalam film ini Marshall menggabungkan sub-genre survival horror dengan creature feature alias film monster dengan sangat mulus dan menyegarkan. Lewat The Descent, Neil Marshall membuktikan bahwa sebuah film yang berhasil dan efektif tidak selalu membutuhkan plot yang rumit.
Satu tahun setelah Sarah mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa suami serta anaknya, dua sahabat Sarah yang bernama Juno dan Beth mengajak Sarah untuk menjelajahi sebuah gua di tengah belantara. Sejak film ini dimulai, penonton sudah bisa memahami kalau mereka bertiga memang penggemar olahraga ekstrim. Jadi menjelajah gua ini merupakan usaha rekreasional para sahabat Sarah untuk membantunya bangkit dari duka. Selain itu Juno juga mengajak teman-temannya yang lain, Rebecca, Sam dan Holly. Akhirnya mereka berenam memasuki gua dengan Juno sebagai kepala tim. Di tengah penjelajahan, satu-satunya celah sempit tempat mereka masuk tiba-tiba runtuh. Kondisi ini membuat mereka terjebak di dalam gua bawah tanah yang gelap dengan peralatan yang terbatas. Lebih buruk lagi, semua ini terjadi tanpa adanya perencanaan evakuasi karena rupanya gua tersebut adalah sistem gua baru yang belum pernah dijelajahi sebelumnya. Apa yang harus mereka lakukan sebelum baterai senter-senter mereka habis adalah mencari jalan keluar dari sistem gua yang rumit dan gelap. Kegiatan penjelajahan gua yang awalnya bertujuan sebagai olahraga rekreasi kini berubah menjadi sebuah perjalanan yang mematikan. Situasi ini menjadi semakin buruk ketika mereka menyadari bahwa sistem gua tersebut dihuni oleh koloni makhluk humanoid kanibalistik yang kemudian mulai memburu mereka dalam kegelapan.
Apa yang membuat The Descent sangat efektif sebagai film horor adalah perasaan panik, claustrophobia serta rasa terisolasi yang konstan dan mencekam. Sutradara Neil Marshall sangat cekatan dalam menciptakan ketegangan lewat kegelapan gua bawah tanah yang mencemaskan dan penuh dengan keputusasaan. Ide tentang sekelompok orang terperangkap dalam labirin gelap jauh di bawah tanah tanpa peta, dengan dinding-dinding batu yang bisa saja runtuh sewaktu-waktu, tentu merupakan ide yang menakutkan, setidaknya bagi saya. Sebagai film horor, The Descent sudah berhasil menjadi film yang mengerikan dan sangat menegangkan bahkan sebelum para monster yang dalam credit-nya disebut sebagai “crawlers” itu muncul. Adanya elemen ancaman monster dalam film ini tentu menambah lapisan teror yang membuat The Descent semakin menyeramkan lagi. Sebenarnya penampakan The Crawlers sendiri tidak terlalu menyegarkan. Maksud saya, penampakannya agak terlalu generik yang mengingatkan saya pada mahkluk semacam Sméagol dari LOTR dalam versi yang lebih horor. Tapi itu bukan masalah. Apa yang menakutkan dari The Crawlers bukanlah bentuk fisiknya, tetapi cara mereka berburu mengendap-endap dalam kegelapan yang membuat mereka cukup sulit untuk diprediksi.
Judul film the Descent yang mungkin bisa diartikan sebagai “turun” dalam bahasa Indonesia, berbicara tentang beberapa “penurunan” yang berbeda. Yang pertama adalah turun secara harafiah, yaitu turun ke dalam sistem gua bawah tanah yang kompleks. Sementara turun yang kedua adalah penurunan dalam hal kewarasan. Sebelum Sarah dkk memulai ekspedisinya, Juno menjelaskan bagaimana terlalu lama berada dalam isolasi dan kegelapan bawah tanah bisa mempengaruhi munculnya halusinasi serta menurunnya kewarasan. Itulah mengapa ada beberapa fan theory sempat berlalu lalang dalam Reddit yang mendiskusikan alternate ending The Descent yang sedikit ambigu. Salah satu teori yang paling generik namun cukup menarik adalah bahwa gua yang mereka jelajahi merupakan representasi dari kejiwaan Sarah yang terganggu, dan crawlers tidak pernah benar-benar ada. Sayangnya para kreator The Descent tidak pernah mengkonfirmasi fan theory manapun. Bicara soal alternate ending, sebenarnya versi pertama The Descent disudahi dengan cukup happy ending, setidaknya untuk Sarah. Namun dalam versi yang lebih panjang, The Descent ditutup dengan cukup gelap dan nihilistik. Menurut saya ending yang kedua, yang sebelumnya saya sebut sebagai alternate ending ini jauh lebih pantas untuk sebuah film horor. Namun adanya alternate ending ini membuat film The Descent tidak lagi berkaitan dengan sekuelnya yang dirilis pada tahun 2010. Saya pribadi belum pernah melihat sekuelnya, dan saya lebih memilih untuk berpura-pura menganggap bahwa sekuel The Descent tidak eksis, karena rasanya satu film ini saja sudah cukup untuk kisah seperti The Descent.
Memang ada beberapa kelemahan dalam The Descent, tetapi tidak satupun yang sampai merusak efektivitas dan perasaan mencekamnya sama sekali. Salah satu kekurangan yang paling mencolok hanyalah penggunaan CGI yang buruk. Untungnya CGI buruk yang paling saya ingat hanya ada dalam adegan yang tidak terlalu penting pada awal film, yaitu adegan kelelawar beterbangan keluar dari celah gua. Selebihnya, untungnya The Descents banyak menggunakan special effect tradisional prostetik yang cukup bagus terutama pada makeup monsternya. Saya rasa hampir semua penggemar horor pasti pernah menonton The Descent. Tapi bagi mereka yang belum pernah melihatnya, film ini sangat saya rekomendasikan.