MOVIE REVIEW: TALES FROM THE DARKSIDE: THE MOVIE (1990)

TALES FROM THE DARKSIDE: THE MOVIE
Sutradara: John Harrison
USA (1990)

Review oleh Tremor

Setelah sukses membuat antologi horor berjudul Creepshow (1982) yang ditulis novelis horor Stephen King dan disutradarai master of horor George Romero, rumah produksi milik Romero, Laurel Entertainment, memutuskan untuk menggali potensi Creepshow ke ranah serial TV. Sebagai antologi berisi cerita-cerita pendek yang tidak saling berkaitan, tentu Creepshow sangat cocok untuk dijadikan serial TV. Sayangnya hak atas Creepshow dan elemennya dipegang oleh Warner Bros. Karena persoalan legalitas ini, Laurel Entertainment mau tidak mau harus menggunakan judul lain dan menghilangkan elemen-elemen yang dimiliki oleh Warner Bros. Tales From The Darkside adalah judul yang kemudian dipilih. Serial TV yang tayang mulai 1983 hingga 1988 ini mengeksplorasi konsep dan tema yang kira-kira sama dengan Creepshow, dan akhirnya menjadi antologi TV yang cukup diminati terutama oleh para penggemar Creepshow. Tiga tahun setelah dirilisnya Creepshow 2 (1987), Laurel Entertainment merilis Tales from the Darkside: The Movie, sebuah film antologi komedi horor sebagai spin-off dari serial TV-nya. Film ini adalah debut penyutradaraan John Harrison yang sebelumnya sempat ikut menulis beberapa episode dalam serial TV Tales From the Darkside. Karena sejarah perubahan nama dari Creepshow menjadi Tales from the Darkside, banyak penggemar horor menganggap film Tales from the Darkside: The Movie sebagai Creepshow 3. Salah satu master special effect Tom Savini yang banyak terlibat dalam film-film buatan Romero juga ikut membuat pernyataan bahwa Tales from the Darkside: The Movie jelas merupakan penerus Creepshow, karena selain dikerjakan oleh rumah produksi yang sama, juga ada keterlibatan Stephen King dan George Romero di dalamnya meskipun keterlibatan yang dimaksud hanya ada dalam satu segmen saja.

Seperti umumnya film antologi, Tales from the Darkside: The Movie dibuka dengan sebuah cerita bingkai yang berfungsi menjadi pengantar setiap cerita pendeknya. Segmen bingkai ini menceritakan tentang Betty, seorang penyihir modern yang hendak mempersiapkan jamuan makan malam. Menu utama dalam jamuan tersebut adalah Timmy, seorang bocah pengantar koran yang sudah Betty sekap sebelumnya. Betty memberi kue-kue pada Timmy untuk membuatnya lebih gemuk, serta sebuah buku kumpulan cerita horor untuk membuat Timmy tetap terhibur selama penyekapan. Jadi pada dasarnya ini adalah versi modern dari kisah Hansel and Gretel. Mengetahui bahwa Betty akan segera memasaknya, Timmy berusaha menunda kematiannya dengan cara meyakinkan Betty agar menginjinkannya membacakan cerita dari buku tersebut. Sambil Betty mempersiapkan peralatan masaknya, Timmy pun mulai membacakan cerita pertama. Saya sangat suka dengan betapa sederhananya cerita bingkai ini namun sangat efektif sebagai pengantar sebuah antologi.

Segmen pertama dari Tales From the Darkside The Movie yang berjudul “Lot 249” adalah adaptasi dari cerita pendek buatan Sir Arthur Conan Doyle tahun 1892. Adaptasi ini ditulis oleh Michael McDowell, yang sebelumnya sukses menulis film Beetlejuice (1988). “Lot 249” bercerita tentang seorang mahasiswa bernama Edward Bellingham yang sedang berusaha mendapatkan beasiswa. Usahanya gagal karena dicurangi oleh teman sekelasnya yang bernama Susan dan Lee dengan cara diam-diam mencemarkan nama Bellingham. Kebetulan Bellingham kuliah sambil bekerja sebagai pedagang artefak langka. Suatu hari ia membeli sebuah peti kemas bernomor 249 yang berisi mumi dari Mesir kuno, lengkap dengan scroll berisi mantra yang bisa membangkitkan sang mumi menjadi mesin pembunuh. Bellingham pun segera membangkitkan mumi itu untuk membalaskan dendamnya. Ini adalah segmen yang sangat komikal, ringan, menyenangkan sekaligus cukup berdarah walaupun tidak terlalu graphic. Apa yang saya suka dari kisah mumi ini adalah hadirnya vibe slasher yang sangat kuat, terutama setiap kali sang mumi mengendap-endap bersiap untuk membunuh.

Antologi berlanjut ke cerita kedua, yang merupakan adaptasi dari cerpen buatan Stephen King pada tahun 1977. Judulnya adalah “The Cat from Hell”. Adaptasi kisah ini ditulis oleh rekan kerja King dalam Creepshow, George Romero. Sebenarnya segmen ini awalnya ditulis untuk Creepshow 2 (1987), namun akhirnya tidak terpilih karena dari lima cerita yang sudah disiapkan, Creepshow 2 hanya memuat tiga cerita saja. The Cat from Hell bercerita tentang seorang milyarder tua yang menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa seekor kucing hitam yang berkeliaran di dalam rumah mewahnya. Pria tua ini yakin kalau kucing tersebut adalah kucing evil pembunuh yang sebelumnya sudah menyebabkan kematian para penghuni rumah dan menyisakan pria tua itu sebagai korban terakhir. Meskipun tugasnya terdengar sederhana dengan bayaran bernilai fantastis, ternyata ini bukan tugas yang mudah bagi sang pembunuh bayaran. Sepintas kucing dalam “The Cat from Hell” memiliki konsep yang mirip dengan kucing dari film berjudul The Shadow of the Cat (1961) yang bercerita tentang seekor kucing yang membalas dendam dengan cara membunuh orang lewat kecelakaan-kecelakaan, seperti menghalangi kaki korbannya agar terjatuh saat menuruni tangga. Bedanya, kucing dalam “The Cat from Hell” jauh lebih agresif dan sadis, dengan salah satu adegan pembunuhan spektakuler ala Creepshow yang pastinya akan diingat oleh para penonton.

Tales From the Darkside The Movie berlanjut ke segmen terakhir, berjudul “Lover’s Vow”. Kisah ini adalah adaptasi dari salah satu cerita rakyat yōkai Jepang dalam buku “Kwaidan: Stories and Studies of Strange Things” (1904) yang ditulis ulang oleh Michael McDowell untuk film antologi ini. Kisahnya berfokus pada Preston, seorang seniman yang tertekan. Suatu malam, ia menyaksikan peristiwa yang mengerikan dan sulit dipercaya di sebuah lorong gelap: patung gargoyle dalam versi hidup mencabik kepala kawan Preston hingga putus tepat di depan matanya sendiri. Preston mencoba melarikan diri namun monster itu berhasil menghadangnya. Sang gargoyle mengatakan bahwa ia tidak akan membunuh Preson selama Preston bersumpah untuk tidak pernah memberi tahu pada siapapun seumur hidupnya tentang apa yang baru saja terjadi. Preston menyanggupi sumpah itu karena ketakutan, dan sang monsterpun terbang menghilang di kegelapan malam. Tak lama kemudian Preston bertemu dengan seorang perempuan penyendiri bernama Carola dan mereka segera saling jatuh cinta. Singkat cerita, mereka membangun hubungan yang lebih serius, berkeluarga, dan Preston mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri: apakah ia sanggup melanggar sumpahnya pada sang Gargoyle demi membuktikan kejujurannya pada perempuan yang ia cintai? Untuk menutup antologi ini, kita kemudian kembali ke cerita bingkai di mana Timmy mulai kehabisan waktu dan sang penyihir tidak ingin mendengar lebih banyak cerita karena ia harus segera memasak Timmy. Memang cerita bingkai ini terasa lemah dan terlalu “manis” kalau dibandingkan dengan tiga segmen di dalamnya. Berbeda dengan segmen-segmen lainnya, segmen bingkai ini tampak seperti ditujukan untuk penonton anak-anak. Tapi itu bukan masalah karena cerita bingkai bukanlah fokus dalam antologi ini. Fungsi dari segmen bingkai ini hanya untuk menjadi pengantar saja.

Sama seperti Creepshow 2 yang hanya berisi tiga segmen saja, keputusan tersebut memungkinkan setiap cerita memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan karakter dan memberi penonton kesempatan untuk memahami ceritanya tanpa terasa diburu-buru. Tiap segmen utama dalam antologi ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, namun secara keseluruhan Tales from the Darkside: The Movie adalah film yang sangat menghibur. Banyak momen menyenangkan di sepanjang film berkat beberapa humor gelap dan tak lupa dibumbui dengan beberapa adegan gore komikal yang juga menghibur. Tapi kalau saya diharuskan menjawab segmen mana yang paling lemah, mungkin jawaban saya adalah “Lover’s Vow”. Bukan karena segmen tersebut jelek. Justru sebaliknya, “Lover’s Vow” adalah segmen yang bagus. Kisah dalam segmen ini adalah satu-satunya kisah yang terasa paling serius dibanding dua segmen sebelumnya. Namun karena keseriusannya itu “Lover’s Vow” seakan berada dalam antologi yang salah. Setelah kita menyaksikan dua segmen yang terasa sangat fun, sederhana, komikal dan tidak serius, tiba-tiba antologi ditutup dengan segmen beralur lambat, dewasa, dengan unsur horor yang bisa dibilang agak minim. Mungkin satu-satunya hal komikal dalam Lover’s Vow adalah wujud dari monster gargoyle-nya sendiri, yang kemudian menjadi semacam maskot tidak resmi dari Tales From the Darkside. Wajahnya tidak menyeramkan, bahkan cenderung terasa lucu mungkin karena desain matanya, meskipun ia dengan mudah mencabik kepala manusia terlepas dari tubuhnya. Namun salah satu peragaan special effect tradisional terbaik di sepanjang film ini ada dalam segmen “Lover’s Vow”, yaitu dalam satu adegan transformasi tubuh. Adegan ini (ditambah dengan adegan pembunuhan kedua terakhir di “The Cat from Hell”) bisa menjadi contoh mengapa special effect tradisional tetap akan lebih unggul dibandingkan CGI. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa realistisnya, seburuk apapun properti yang digunakan.

Meskipun ada banyak antologi horor yang lebih baik, namun Tales from the Darkside: The Movie tetap menjadi sebuah fitur debut yang cukup memuaskan, dan yang terpenting adalah sangat menghibur seperti seharusnya sebuah antologi. Belum lagi kekuatan lain dari film ini, yaitu cast-nya, di mana kita bisa melihat Steve Buscemi sebelum era Tarantino, Christian Slater, Debbie Harry (vokalis band Blondie), serta Julianne Moore di mana film ini adalah debut layar lebarnya. Sayang sekali Tales From the Darkside tidak pernah berlanjut menjadi sebuah franchise tersendiri, padahal saya pikir ada banyak potensi di dalamnya untuk meneruskan tradisi antologi horor yang ringan, kreatif, dan menghibur.