MOVIE REVIEW: SCARE ME (2020)

SCARE ME
Sutradara:
Josh Ruben
USA (2020)

Review oleh Tremor

Kalau hanya melihat dari posternya saja, Scare Me bukanlah jenis film yang akan saya tonton. Saya akui kalau saya memang punya kecenderungan melihat desain poster sebagai salah satu bahan pertimbangan sebelum menonton. Tapi saat saya membaca sekilas sinopsis film ini di halaman IMDb, saya terburu-buru berasumsi bahwa Scare Me adalah film antologi horor komedi. Seburuk apapun desain posternya, format antologi selalu menarik minat saya. Seperti biasa, saya tidak mencari tahu lebih banyak lagi. Saya langsung menontonnya secara buta dengan tentunya tidak lupa untuk merendahkan ekspektasi, berjaga-jaga kalau filmnya memang seburuk desain posternya. Namun rupanya Scare Me bukanlah film antologi seperti yang saya duga. Memang ada beberapa cerita pendek dalam film ini, tetapi disajikan dengan cara yang tidak biasa, dan agak sulit untuk menyebutnya sebagai “film antologi”. Belakangan sebelum menulis review ini, saya baru tahu bahwa pada tahun yang sama, dirilis juga satu film lain dengan judul yang sama, Scare Me, yang kebetulan justru merupakan antologi sungguhan horror kelas-B dengan premis yang mirip dengan Scare Me yang saya tonton. Tapi saya tahu pasti kalau saya tidak salah membaca sinopsis atau salah menonton film, atau tertukar di antara dua Scare Me. Saya ingat betul desain posternya. Untungnya, Scare Me yang saya tonton tidak seburuk posternya, jadi saya sama sekali tidak merasa kecewa meskipun asumsi awal saya tentang format antologi salah. Sebaliknya, saya justru merasa terhibur dengan kejutan kecil ini. Pada dasarnya Scare Me merupakan sebuah film komedi tentang story-telling dengan bumbu horor. Ini adalah debut penyutradaraan fitur dari salah satu pendiri CollegeHumor bernama Josh Ruben yang sebelumnya sudah membuat banyak film pendek dan sketsa komedi. Dalam film ini ia tidak hanya menyutradarai dan menulis saja, tetapi juga ikut bermain sebagai karakter utamanya. Scare Me pertama kali diputar di Festival Film Sundance pada tahun 2020 hingga akhirnya platform streaming khusus horor / thriller Shudder membeli hak tayangnya. Satu tahun setelah merilis Scare me, Josh Ruben kembali dengan fitur keduanya, sebuah komedi horor berjudul Werewolves Within (2021) yang kemudian mendapatkan penghargaan untuk kategori “Best Indie” dalam Hollywood Critics Association Midseason Award.

Tidak banyak yang bisa ditulis soal plotnya, karena pada dasarnya premis Scare Me hanya menampilkan dua orang yang saling bertukar cerita seram. Fred adalah seorang pria yang ingin menjadi penulis horror. Ia menyendiri dalam sebuah kabin musim dingin yang ia sewa untuk memulai usaha penulisan perdananya. Saat sedang jogging, Fred tidak sengaja berjumpa dengan Fanny, seorang novelis horror perempuan yang sukses. Salah satu novel horrornya berjudul Venus sempat menjadi best-seller. Rupanya Fanny menyewa kabin dekat situ juga untuk mempersiapkan novel barunya. Mencoba membuat Fanny terkesan, Fred mengaku sebagai penulis horror juga. Malam harinya, listrik di area tersebut padam. Kondisi ini mempertemukan kembali Fred dan Fanny. Sambil menunggu listrik kembali menyala, Fanny melontarkan gagasan menarik untuk menghabiskan waktu: saling menakut-nakuti dengan cara bertukar cerita horror satu sama lain di depan perapian. Meskipun premisnya sederhana, tapi ada banyak hal tersirat di dalamnya, dengan yang paling menonjol adalah studi karakter dan beberapa komentar sosial yang sama sekali tidak terasa seperti menggurui. Fred adalah seseorang laki-laki yang rapuh, tidak berbakat, dan dipenuhi insecurity. Sejak awal Fred sudah merasa bahwa Fanny adalah saingannya, dan kerapuhan mental “laki-laki”-nya terusik, merasa bahwa tidak seharusnya ia “dikalahkan” oleh seorang perempuan. Sementara itu Fanny sama sekali tidak melihat permainan mereka sebagai persaingan. Ia adalah seorang perempuan dengan kepribadian yang lebih dominan, kreatif, blak-blakan, kritis dan yang terpenting adalah ia merupakan seorang pengarang cerita yang jauh lebih baik dari Fred. Sepertinya Fred sulit menerima kenyataan ini. Mimpi untuk menjadi seorang penulis horor seakan-akan hancur begitu saja saat ia merasa saingannya, Fanny, jauh lebih superior. Insecurity Fred semakin bertambah saat seorang pengantar pizza, Carlo, yang juga seorang penggemar cerita horror ikut bergabung dengan Fred dan Fanny. Tampak jelas bahwa Carlo pun adalah pengarang cerita yang baik dan memiliki vibe yang lebih diapresiasi oleh Fanny. Seiring durasi film terus berjalan, kita semakin mengenal seperti apa karakter Fred yang sebenarnya, termasuk sisi-sisi gelapnya. Hal lain yang dibahas dalam film ini juga adalah tentang orisinalitas sebuah cerita, hingga soal plagiarisme dalam penulisan yang disengaja maupun tidak disengaja. Tapi karena ini adalah film komedi, semua persoalan yang diangkat oleh Josh Ruben dibungkus dengan sangat ringan dan menyenangkan.

Secara garis besar, Scare Me adalah film tentang story-telling yang dieksekusi dengan sangat baik. Saya tahu itu tidak terdengar spesial, karena menuturkan cerita adalah hal yang sepertinya biasa saja. Hampir semua orang pasti pernah saling bertukar cerita seram dengan teman-temannya, dan setiap orang tua pasti pernah membacakan buku cerita pada anak-anak mereka. Tetapi ada berapa banyak yang bisa menuturkan cerita dengan sangat baik sampai para pendengar begitu terbawa dalam suasana hanya lewat imajinasinya sendiri? Mungkin hanya drama radio dan audiobook yang bisa melakukannya, didukung dengan sound-design dan cara variasi gaya vokal yang sesuai dengan setiap karakter dalam cerita. Seperti itulah kira-kira isi film ini, menggabungkan drama radio dengan pertunjukan teater, dengan kabin sebagai panggungnya. Kisah-kisah pendek dalam film ini pun bervariatif, dari mulai kisah tentang werewolf, kakek yang menyeramkan, troll, dan banyak lagi. Tidak ada hal yang baru dalam kisah-kisah sederhana yang Fred dan Fanny ceritakan, karena ternyata inti film ini bukanlah kisah-kisah pendek tersebut. Itulah mengapa saya enggan menyebutnya sebagai antologi. Kisah-kisah horor dalam Scare Me tidak disajikan dalam bentuk film pendek seperti yang umumnya ditemukan dalam film antologi. Jadi kalau para penonton mengharapkannya antologi seperti Creepshow (1982) atau Tales from the Darkside (1990), kalian tidak akan mendapatkannya di sini karena Scare Me sangat berbeda dari yang kita bayangkan tentang definisi antologi. Sebaliknya, Scare Me mengajak penonton tetap berada di kabin bersama Fred dan Fanny untuk menyaksikan bagaimana kedua karakter ini bergantian menuturkan kisah karangan mereka masing-masing dengan sangat dramatis, ekspresif, sambil didukung dengan pencahayaan yang sangat mencekam disertai visual-visual sugestif yang hanya bisa dilihat oleh penonton. Semua visual dan desain suara yang menyertai setiap cerita ini pada akhirnya memancing imajinasi para penonton untuk ikut terlibat di dalamnya. Meskipun hanya menonton dua karakter saling bercerita, tetapi film ini terasa menyenangkan sekaligus mendebarkan di beberapa bagian. Ini adalah pengalaman menonton yang berbeda dari menonton film horor tradisional.

Saya bisa memahami mengapa film ini kemudian memecah belah pendapat para penggemar horror, antara mereka yang menyukai konsep film ini, dengan mereka yang merasa membuang-buang waktu setelah menontonnya. Kalau dibayangkan, mungkin menonton dua orang saling bercerita kisah horror bisa terdengar membosankan. Apalagi satu-satunya lokasi dalam film ini hanyalah di dalam kabin saja. Tapi ternyata film ini sama sekali tidak membosankan, setidaknya bagi saya. Mungkin ini subjektif, karena saya memang suka mendengarkan cerita, apalagi kalau ceritanya dituturkan dengan sangat baik seperti yang dilakukan oleh Fred, Fanny dan Carlo. Apa yang menyelamatkan film ini adalah penampilan para aktornya. Josh Ruben dan Aya Cash, aktris pemeran Fanny, benar-benar berperan dengan sangat maksimal. Mereka hanya mengandalkan bahasa tubuh, dialog dan vokal mereka saja untuk menciptakan suasana dalam setiap cerita. Chemistry keduanya juga terasa cukup baik, ditambah dengan banyak momen komedi dengan timing yang sempurna. Aktor Chris Redd pemeran Carlo juga datang di waktu yang tepat. Ia memainkan peran kecil yang menyelamatkan film ini dari rasa bosan. Namun adalah karakter Bettina, seorang supir taksi yang muncul sangat sebentar di awal film lah yang menurut saya karakter paling menghibur sekaligus menyebalkan. Nantinya Bettina akan kembali muncul di tengah-tengah credit title penutup, dengan konklusi karakter yang juga menyenangkan. Jadi jangan berhenti menonton film ini hingga scene yang saya maksud muncul.

Perlu dicatat bahwa Scare Me bukanlah film horror murni, dan film ini tidak akan membuat penontonnya ketakutan meskipun judulnya adalah Scare Me. Jadi jangan berharap adanya jumpscare, isi perut terburai, penampakan hantu atau darah berember-ember dalam film ini. Pada dasarnya Scare Me adalah film komedi, yang dipenuhi dengan banyak referensi yang bisa membuat penggemar film horror terhibur. Babak ke-tiga film ini sebenarnya bisa dibilang memasuki teritori horror tanpa komedi, meskipun babak ini tidak memberikan sesuatu yang baru bagi penonton horror. Saya bisa membayangkan bahwa tidak semua orang akan menyukai film ini. Mungkin Scare Me hanya bisa dinikmati kalau penontonnya mau ikut berimajinasi secara aktif. Para penonton yang tidak menyukai cerita-cerita horor sederhana yang dituturkan secara lisan ditambah gerak tubuh tanpa adanya satupun action bisa jadi akan cepat merasa bosan dengan Scare Me. Tapi bagi mereka yang ingin mencoba pengalaman menonton yang berbeda, menurut saya Scare Me adalah cara yang menyenangkan dan ringan untuk menghabiskan waktu selama satu setengah jam.