LA LLORONA
Sutradara: Jayro Bustamante
Guatemala (2019)
Review oleh Tremor
La Llorona adalah film drama horror karya penulis / sutradara asal Guatemala, Jayro Bustamante. Ini adalah fitur ketiga Bustamante setelah sebelumnya pernah membuat film drama yang sempat dinominasikan dalam Academy Award untuk kategori Best Foreign Language berjudul Ixcanul (2015), serta Temblores (2019). Pada tahun 2019, franchise blockbuster The Conjuring Universe memproduksi sebuah film horor generik berjudul “The Curse of La Llorona”. Saya pribadi tidak berminat untuk menontonnya. Tapi dari review-review yang sempat saya baca, film tersebut dianggap cukup gagal oleh banyak penggemar horror. Ini sangat disayangkan, karena adanya film “Curse of La Llorona” bisa membingungkan banyak orang yang mendengar tentang film “La Llorona” yang akan saya bahas. Jadi, jangan tertukar. Film yang akan saya tulis di sini bukanlah bagian dari The Conjuring Universe, melainkan film asal Guatemala. Lalu mengapa kedua film tersebut memiliki judul yang mirip? Karena keduanya menggunakan dasar yang sama, yaitu legenda La Llorona yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Amerika Latin selama beberapa generasi. Film Curse of La Llorona yang diproduseri oleh James Wan adalah sebuah contoh bagaimana cerita rakyat dari budaya lain (dalam hal ini Amerika Latin), kemudian di-Amerika-kan. Sebuah narasi yang biasa disebut white-wash. Mungkin itu sama dengan kalau James Wan ingin mengadaptasi kisah kuntilanak dalam versi Amerika. Tentu tidak akan berhasil. Sementara itu, film La Llorona ini adalah karya dari sutradara berdarah latin asli yang sejak masa kecilnya memang tumbuh bersama legenda La Llorona.
Karena film La Llorona pada awalnya memang dibuat untuk masyarakat Guatemala, maka diasumsikan bahwa para penonton sudah familiar dengan legenda La Llorona. Jadi film ini tidak menceritakan tentang legenda tersebut secara detail sama sekali, karena sudah pasti penduduk Guatemala tahu betul tentang kisah La Llorona sejak mereka kecil, sama seperti kita hafal tentang bagaimana riwayat kuntilanak dan sundel bolong secara umum. Dan karena kita bukan penduduk Amerika Latin, mungkin film ini akan sedikit membingungkan kalau kita tidak mengetahui legenda aslinya terlebih dahulu. Jadi mau tidak mau saya harus menuliskan ulang kisah dasar cerita rakyat Amerika Latin La Llorona di sini.
Di Amerika Latin, La Llorona (yang kira-kira artinya adalah “The Wailing Woman” atau Perempuan yang Meratap) adalah sebuah legenda tentang hantu perempuan yang sering menculik dan menenggelamkan anak kecil di sungai. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang merasa tidak dicintai oleh suaminya. Ia juga merasa cemburu pada anak-anaknya karena suaminya lebih mencintai mereka dibanding dirinya. Suatu hari perempuan ini memergoki suaminya dengan perempuan lain. Ia pun lepas kendali dan mengekspresikan kesedihan serta amarahnya dengan cara menenggelamkan kedua anaknya di sungai. Karena merasa sangat menyesal, sedih dan marah pada dirinya sendiri, perempuan ini akhirnya ikut menenggelamkan diri. Arwah perempuan ini ditolak memasuki surga. Ia dihukum dengan cara bergentayangan di bumi selama-lamanya untuk mencari arwah anak-anaknya yang tersesat. Arwah perempuan ini pun mulai menyusuri daratan Amerika Latin sebagai hantu yang meratap dan sering menculik anak-anak kecil yang ia pikir adalah anak-anaknya. Saat menyadari kalau mereka bukan anak-anaknya, hantu perempuan ini akan menenggelamkan mereka di sungai. Seperti kebanyakan cerita rakyat yang diceritakan turun menurun secara lisan, La Llora memiliki banyak sekali versi. Namun riwayat umumnya kira-kira seperti itu.
Sutradara Jayro Bustamante kemudian merekonstruksi kisah La Llora yang ikonik dalam versinya sendiri dengan unik. Sekarang mari kita bahas plotnya sedikit. Jenderal Enrique adalah seorang mantan diktator Guatemala yang sudah lanjut usia dan mulai sakit-sakitan. Masa lalu Enrique sebagai jenderal yang pernah memerangi gerilyawan pemberontak rupanya masih menghantuinya hingga sekarang dalam bentuk paranoia. Suatu malam, Enrique terbangun dari tidurnya karena mendengar suara tangisan perempuan. Enrique segera mengambil pistolnya dan mulai mengendap-ngendap di dalam rumah mencari sumber suara tersebut. Ia yakin kalau mata-mata para gerilyawan oposisi berhasil masuk ke dalam rumahnya. Enrique menembakkan pistolnya saat ia melihat sesosok perempuan menghampiri di belakangnya. Untung saja tembakan ini meleset, karena perempuan tersebut adalah istrinya sendiri, Carmen. Enrique sudah terlalu tua untuk menembakkan senjata. Para pembantu rumah tangga di dalam rumah Enrique pun dikumpulkan. Namun tidak ada satupun dari mereka mendengar suara isak tangis yang Enrique dengar. Diam-diam mereka mulai ketakutan karena tentu saja mereka yakin kalau suara tangisan perempuan di malam hari adalah ciri kehadiran La LLorona. Keesokan harinya semua pembantu rumah tangga Enrique mengundurkan diri karena takut, kecuali salah satu dari mereka yang paling lama bekerja pada keluarga Enrique, seorang keturunan suku Kaqchikel (salah satu suku bangsa Maya yang tinggal di dataran tinggi Guatemala) bernama Valeriana.
Walaupun sakit-sakitan dan sudah menunjukkan gejala alzheimer, Enrique tengah menjalani proses persidangan besar dalam kasus kejahatan perang di masa lalunya dan akan dijatuhi hukuman berat kalau ia terbukti bersalah. Apa yang pengadilan ini ingin buktikan adalah bahwa Enrique diduga bertanggung jawab atas genosida yang dilakukan oleh militer terhadap suku Kaqchikel sipil dengan korban ribuan jiwa pada masa kekuasaannya di awal 80-an, termasuk di dalamnya pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan suku Kaqchikel dan pembantaian terhadap anak-anak kecilnya. Tentu saja Enrique menyatakan dirinya tidak bersalah. Ia tidak merasa pernah memberi perintah untuk membantai suku tertentu. Militer hanya ia tugaskan untuk memburu para gerilyawan oposisi yang bersembunyi di kampung-kampung suku Kaqchikel. Akhirnya pengadilan menyatakan bahwa jenderal Enrique bersalah atas genosida terhadap suku Kaqchikel di Guatemala. Para saksi mata dan anggota suku Kaqchikel yang hadir di ruang persidangan bersorak sorai. Namun secara mengejutkan, keputusan tersebut kemudian dibatalkan lewat kekuatan politik kroni-kroni sang mantan jenderal, atau mungkin juga lewat praktik witchcraft yang sempat dilakukan oleh istri Enrique pada awal film. Enrique akhirnya terbebas dari hukuman dan pulang ke rumahnya.
Rakyat dan sisa keturunan suku Kaqchikel tidak menerima pembatalan hukum tersebut. Aksi protes besar-besaran yang sejak awal sudah mengawal persidangan Enrique akhirnya terus berlanjut dan semakin besar. Gelombang aksi kini tidak berpusat pada gedung pengadilan lagi, melainkan di sekitar rumah mewah milik Enrique. Para pengunjuk rasa menuntut keadilan atas banyak sekali anggota keluarga Kaqchikel yang hilang tanpa jejak selama masa kekuasaan Enrique. Mereka ingin sang mantan diktator mendapat hukuman yang setimpal atas kejahatan kemanusiaannya. Enrique sekeluarga akhirnya terjebak di dalam rumah mewah mereka sendiri selama aksi demonstrasi masih mengepung di luar, entah untuk berapa lama. Mereka adalah Enrique, istrinya (Carmen), anak Enrique yang adalah seorang dokter bernama Natalia, dan cucu Enrique yang bernama Sara, beserta Valeriana dan Letona sang bodyguard yang juga tinggal di dalam rumah tersebut. Ini adalah skenario kunci dalam film ini, di mana tidak ada anggota keluarga yang bisa keluar masuk rumah.
Valeriana sudah mencari pembantu rumah tangga baru dari kampung halamannya. Namun kabar bahwa rumah Enrique mungkin berhantu terlanjur tersiar lewat para mantan pembantu yang telah mengundurkan diri sebelumnya. Hanya ada satu orang yang sepertinya merespon panggilan Valeriana. Ia adalah Alma, seorang gadis Kaqchikel yang masih muda. Ia datang ke rumah Enrique dan langsung bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Enrique yang paranoid mulai mencurigai Alma. Mungkin Alma lebih dari sekadar seorang penduduk desa miskin yang membutuhkan uang. Dari sini, drama gelap tentang keluarga mantan diktator ini secara perlahan mulai memasuki teritori teror supranatural, ditambah dengan konflik internal keluarga yang cukup kompleks dan sejarah kelam Guatemala.
Karakter Alma sebagai sosok yang mengacu pada legenda La Llorona sengaja ditampilkan dengan tidak menyeramkan. Maksudnya, kalian tidak akan melihat makeup hantu dalam film ini. Hantu La llorona dalam film ini cenderung lebih sendu seperti hantu dalam kisah-kisah bergaya gothic, dibandingkan dengan film hantu populer pada umumnya. Bukannya merasa ketakutan, kita mungkin akan merasa iba dan melankolis. Dalam banyak versi umum, La Llorona seringkali digambarkan sebagai setan mengerikan. Dalam versi Bustamante, sang “Wailing Woman” lebih digambarkan sebagai korban kejahatan yang menyimpan dendam daripada sosok iblis berperingai jahat. Wanita ini menangis bukan hanya untuk anak-anaknya saja, tetapi juga untuk semua korban kejahatan kemanusiaan, suku Kaqchikel. Sungguh menarik untuk melihat cerita La Llorona dalam visi dan versi yang sama sekali baru seperti ini. Bahkan motif dari La Llorona pun disesuaikan dengan sejarah kelam Guatemala. Alma sebagai La Llorona bukanlah twist. Bustamante sudah memperlihatkan banyak petunjuk bahwa Alma adalah La Llorona sejak awal, dan saya bisa bayangkan para penonton Guatemala juga pasti bisa merasakannya. Jayro Bustamante merangkai ulang legenda La Llorona menjadi perumpamaan yang lebih luas tentang sebuah kejahatan kemanusiaan.
Karakter Jenderal Enrique memang karakter fiktif. Tapi sosok diktator, tragedi genosida atas suku Maya di Guatemala, dan dibatalkannya keputusan persidangan kejahatan perang, semua itu adalah kisah nyata yang benar-benar pernah terjadi di Guatemala. Jenderal Enrique dan kekejamannya adalah penggambaran langsung dari seorang mantan diktator Guatemala di dunia nyata: Jenderal Ríos Montt. Sebagai panglima tertinggi tentara, Ríos Montt bertanggung jawab atas pembantaian, pemerkosaan serta pemindahan paksa kelompok etnis Maya-Ixil selama masa pemerintahannya di tahun 1982 dan 1983. Dalam salah satu wawancaranya, sutradara Bustamante menyatakan bahwa Guatemala adalah negara yang memiliki banyak masalah dalam hal pendidikan dan informasi. Banyak orang Guatemala tidak bisa membaca. Ia kemudian merasa memiliki tanggung jawab sosial untuk membuat sebuah film yang tidak hanya bertujuan menghibur, tetapi juga memberi kesadaran politik serta ingatan sejarah bagi masyarakat Guatemala. Apalagi Ríos Montt pada akhirnya terbebas dari hukuman seperti Enrique di dalam film. Saya bisa membayangkan betapa sakit hatinya suku Maya mendengar ketidak adilan tersebut. Bustamante menggunakan kesempatan dan kemampuannya lewat kisah La Llorona yang sudah familiar bagi rakyat Guatemala untuk membicarakan kisah mengerikan negaranya lewat genre horror. Jadi, pada dasarnya film ini memang bukan tentang legenda original La Llorona, melainkan tentang tragedi kemanusiaan serta kecacatan hukum dalam kehidupan nyata Guatemala. Bustamante menggunakan konsep La Llorona untuk merepresentasikan kesedihan dan kemarahan atas ketidakadilan.
Sejak film ini dimulai, Jayro Bustamante sudah menunjukkan kemampuannya yang luar biasa sebagai seorang sutradara. Ada banyak momen dalam film ini yang membuat saya sangat terkesan. Salah satunya adalah momen Enrique sekeluarga di dalam mobil ambulans. Saya tidak bisa menjelaskan perasaan ini dengan kata-kata, tetapi adegan tersebut dieksekusi dengan sangat baik. Momen lainnya adalah saat kamera mengikuti Enrique mengendap-ngendap di dalam rumahnya pada tengah malam. Adegan ini dieksekusi lewat shot panjang dengan diiringi suara sayup tangisan. Penonton bisa melihat seluruh pojok ruangan yang gelap, dan secara tidak sadar akan mengharapkan sesuatu bergerak di beberapa sudut ruangan. Cukup menegangkan. Tidak mengherankan kalau adegan ini saja bisa membuat kalian ikut menahan nafas bersama Enrique. Adegan lain yang sangat saya suka adalah saat kita pertama kali melihat persidangan Enrique. Adegan ini dibuka dengan seorang perempuan Kaqchikel tua yang sedang memberikan kesaksian di depan para hakim. Cara kamera bergerak dan cara perempuan ini menuturkan kisahnya benar-benar membuat penonton akan terdiam dan sedih, seakan-akan aktris yang memerankannya benar-benar mengalami kejadian yang ia ceritakan.
Setelah selesai menonton film ini, jujur saja perasaan saya agak bercampur antara puas dan sedikit kecewa. Ini adalah kali pertama saya menonton film dari Guatemala, dan La Llorona membuat saya ingin melihat lebih banyak lagi film Guatemala lainnya. Soal kekecewaan, mungkin ini adalah masalah ekspektasi semata. Sebelum menonton La Llorona, saya pribadi mengharapkan dosis elemen cerita hantu yang lebih berat dan lebih banyak. Tetapi pada akhirnya toh saya tidak merasa terganggu dengan hal ini. La Llorona adalah film bagus yang dieksekusi dengan sangat baik. Saya sangat mengapresiasi cara Bustamante memadukan drama sejarah politik dengan elemen cerita rakyat horror, dan ia berhasil merekonstruksi kisah La Llorona menjadi tangisan rakyat Guatemala.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com