MOVIE REVIEW: EXTRAORDINARY TALES (2013)

EXTRAORDINARY TALES
Sutradara: Raul Garcia
Prancis / Belgia / Jerman / Spanyol / Luxembourg / USA (2013)

Review oleh Tremor

Edgar Allan Poe, The Master of Mystery and Macabre, adalah salah satu penulis Amerika yang paling penting dan berpengaruh pada abad ke-19. Karya-karya Poe yang kebanyakan adalah cerpen dan syair tidak hanya meninggalkan pengaruh besar pada dunia sastra saja, tetapi juga pada dunia film. Sudah ada banyak sekali sineas yang mencoba mengadaptasi cerpen-cerpen Poe ke dalam bentuk film. Salah satunya adalah animator terkenal Raul Garcia yang mengadaptasi karya-karya Poe ke dalam bentuk animasi yang digabungkan dalam sebuah antologi. Extraordinary Tales adalah kumpulan animasi pendek yang mencoba mengadaptasi lima cerpen klasik buatan Poe. Dalam proyek ini Raul Garcia tidak bekerja sebagai animator, melainkan sebagai sutradara. Ia melibatkan beberapa studio animasi serta animator yang berbeda untuk membuat animasi di setiap cerita. Hasilnya, setiap cerita dalam antologi ini ditampilkan dengan visual dan gaya yang berbeda-beda. Extraordinary Tales bisa dibilang merupakan proyek yang cukup serius. Hal itu bisa dilihat dari nama-nama besar yang terlibat sebagai pengisi suara dalam antologi ini: aktor veteran mendiang Christopher Lee, ikon horror mendiang Bela Lugosi, aktor asal Inggris Julian Sands, hingga sutradara / penulis Guillermo del Toro ikut menyumbangkan suara mereka untuk menuturkan setiap cerita dalam Extraordinary Tales dengan fantastis. Selain itu ada juga aktor Stephen Hughes dan novelis Cornelia Funke yang ikut mengisi suara dalam segmen bingkai yang menjadi jembatan antar cerita pendek di Extraordinary Tales.

Seperti pada umumnya antologi, cerita-cerita pendek dalam Extraordinary Tales saling terjalin lewat sebuah cerita bingkai yang berfungsi sebagai segmen pembungkus. Dalam antologi ini, cerita bingkainya sendiri berkisah tentang perbincangan seekor gagak yang mewakili Edgar Allan Poe, dengan patung di kuburan yang mewakili kematian. Percakapan antara keduanya cukup efektif sebagai pengantar setiap segmen karena mereka membahas tema-tema dasar karya Poe. Lalu kita memasuki segmen pertama, adaptasi cerpen Poe berjudul “The Fall of The House of Usher” yang dinarasikan oleh mendiang Sir Christopher Lee. Segmen ini berkisah tentang seorang pria, Roderick Usher, yang tertekan karena kondisi saudara perempuannya, Madeline, sedang kritis. Ia pun meminta seorang teman lamanya untuk datang menemaninya. Ketika Madeline akhirnya meninggal, Roderick menjadi semakin gila. Beberapa kejadian tak wajar pun mulai terjadi. Seiring hancurnya kondisi mental Usher, kastil tua tempat ia tinggal juga mulai hancur perlahan. Segmen ini dikerjakan dengan gaya animasi yang cukup modern. Namun kekuatan segmen ini jelas ada pada narasi yang dibacakan Christoper Lee yang berhasil memberikan nada sempurna untuk kisah ini, dan caranya membacakan cerita sungguh luar biasa.

Setelah kembali pada percakapan antara burung gagak dan patung, antologi Extraordinary Tales masuk ke segmen berikutnya yaitu adaptasi cerpen Poe berjudul “The Tell-Tale Heart”. Ini adalah salah satu segmen yang paling menarik dari keseluruhan antologi bagi saya. Narasi dalam segmen ini dibacakan oleh ikon film horror yang telah lama meninggal dunia, Bela Lugosi (1882–1956). Lugosi dengan sangat sempurna menginterpretasikan ketidakwarasan karakter utama dalam kisah The Tell-Tale Heart yang membunuh ayahnya sendiri. Suara Bela Lugosi membacakan kisah Poe ini diambil dari rekaman siaran radio di tahun 40an saat Lugosi melakukan tour pembacaan drama radio. Rekaman tersebut kemudian di-remaster dan disesuaikan dengan ritme animasinya. Secara visual, animasi dalam segmen ini dibuat dengan gaya yang jauh lebih menarik dari segmen sebelumnya, yaitu bergaya hitam putih neo-noir dengan pencahayaan dramatis ala komik Sin City.

Kemudian kita memasuki segmen ke-tiga, berjudul “The Facts in the Case of Mr. Valdemar” yang narasinya dibacakan oleh Julian Sands. Kisah ini menceritakan tentang seorang ilmuwan yang yakin bahwa ia bisa mengulur kematian lewat praktek hipnotis saat seseorang sedang mengalami sakratul mautnya. Animasi dalam kisah ini adalah gaya yang paling saya suka dari keseluruhan antologi karena menggunakan gaya ilustrasi ala komik-komik horror terbitan EC comics tahun 40-50an, lengkap dengan angle dramatis dan warna-warna mencolok. Saya rasa perpaduan antara narasi, ritme, dan ilustrasi dalam segmen ini bekerja dengan sangat sempurna. Segmen berikutnya berjudul “The Pit and the Pendulum”, dengan narasi yang dibacakan oleh sutradara kawakan, Guillermo Del Toro. Sejujurnya, saya tidak pernah membayangkan kalau suara Del Toro cukup bagus untuk menjadi narator, dan ia adalah pencerita yang hebat. Kisah ini berfokus pada seorang tawanan inkuisisi Spanyol yang menunggu eksekusi dalam penjara. Selama penantian itu ia harus menghadapi teror penderitaan batin sekaligus fisik. Berbeda jauh dengan segmen sebelumnya, gaya animasi “The Pit And The Pendulum” menggunakan animasi komputer yang mengingatkan saya pada cinematic cutscene video game dari era satu dekade lalu. Meskipun gaya animasi ini bukan favorit saya, tapi ia dengan sempurna mampu menerjemahkan atmosfer mengerikan dari rasa sepi serta penantian di penjara dalam kastil yang gelap. Perpaduan narasi dan ilustrasi animasi ini berhasil menerjemahkan perasaan sesak, tertekan serta menakutkan dari kisah ini, membuat para penonton bisa saja ikut berempati dengan karakter utamanya.

Berbeda dengan segmen lainnya, segmen terakhir dari antologi Extraordinary Tales yang berjudul “The Masque of the Red Death” tidak menggunakan narasi sama sekali. Segmen ini bercerita tentang seorang pangeran yang dengan angkuhnya membuat sebuah pesta topeng di kastilnya saat sedang terjadi wabah mematikan. Pesta berjalan mulus dan semua tampak menyenangkan hingga datang satu tamu tak diundang, sang Red Death, yang merupakan personafikasi dari wabah mematikan. Akhirnya semua tamu pesta pun meninggal dunia. Gaya animasi yang menyerupai lukisan cat air dalam segmen ini bisa dibilang merupakan gaya visual yang paling enak dilihat dari keseluruhan antologi. Tapi menurut saya, keputusan untuk tidak menyertakan narasi dalam segmen ini adalah kesalahan besar. Tentu akan jauh lebih baik kalau kita bisa mendengar narasi yang ditulis oleh Poe sambil bisa melihat visualnya. Tanpa adanya narasi dan dialog, rasa teror dan ketakutan dari kisah ini menjadi kurang terasa. Antologi Extraordinary Tales kemudian ditutup lewat berakhirnya cerita bingkai sang gagak (Poe) yang memutuskan untuk berdamai dan sepakat ikut dengan sang patung kuburan (kematian).

Terus terang saya bukan pembaca setia karya-karya Poe. Saya hanya familiar dengan beberapa judul cerpennya, dan pernah membaca beberapa adaptasinya dalam bentuk komik. Tapi antologi ini sangat tepat sebagai pengantar bagi siapapun, termasuk saya, yang ingin mulai mengenal karya-karya Poe. Extraordinary Tales juga jelas sangat direkomendasikan bagi para penggemar berat Poe, atau para pecinta film-film antologi yang unik sekaligus mencekam.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com