DYING BREED
Sutradara: Jody Dwyer
Australia (2008)
Review oleh Tremor
Dying Breed adalah sebuah film backwoods survival horror asal Australia karya sutradara Jody Dwyer berdasarkan naskah yang ia tulis beramai-ramai dengan Michael Boughen dan Rod Morris. Film ini merupakan bagian dari After Dark Horrorfest tahun 2008 yang dikenal dengan nama lain “8 Films to Die For”. After Dark Horrorfest sendiri merupakan sebuah festival film horror tahunan yang mempertontonkan delapan film horor independen dari berbagai negara di setiap tahunnya. Meskipun bukan yang terbaik, tapi menurut saya Dying Breed tetap merupakan salah satu film After Dark Horrorfest terkuat setelah Reincarnation (2006), Frontier(s) (2007), Mulberry Street (2007), dan Lake Mungo (2010). Kisah dalam Dying Breed sendiri berlatarkan pulau Tasmania, Australia, dan memadukan dua ikon paling menarik dari sejarah pulau tersebut: harimau Tasmania; hewan endemik pulau Tasmania yang telah punah sejak akhir 1800-an, dan legenda Alexander Pearce; seorang narapidana Irlandia yang melarikan diri dan konon bertahan hidup di hutan Tasmania dengan cara menyantap daging teman-temannya sendiri. Ini bukan pertama kalinya legenda Alexander Pearce dijadikan ide dasar untuk sebuah film. Film lain yang menggunakan legenda Pearce adalah The Last Confession of Alexander Pearce (2008) serta Van Diemen’s Land (2009).
Sebelumnya, kita perlu membahas sedikit sejarah dari pulau Tasmania. Di antara tahun 1788 hingga 1868, benua Australia menjadi tempat di mana Kekaisaran Inggris mengasingkan para narapidananya dalam koloni-koloni penjara di berbagai lokasi. Pulau Tasmania sendiri merupakan lokasi terisolasi yang paling ditakuti karena dihuni oleh narapidana dengan kasus-kasus terberat. Suatu hari di tahun 1822, seorang tahanan keturunan Irlandia, Alexander Pearce, bersama tujuh tahanan lain melarikan diri. Ia bertahan hidup di hutan Tasmania yang sangat rimbun dengan cara memakan daging teman-temannya dan mencuri makanan dari kelompok-kelompok aborigin. Setelah kembali tertangkap, Pearce dijatuhi hukuman mati pada tahun 1824 setelah mengakui kekejaman dan kanibalismenya. Namun kisah Pearce dibuat sedikit fiktif dalam Dying Breed: ia tidak pernah tertangkap setelah melarikan diri. Film ini berfokus pada Nina, seorang mahasiswi zoology yang yakin bahwa masih ada harimau Tasmania yang tersisa dan berkembang biak di tengah alam liar pulau Tasmania. Keyakinannya bukan tanpa dasar. Ia memiliki bukti berupa foto jejak kaki dan beberapa catatan yang pernah dikirim oleh kakaknya, Ruth. Delapan tahun sebelumnya, Ruth yang juga seorang ahli zoology, berusaha mencari keberadaan harimau Tasmania untuk diteliti dan ia tidak pernah kembali hingga jasadnya ditemukan hanyut di sungai setempat dengan kondisi sangat mengenaskan. Untuk menghormati mendiang kakaknya, Nina melanjutkan ekspedisi pencarian harimau Tasmania dan melakukan perjalanan ke pulau Tasmania ditemani oleh kekasihnya, Matt, teman lama Matt bernama Jack, serta pacar Jack bernama Rebecca. Tanpa mereka sadari, harimau Tasmania bukanlah satu-satunya mahkluk paling berbahaya dan mengancam, karena sesuatu yang jauh lebih jahat mengintai mereka dari balik rimbunnya hutan pulau Tasmania.
Pada dasarnya Dying Breed bagaikan film Wrong Turn dalam versi Tasmania: sekelompok orang kota tersesat dihutan dan diburu oleh penduduk setempat yang memiliki tradisinya sendiri. Meskipun tidak ada hal baru dalam plot Dying Breed, legenda Alexander Pearce dan harimau Tasmania berhasil memberi akar yang cukup unik untuk kisah film ini. Babak pertama Dying Breed mungkin adalah babak terberat yang perlu dilewati, karena babak ini sangat membosankan dan cukup menyiksa bagi saya terutama karena terlalu dominannya penggambaran karakter Jack, seorang douchebag yang sangat menyebalkan. Setiap kelakar dan apapun yang ia lakukan cukup membuat saya jengkel di sepanjang film. Saya sedikit lega setelah aksi-aksi mulai terjadi dalam film ini di sekitar babak kedua, meskipun pada titik ini saya tetap masih harus menyaksikan karakter Jack. Menyebalkannya karakter Jack mungkin merupakan bukti bahwa aktornya, yaitu Nathan Phillips yang sebelumnya pernah bermain dalam Wolf Creek (2005), sanggup berperan dengan baik dan penampilannya layak diapresiasi sekaligus dikutuk. Sebegitu menyebalkan karakter Jack hingga bisa saja membuat penonton sedikit berharap bahwa ia akan menjadi korban pertama dalam Dying Breed.
Seiring berjalannya film, kekerasan dan pertumpahan darah juga mulai terjadi dan penonton disuguhi beberapa adegan pembunuhan berdarah yang dikerjakan dengan cukup bagus meskipun bukan jenis gore yang berlebihan. Beberapa special effect tradisional dan prostetik yang digunakan terlihat cukup meyakinkan dan dikerjakan dengan baik untuk ukuran film independen, meskipun sayangnya ada satu-dua adegan yang menggunakan CGI dan sangat tampak palsu. Mungkin keterbatasan bajet adalah satu-satunya alasan mengapa Jody Dwyer terpaksa menggunakan CGI. Demikian juga dengan kemunculan harimau Tasmania, yang meskipun tidak buruk-buruk amat seperti harimau cisewu, namun CGI-nya tetap terlihat palsu. Saya bisa memaafkan hal teknis tersebut karena apa yang jauh lebih buruk dari CGI dalam Dying Breed adalah berbagai keputusan dan tindakan bodoh yang diambil oleh para karakternya. Mungkin ini adalah hal yang cukup lumrah dalam film horor, namun tingkat kebodohan semua karakter utama Dying Breed benar-benar di luar nalar.
Meskipun Dying Breed dipenuhi dengan keputusan-keputusan bodoh para karakternya sejak awal, namun tetap ada banyak bagian yang bisa dinikmati dari film ini. Selain pengambilan gambar pemandangan pulau Tasmania yang terlihat indah, setidaknya Dying Breed berhasil mempertahankan ketegangannya dan ditutup dengan ending yang gelap dan nihilistik, sebuah ending yang menurut saya sangat cocok dengan plot dan konsep film ini. Bagaimanapun, Dying Breed adalah sebuah film ringan yang cukup menyenangkan untuk ditonton saat tak ada lagi tontonan lain, dibuat dengan cukup baik dan penuh effort yang patut diapresiasi, selama penontonnya tidak berharap terlalu tinggi dan tidak menanggapinya terlalu serius. Apalagi Dying Breed adalah sebuah karya debut sekaligus satu-satunya film yang pernah dibuat oleh sutradara Jody Dwyer dengan bajet yang cukup terbatas, tentu banyak hal yang bisa saya maklumi. Pada akhirnya saya merasa semua kekurangan Dying Breed tidak terlalu merusak keseluruhan pengalaman menonton film horor yang cukup menyenangkan ini.

Version 1.0.0