MOVIE REVIEW: DOWNRANGE (2017)

DOWNRANGE
Sutradara: Ryuhei Kitamura
Jepang / US (2017)

Review oleh Tremor

Downrange adalah sebuah film survival horror yang sederhana dan solid, karya dari sutradara asal Jepang, Ryuhei Kitamura. Siapapun yang pernah menonton film-film lain buatan Kitamura seperti Versus (2000), The Midnight Meat Train (2008) dan No One Lives (2012) tentu bisa sedikit membayangkan bagaimana gaya Kitamura: berdarah-darah, intens, penuh action, dan terkadang juga aneh. Downrange adalah film yang sekali lagi menegaskan gaya Kitamura tersebut. Premis dasarnya memang terdengar cukup klise: sekelompok anak muda bepergian, lalu terjebak di tempat yang terisolasi dan penuh bahaya. Tapi rupanya Downrange tidak seklise yang saya pikir sebelumnya. Ada banyak kejutan dalam film ini, terutama saat bagaimana Kitamura melanggar banyak “aturan-aturan” formula standar film horror. Tentu saja itu adalah hal yang menyegarkan.

Plot Downrange sangat sederhana dan tidak terlalu penting. Enam anak muda sedang dalam perjalanan menggunakan mobil. Berbeda dengan yang biasa terjadi dalam film horror pada umumnya, anak-anak muda dalam Downrange tidak saling mengenal satu sama lain. Mereka hanya berbagi perjalanan dengan rute yang sama. Berbagi mobil merupakan hal yang biasa terjadi di barat. Hal serupa bisa kita temui dalam plot film A Classic Horror Story (2021), misalnya. Ketika Downrange baru saja dimulai, ban mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba pecah. Mereka pun terdampar di tengah jalan yang dikelilingi gurun pada siang hari yang terik, jauh dari kota terdekat, dan jalan tersebut sangat jarang dilalui mobil lain. Tentu saja sinyal seluler sangat terbatas di daerah seperti ini, atau dalam film seperti ini. Masalah ban yang pecah adalah hal serius kalau mereka tidak membawa ban serep. Beruntung, sejauh ini plot Downrange cukup realistis: ban serep ada di dalam mobil. Meskipun kondisi bannya tidak sempurna, tapi setidaknya sanggup untuk membawa mereka ke bengkel terdekat di pemberhentian berikutnya. Yang tidak mereka ketahui adalah, ban mobil mereka meledak bukan karena kepanasan. Seorang sniper gila memang sengaja menembaknya agar mobil ini terdampar tepat di lokasi yang ia inginkan. Apa yang saya suka dari Downrange adalah, film ini cukup to the point dan tidak banyak membuang-buang waktu hanya untuk memperkenalkan karakter-karakternya. Kurang dari 15 menit sejak film dimulai, aksi yang penonton tunggu-tunggu pun datang: seseorang menembak kepala salah satu anak muda yang sedang mengganti ban. Dan kini mereka semua menjadi sasaran tembak sang sniper psikopat yang tak terlihat. Satu-satunya tempat aman bagi mereka adalah berjongkok di balik mobil yang mungkin tidak mudah untuk ditembus peluru. Mereka tidak bisa pergi kemana-mana karena ban serep belum benar-benar terpasang. Lagipula duduk di balik kemudi juga bukan ide yang bagus, karena akan menjadi sasaran tembak yang mudah. Dan tentu saja lari juga bukanlah pilihan bijaksana. Lebih buruk lagi, layaknya seekor kucing yang hanya ingin bermain-main dengan mangsanya, sang sniper tidak terburu-buru membantai mereka. Seperti umumnya pemburu di alam liar, ia sudah membawa perbekalan makanan dan air minum yang cukup dan siap menunggu di balik teropong senapannya dengan penuh ketelatenan hingga mangsanya kelelahan atau mengambil keputusan yang salah. Lagipula, berapa lama mereka akan sanggup berlindung di balik mobil tanpa perbekalan, di bawah terik matahari?

Bagaikan Michael Myers bersenjatakan senapan sniper, sosok sang penembak tanpa nama ini nyaris tidak terlihat di sepanjang film dan tidak pernah mengucapkan sepatah katapun. Saya sangat suka bagaimana para penulis Downrange tidak memperumit karakter pembunuhnya. Mereka tidak membahas siapa identitas sniper gila ini atau alasan mengapa ia melakukan aksi sadisnya. Sang psikopat bukanlah seseorang yang kenal dengan korban-korbannya, dan ia tidak sedang membalas dendam pada siapapun. Yang kita tahu pasti hanyalah orang ini adalah bajingan sakit jiwa, dan caranya bermain-main dengan mangsanya menegaskan bahwa ia adalah orang yang sangat menikmati aksinya. Mungkin mengintip mangsa-mangsanya yang ketakutan justru memberinya ketenangan batin. Lalu siapa anak-anak muda ini? Ke mana tujuan mereka dan apa backstory-nya? Sekali lagi, semua itu tidak terlalu penting untuk film semacam Downrange. Kitamura tahu betul bahwa kita tidak ingin menghabiskan waktu untuk menonton pengembangan karakter atau narasi yang menyentuh hati penontonnya. Apa yang penonton cari dari film seperti ini adalah death scene, body count, dan bagaimana anak-anak muda malang ini berusaha bertahan hidup. Jadi, kita akan melihat lebih banyak tubuh-tubuh yang dilubangi dengan peluru, tercerai berai, dan banyak genangan darah, dibandingkan dialog-dialog tak penting. Lagi-lagi tidak seperti film horror pada umumnya, beberapa anak muda dalam Downrange cukup pintar dan tidak melakukan keputusan-keputusan tolol, kecuali saat rasa panik menyerang dan membuat salah satu karakternya diam terpaku karena shock. Kecerdasan mereka cukup terlihat dari bagaimana mereka berdiskusi dan mengatur strategi agar bisa keluar dari situasi mematikan ini. Mereka menimbang masak-masak semua keputusan yang mereka sepakati sebelum benar-benar melakukannya.

Dengan ide dasar yang sederhana sekaligus menarik, Downrange adalah film yang cukup bagus dan sangat intens. Dengan set yang sangat terbatas, Kitamura sanggup membuat ketegangan dalam film ini tetap terjaga dari awal hingga film berakhir dengan jumlah korban yang semakin bertambah. Adegan pembunuhan-pembunuhannya pun bisa dibilang ekstrim, menjadikan film ini layaknya film thriller bercampur gorefest. Saya suka bagaimana film ini juga banyak menggunakan special effect prostetik tradisional, menjadikan mayat-mayat berlubang yang berserakan di jalan menjadi tampak lebih mengerikan dan mungkin realistis. Saya pribadi juga sangat puas dengan ending film ini. Downrange mungkin bukanlah karya terbaik dari Kitamura, tapi film ini tetap merupakan karya thriller yang solid. Memang ada beberapa kekurangan dalam Downrange, salah satunya adalah akting beberapa cast-nya yg kurang bagus, ditambah dengan beberapa kesalahan logika dasar matematis. Jadi mungkin cara terbaik menonton film semacam ini adalah jangan berharap terlalu tinggi, jangan menganggap semua adegan dengan serius (khususnya perhitungan matematis yang serius soal sudut tembak dan balistik), dan cukup nikmati saja bagaimana Kitamura sanggup menerjemahkan skenario minimalis menjadi suatu tontonan yang sangat mendebarkan.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com