fbpx

MOVIE REVIEW: DEATHGASM (2015)

DEATHGASM
Sutradara:
Jason Howden
Selandia Baru (2015)

Review oleh Tremor

Deathgasm adalah sebuah film independen asal Selandia Baru yang menggabungkan komedi horor gore kelas B dengan kultur heavy metal. Menurut saya itu adalah penggabungan yang sangat ideal, karena genre horor bisa diumpamakan sebagai heavy metal-nya dunia sinema, dengan masing-masing memiliki turunan sub-genrenya sendiri yang berbeda-beda. Keduanya pun sama-sama pernah ditakuti oleh para orang tua konservatif di era satanic panic 80-an hingga awal 90-an, meskipun heavy metal dan film horor digemari para remaja yang terpinggirkan. Tak heran mengapa ada banyak band metal yang terinspirasi film horor. Salah satu yang paling mencolok adalah Mortician, sebuah band death metal Amerika yang secara konsisten menulis lagu tentang film-film horor kelas B. Selain itu ada banyak sekali band metal lain yang memiliki satu-dua lagu yang ditulis berdasarkan film-film horor tertentu, dari mulai Possessed, Death, Impetigo, Necrophagia, Rigor Mortis, S.O.D., Death Breath, hingga Hooded Menace. Jangan pernah lupa juga bagaimana lagu spektakuler “Left Hand Path”-nya Entombed memasukan lagu tema film Phantasm (1979) dalam arasemennya, serta “Eve of the Apocalypse” milik Malevolent Creation dari album Retribution (1992) yang dibuka dengan lagu tema film horor kontroversial Henry: Portrait of a Serial Killer (1986). Ada lebih banyak hal yang bisa saya tulis, tapi isi review kali ini bukan soal itu. Poin saya adalah, genre horor dan genre metal secara umum sangat layak untuk dipadukan karena kultur keduanya memang bisa dibilang cukup dekat sejak lama. Ide untuk menggabungkan film horor dengan musik keras sendiri bukan pertama kalinya dilakukan oleh Deathgasm. Sebelumnya sudah ada film-film seperti Trick or Treat (1986), Rock and Roll Nightmare (1987), hingga Slumber Party Massacre II (1987). Dari semua film tersebut, tak ada satupun yang berhasil meskipun sudah melibatkan para rockstar untuk ikut berperan di dalamnya. Sejauh ingatan saya, rasanya baru Deathgasm-lah yang benar-benar berhasil mengawinkan kebrutalan horor gore dan kultur metal dengan efektif sekaligus fun. Deathgasm berisi lelucon-lelucon yang kadang konyol, serta memiliki banyak adegan gore yang cukup memuaskan. Tak hanya itu, sebagai film bertema metal, film ini dipenuhi dengan gimmick, homage, easter egg hingga parodi kultur heavy metal, dilengkapi dengan soundtrack dari band-band seperti Nunslaughter, Midnight, Emperor, Ihsahn serta beberapa band metal asal Selandia Baru. Deathgasm adalah debut dari penulis / sutradara Jason Howden yang saya yakin adalah seorang metalhead sungguhan dalam kesehariannya.

Film ini dibuka dengan narasi tentang bagaimana para orang tua kita pernah mengingatkan kalau musik metal adalah musik iblis, dan ternyata semua itu benar! Deathgasm menceritakan kisah tentang seorang remaja metalhead bernama Brodie yang terpaksa tinggal di rumah pamannya yang relijius dan konservatif di sebuah kota kecil bernama Greypoint setelah ibunya dirawat di rumah sakit jiwa. Suatu hari Brodie secara tidak sengaja bertemu dan berkenalan dengan Zakk, satu-satunya remaja metalhead lain di Greypoint. Keduanya segera membentuk sebuah band death metal bernama Deathgasm. Namun karena tidak ada metalhead lain di kota kecil itu, Broadie mengajak dua teman sekolahnya untuk ikut bermain dalam band, Dion dan Giles, sepasang sahabat geek yang memiliki kesamaan dengan Broadie: outcast yang dianggap aneh dan terpinggirkan di lingkungan sekolah. Suatu hari, Zakk mengajak Brodie menyelinap ke dalam sebuah rumah tua kosong yang sudah rusak. Rupanya rumah itu adalah tempat persembunyian seorang musisi metal legendaris bernama Rikki Daggers yang dikabarkan menghilang sejak bertahun-tahun sebelumnya. Menyadari bahwa seseorang membuntuti Zakk dan Brodie ke dalam rumah tersebut, Daggers buru-buru melemparkan sebuah piringan hitam bandnya pada mereka sambil meminta untuk menyembunyikan dan menjaga rekaman itu baik-baik. Setelah Zakk dan Broadie berhasil melarikan diri, mereka menemukan lembaran tua berisi arasemen nada yang tersembunyi di dalam sleeve rekaman tersebut. Mereka pun sepakat untuk mencoba memainkan arasemen tersebut bersama Deathgasm karena ini adalah pemberian Rikki Daggers, idola mereka. Yang mereka tidak ketahui, lembaran tua itu disebut sebagai The Black Hymn, yang kalau musiknya dimainkan akan membuka gerbang bagi raja iblis bernama Aeloth untuk datang ke bumi. Benar saja, sejak Deathgasm mencoba memainkan nada-nada The Black Hymn, neraka seakan terlepas di kota kecil Greypoint, dan Brodie harus menemukan cara untuk menutup kembali gerbang neraka dengan harapan bisa mencegah datangnya Aeloth.

Secara garis besar, tidak ada yang baru dalam plot Deathgasm. Seorang remaja pecundang yang terpinggirkan kemudian menjadi pahlawan. Plot seperti itu sekilas terdengar seperti plot Hollywood pada umumnya layaknya film The Spiderman. Untuk ukuran film horor juga tidak ada yang baru dalam plotnya yang sepertinya sangat terinspirasi dari The Evil Dead (1981) di mana sekumpulan remaja menemukan teks kuno yang kemudian membuka jalan bagi para iblis masuk ke dunia kita, dan manusia pun dirasuki para iblis. Jadi mari kita tinggalkan plotnya. Saya lebih ingin membahas secara singkat unsur komedi yang tolol serta horor gore over-the-top dari Deathgasm. Dari sisi komedinya, film ini memiliki humor yang sama sekali tidak berlebihan dan tidak dipaksakan, ditambah dengan beberapa materi komedi immature layaknya ditulis oleh seorang ABG. Bagaimanapun, para protagonis dalam Deathgasm memang sekumpulan ABG yang masih duduk di bangku sekolah, jadi saya pikir unsur komedinya mungkin cukup mewakili selera humor dan tingkat kedewasaan mereka. Secara garis besar hampir seluruh unsur komedinya cukup menghibur meskipun bisa juga dianggap ofensif oleh sebagian orang. Unsur komedi lain dalam Deathgasm juga mencoba “mengolok-olok” stereotip kultur musik metal, terutama soal penamaan band (fiktif maupun nyata) yang saya pikir akan terasa sangat lucu bagi mereka yang berbahasa inggris. Contohnya adalah ketika nama band Anal Cunt disebut dalam film ini, dan siapapun pasti sepakat kalau nama tersebut sangat immature, ofensif, sekaligus lucu sesuai selera humor anak remaja. Namun “mengolok-olok” yang saya maksud di sini bukan berarti menghina atau merendahkan, tetapi justru sebaliknya: sebagai sebuah bentuk penghormatan bagi kultur metal itu sendiri. Jangan lewatkan juga post-credits scene di penghujung film ini, di mana ada lebih banyak nama band fiktif yang terdengar brutal sekaligus konyol yang disebutkan. Apa yang saya suka dari Deathgasm adalah bagaimana penulis / sutradara Jason Howden memasukan banyak homage easter egg yang mungkin hanya bisa dipahami oleh para penonton metalhead. Salah satunya ketika Deathgasm mencoba membuat video klip mereka sendiri di tengah hutan yang jelas-jelas merupakan parodi dari video klip ikonik “Call of the Wintermoon”-nya Immortal yang terkenal sangat buruk sekaligus kocak. Homage easter egg lain yang saya suka dalam Deathgasm adalah teriakan “metal up your ass” ketika Zakk menghunuskan gergaji mesin pada bokong salah satu orang yang dirasuki iblis. Kalimat “metal up your ass” sendiri adalah judul demo Metallica yang direkam secara live pada tahun 1982, sebelum akhirnya direkam ulang dalam studio dan dirilis sebagai album Kill ‘Em All pada tahun 1983. Dari sisi gore-nya, film ini tidak main-main, terutama setiap kali adegan gore diciptakan lewat special effect tradisional. Mungkin sebagian besar bajet film ini dihabiskan untuk membeli darah palsu yang kemudian digunakan dalam berbagai adegan brutal dari mulai pemenggalan kepala, pembancokan menggunakan kampak, jantung yang diambil dari dada, hingga banyak sekali adegan berdarah lainnya. Memang tidak semua efek diciptakan secara tradisional. Saya bisa melihat ada banyak efek CGI yang digunakan juga, mungkin karena keterbatasan dana. Namun secara garis besar, adegan-adegan gore dalam Deathgasm bisa memuaskan para penggemar horor.

Kalau plot Deathgasm secara jelas terinspirasi dari The Evil Dead (1981) dan Evil Dead II (1987), perpaduan unsur komedi konyol dengan adegan gore over-the-top dalam Deathgasm jelas merupakan sebuah penghormatan besar bagi film Bad Taste (1987) dan Braindead (1992) buatan Peter Jackson yang bisa dianggap sebagai pionir film horor Selandia Baru. Sebagai sebuah debut, tentu ada beberapa kekurangan dalam film ini. Salah satunya mungkin adalah durasinya yang sedikit terlalu panjang. Seandainya plot device romantis dalam film ini dihilangkan, saya rasa Deathgasm akan lebih padat dan memuaskan, karena plot romance tersebut pada akhirnya sangat tidak diperlukan dalam keseluruhan cerita. Keberatan pribadi saya lainnya adalah bagaimana Brodie dan Zakk yang digambarkan sebagai karakter layaknya metalhead “underground” yang lebih memilih membaca zine metal bawah tanah dibandingkan majalah mainstream, namun secara ironis juga mengagungkan Trivium. Di sepanjang film ini saya melihat ada piringan hitam, poster, emblem, stiker, hingga t-shirt Trivium. Maksud saya, ayolah.. mungkin akan lebih pas kalau karakter spesifik seperti Broadie dan Zakk digambarkan sebagai penggemar Pungent Stench atau Impetigo misalnya, dibanding Trivium. Atau ini adalah bagian dari lelucon? Entahlah. Tapi ini hanya opini pribadi saya saja. Selebihnya, Deathgasm tetaplah film yang menyenangkan, terutama bagi para penonton yang juga adalah metalhead dan tidak keberatan dengan beberapa lelucon konyol kekanak-kanakan. Deathgasm mungkin bukan film horor yang akan menjadi klasik di masa depan dan tidak akan pernah berada di level yang sama dengan Braindead (1992), namun ini adalah sebuah debut yang sama sekali tidak mengecewakan. Death to false metal!