BLACK WATER
Sutradara: David Nerlich & Andrew Traucki
Australia (2007)
Review oleh Tremor
Black Water adalah sebuah film natural / survival horror debut dari penulis/sutradara Australia bernama Andrew Traucki bersama rekannya yang merupakan seorang seniman efek visual bernama David Nerlich. Di luar soal ilmiah atau tidaknya, natural horror adalah subgenre horror yang menggunakan elemen alam seperti hewan liar dan bencana alam sebagai sumber teror dan kengerian. Film-film seperti The Birds (1963), Jaws (1975), Piranha (1978), Alligator (1980), Cujo (1983), Arachnophobia (1990), hingga Anaconda (1997) adalah beberapa contoh terbaiknya. Black Water sendiri menghadirkan tema bertahan hidup melawan teror buaya rawa yang ganas. Setelah membuat Black Water, sutradara Andrew Trauki sepertinya merasa nyaman dengan subgenre ini dan membuat film-film natural horror lainnya seperti The Reef (2010), The Jungle (2013), sekuel Black Water: Abyss (2020), hingga sekuel The Reef: Stalked (2022). Meskipun terdengar generik, Black Water diklaim terinspirasi oleh kisah nyata: pada bulan Desember 2003, tiga remaja Australia sedang berlibur di daerah rawa-rawa dekat sungai Finniss, kota Darwin, Australia. Saat sedang bersantai-santai, mereka tidak menyadari kalau air sungai mulai pasang. Salah satu dari mereka yang bernama Brett Mann diserang dan berhasil diseret ke bawah air oleh seekor buaya rawa. Jasad Mann tidak pernah ditemukan hingga hari ini. Setelah serangan tersebut, dua teman Mann melarikan diri dengan cara memanjat pohon bakau dan harus tetap diam di sana selama 22 jam sampai helikopter penyelamat akhirnya menemukan dan menyelamatkan mereka. Peristiwa mengerikan inilah yang kemudian menjadi inspirasi Black Water. Namun sepertinya film ini dirilis pada waktu yang tidak tepat, karena tahun 2007 rupanya menjadi tahun milik buaya sebagai bintang film. Tak hanya Black Water, film-film horor bertema buaya lain dirilis di tahun yang sama seperti Croc dan Primeval. Namun adalah film Rogue yang juga datang dari Australialah yang menjadi pesaing terberat Black Water. Meskipun Rogue diproduksi dan dipasarkan dengan bajet yang jauh lebih besar, dan jauh lebih populer, namun bagi saya Black Water terasa lebih superior karena kesederhanaan serta unsur realismenya.
Dalam perjalanan liburan di daerah Australia Utara, Gracie bersama suaminya, Adam, serta adik perempuannya, Lee, memutuskan untuk mengambil tour memancing menggunakan perahu di area rawa-rawa. Pemandu tour yang bernama Jim membawa mereka menyusuri sungai berliku yang dikelilingi hutan bakau. Ketika berhenti untuk mulai memancing, perahu mereka diserang oleh seekor buaya besar. Perahu pun terbalik dan tubuh Jim berhasil ditarik ke bawah air oleh buaya tersebut. Gracie, Adam dan Lee yang panik segera berenang ke tepian dan mendapati tidak ada daratan di sana. Yang ada hanyalah pohon-pohon bakau. Tak ada pilihan lain selain memanjat dan diam di atas pohon, karena berada lebih lama di dalam air yang gelap bersama buaya tentu bukan pilihan yang bijak. Masalahnya, lokasi sungai ini sangat terpencil dan bukan area yang umum didatangi oleh turis. Tak ada perahu lain, tak ada turis dan pemandu lain yang mereka temui di sepanjang perjalanan sebelumnya. Menyadari bahwa bantuan penyelamatan tidak akan pernah datang, mereka harus mencari jalan agar bisa pergi meninggalkan teritori buaya yang terus menguntit dari balik permukaan air sungai yang keruh.
Ini adalah kisah survival sederhana dengan ide dasar yang bisa membuat penonton merenungkan tentang apa yang akan mereka lakukan seandainya ditempatkan pada posisi yang sama seperti para karakter dalam Black Water. Apalagi plot dasarnya memang berdasarkan kisah nyata. Akankah ada orang yang datang menyelamatkan kita? Berapa lama kita mampu bertahan di atas pohon bakau tanpa perbekalan logistik apapun? Setidaknya ide-ide seperti itu cukup untuk menimbulkan kecemasan, dan secara alami juga menimbulkan ketegangan. Di dalam film Black Water, buaya rawa yang menunggu mereka sangat jarang terlihat di sepanjang durasi film, namun ancamannya tetap terasa. Kita tahu bahwa inilah esensi realistis yang mengerikan dari buaya, karena ia mampu memantau calon mangsanya dari balik permukaan air keruh yang tenang, tidak terburu-buru menunggu waktu yang tepat untuk menerkam. Dalam hal ini, munculnya riak-riak kecil pada permukaan air sungai keruh yang tenang bisa menjadi hal yang cukup menegangkan.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, meskipun Black Water adalah film buaya dan ada korban jiwa di dalamnya, film ini bukanlah jenis film yang akan memperlihatkan banyak efek gore pada penontonnya. Jadi, para penggemar gore mungkin bisa kecewa karena Black Water lebih mengedepankan ketegangan psikologis yang nyaris tanpa darah. Semua adegan kematianpun terjadi secara off screen. Mungkin satu-satunya efek gore yang muncul dalam film ini adalah properti prostetik potongan tubuh manusia yang sempat terlihat di beberapa kesempatan. Namun tak pernah ada adegan yang benar-benar memperlihatkan bagaimana buaya mencabik-cabik mangsa manusianya, apalagi menelannya. Faktor terbesar mengapa kita tidak pernah bisa melihat aksi buaya ganas ini secara terang-terangan adalah karena pembuat film ini lebih memprioritaskan penggunaan practical special effect tradisional, termasuk penggunaan footage-footage hewan buaya sungguhan, dengan sedikit sentuhan CGI yang minimalis, dan saya sangat menghormati Black Water atas pilihan tersebut.
Namun untuk sebuah film berdurasi satu setengah jam, saya pikir Black Water membutuhkan lebih banyak lagi adegan menakutkan, karena bagi saya ada beberapa bagian dari film ini yang terasa membosankan yang hanya berisi perdebatan serta keluhan para karakternya di atas pohon. Penonton dibuat menunggu terlalu lama meski saya bisa memahami bahwa mungkin para pembuat film ini mencoba membuat penontonnya merasa paranoid tentang di mana posisi buayanya, kapan buaya tersebut akan muncul, dan tentu saya sepakat kalau hal itu bisa membantu untuk menumpuk ketegangan. Komplain terbesar saya mungkin ada pada penulisan di babak ketiga, terutama pada klimaksnya, di mana konfrontasi final dengan buaya terjadi murni karena keberuntungan semata, yang diakhiri dengan ketidaklogisan fatal. Saya pikir film ini layak mendapat ending yang jauh lebih baik, bahkan mungkin lebih gelap, seperti misalnya sang buaya lah yang akhirnya menang dan tidak ada seorangpun yang selamat karena itu jauh lebih masuk akal. Jadi, bagi mereka yang belum pernah menonton Black Water, mungkin harus siap menonton setengah dari durasi film ini hanya berisikan tiga orang dewasa frustrasi yang duduk di atas pohon, tanpa ada yang bisa benar-benar mereka lakukan, dengan klimaks yang ganjil. Kalau gaya penulisan seperti ini tidak terdengar menarik, mungkin film ini bukan untuk kalian. Bagaimanapun, Black Water adalah film beranggaran rendah yang sederhana dan cukup efektif karena realismenya, dan merupakan upaya yang perlu diapresiasi karena keterbatasannya. Mungkin Black Water bukanlah film buaya pembunuh terbaik yang pernah ada, dan menonton film ini mungkin hanya cukup satu kali seumur hidup. Tapi yang pasti Black Water tidak seklise film buaya populer semacam Rogue atau Lake Placid.