ARACHNOPHOBIA
Sutradara: Frank Marshall
USA (1990)
Review oleh Tremor
Arachnophobia adalah sebuah film komedi thriller/horror, debut percobaan penyutradaraan dari Frank Marshall, seorang produser film papan atas yang sering memproduksi film-film besar, termasuk karya-karya buatan Steven Spielberg. Dalam Arachnophobia, Steven Spielberg ikut menjadi executive producer bersama Marshall, menjadikan film ini memiliki ciri khas “Spielbergian”: film 13 tahun ke atas yang aman untuk ditonton bersama keluarga. Meskipun Arachnophobia terpilih sebagai film horor terbaik dalam ajang Saturn Awards yang sempat populer pada masanya, saya merasa film ini jarang diperbincangkan lagi hari ini. Reputasinya mungkin tertutup oleh film-film horor yang lebih sukses yang sama-sama dirilis pada tahun 1990 seperti Child’s Play 2, Misery, Tremors, Gremlins 2: The New Batch, Predator 2 hingga Jacob’s Ladder. Rumah produksi milik Steven Spielberg, Amblin, bekerja sama dengan anak perusahaan Disney bernama Hollywood Pictures, mengambil resiko finansial lewat Arachnophobia. Di era dimana penggemar horor banyak dihibur oleh film-film horor bertemakan monster, alien, hingga pembunuh slasher, Arachnophobia mencoba hadir dengan ancaman yang relatif “biasa saja” namun bisa tetap mengerikan bagi mereka yang memiliki phobia, yaitu laba-laba. Arachnophobia sendiri bukanlah film pertama yang menggunakan laba-laba sebagai sumber ancaman dalam ceritanya. Sebelumnya sudah ada The Giant Spider Invasion (1975) dan Kingdom of the Spiders (1977). Meskipun berukuran kecil, tapi bentuknya yang bagaikan mahkluk yang bukan berasal dari bumi menjadikan hewan mungil ini cukup ditakuti oleh banyak orang. Belum lagi fakta bahwa beberapa spesies laba-laba memang mematikan seperti black widow dan laba-laba funnel-web. Sesuatu yang ditakuti banyak orang tentunya memiliki potensi untuk dijadikan film horor, dan Frank Marshall berhasil mengolahnya dengan sempurna.
Film ini dibuka di sebuah lokasi sekitar hutan Amazon, di mana ekspedisi sekelompok peneliti pakar laba-laba menemukan spesies baru laba-laba yang terisolasi selama ribuan tahun. Tanpa seorangpun tahu, fotografer tim ekspedisi yang sedang beristirahat diam-diam digigit oleh salah satu laba-laba tersebut dan segera meninggal di dalam tendanya. Tim ekspedisi lain menduga ia meninggal karena demam penyakit tropis. Jenazahnya pun segera dimasukan ke dalam peti dan dikirim ke Amerika untuk dikuburkan. Namun seekor laba-laba berhasil menyelinap ke dalam peti dan ikut terbang ke Amerika. Laba-laba ini pun tiba di kampung halaman sang mendiang fotografer, sebuah desa kecil bernama Canaima yang damai. Kemudian kita diperkenalkan dengan keluarga dokter Ross Jennings yang baru saja pindah ke desa tersebut dari kota besar. Kebetulan, dokter Ross memiliki phobia luar biasa terhadap laba-laba. Tanpa penduduk Canaima sadari, laba-laba dari hutan Amazon yang bersembunyi di gudang rumah dokter Ross Jennings kawin dengan laba-laba lokal, menghasilkan mutasi pasukan laba-laba jenis baru yang jauh lebih mematikan dan siap meneror penduduk desa Canaima.
Arachnophobia, atau ketakutan hebat terhadap laba-laba serta hewan arachnida lainnya, adalah salah satu bentuk ketakutan yang cukup umum dan lebih masuk akal dibandingkan rasa takut terhadap kecoa. Saya bisa memahami bagaimana seseorang bisa takut dengan laba-laba, meskipun terhadap laba-laba rumahan biasa sekalipun. Tentu sangat menakutkan bagi mereka untuk membayangkan bagaimana hewan mungil ini bisa saja bersembunyi di mana-mana, dari mulai benda-benda di rumah, langit-langit rumah, di balik kursi tempat kita duduk, atau mungkin di balik kasur. Bahkan ada beberapa cerita tentang laba-laba yang masuk ke dalam telinga ketika manusia tidur untuk berlindung. Film Arachnophobia benar-benar mengeksploitasi rasa takut tersebut dengan sangat baik dan menyulapnya menjadi adegan-adegan menegangkan yang menempatkan laba-laba berukuran sedang di tempat-tempat yang realistis: di dalam sepatu, di atas kepala shower, di dalam gundukan popcorn, hingga di balik dudukan toilet. Para penduduk desa dan calon korban serangan laba-laba dalam film ini sama sekali tidak menyadari akan adanya ancaman besar yang mematikan dari laba-laba mungil yang mengendap-ngendap dalam rumah mereka. Laba-laba ini bisa menyerang kapan saja, di mana saja, dan film Arachnophobia memperlihatkan betapa tidak berdayanya manusia, hingga serangan besar-besaran benar-benar terjadi pada klimaks film ini.
Membicarakan film Arachnophobia tidak akan lengkap tanpa memberi apresiasi pada tim special effect dan semua laba-laba sungguhan yang benar-benar dilibatkan dalam sebagian besar film ini. Laba-laba kecil yang digunakan di sini adalah spesies laba-laba Avondale yang tidak berbahaya dari Selandia Baru. Sementara laba-laba yang lebih besar adalah spesies goliath birdeater, alias tarantula pemakan burung. Ya, tarantula pemakan burung! Bayangkan tarantula mampu menangkap burung dan memakannya hidup-hidup. Tarantula yang berukuran lebih besar dari telapak tangan ini benar-benar bisa menggigit meskipun tidak terlalu mematikan bagi manusia. Saya bisa memahami kalau hewan seperti anjing atau kuda memang bisa dilatih untuk kemudian dijadikan aktor pendukung dalam sebuah film, dengan pendampingan dari para pelatih mereka. Tapi laba-laba dan tarantula? Siapa bisa melatih laba-laba? Dari yang pernah saya baca, tim special effect film ini menemukan berbagai cara kreatif untuk membuat laba-laba bergerak sesuai yang diinginkan sutradara, dari mulai menghembuskan hawa panas hingga menyiapkan aroma-aroma yang tidak disukai laba-laba. Namun tetap saja ini kerja keras yang hebat, setidaknya bagi saya yang awam. Saya tidak bisa berhenti membayangkan ada berapa puluh kali take yang gagal dan harus diulang setiap kali mereka mencoba mengambil gambar laba-laba sungguhan beraksi depan kamera. Klaim para pembuat film ini menyatakan bahwa tidak ada laba-laba yang benar-benar disakiti dalam Arachnophobia, terutama pada sebuah adegan di mana seorang pengusir hama menginjak laba-laba besar dengan sepatunya. Sol sepatu yang digunakan dalam adegan itu memang dilubangi pada bagian tengahnya agar laba-laba yang diinjak tidak benar-benar mati. Selain laba-laba sungguhan, film ini juga menggunakan boneka animatronik laba-laba besar dalam adegan konfrontasi klimaks antara dokter Ross dengan jenderal laba-laba yang sangat agresif dan sulit dikalahkan. Meskipun special effect boneka laba-laba ini lumayan meyakinkan (kecuali ketika wajahnya di-zoom), tetapi saya masih tetap mengapresiasi kerja keras para crew film yang berusaha mengarahkan laba-laba sungguhan dalam Arachnophobia.
Secara keseluruhan film Arachnophobia adalah film yang bagus, ringan, fun, dan sangat menghibur. Premis sederhana tentang serangan laba-laba di sebuah desa terpencil dikembangkan menjadi cerita penuh teror yang menegangkan, sekaligus juga sesekali membuat penontonnya tersenyum, karena bagaimanapun Arachnophobia adalah film horror komedi. Karakter-karakter dalam film ini juga dikembangkan dengan baik, termasuk beberapa karakter minornya. Arachnophobia adalah debut yang sangat bagus dari Frank Marshall, yang tidak pernah benar-benar serius dalam karir penyutradaraannya selanjutnya. Padahal dia punya pontensi bagus sebagai sutradara. Pada 2022, tersiar berita kalau James Wan akan memproduksi remake dari Arachnophobia, dan sutradara asli film ini Frank Marshall kembali terlibat sebagai executive producer. Tapi hingga hari ini, saya belum mendengar lagi kabarnya. Dugaan saya, Arachnophobia versi James Wan tentu akan menjadi film yang jauh lebih serius dan mungkin juga penuh darah. Arachnophobia memang bukanlah film masterpiece brilian, tapi film ini sangat menyenangkan untuk ditonton, kecuali kalau penontonnya memiliki phobia luar biasa terhadap laba-laba.